Koran Suluh Indonesia Volume III Nomor 19, 17-30 September 2018

Koran Sulindo – Hari-hari belakangan ini begitu banyak orang menjadi pesimistis, seolah kiamat akan terjadi esok hari. Tak terkecuali di negeri ini, yang suhunya mulai memanas karena berada di tahun politik. Maksudnya: politik elektabilitas.

“Suhu panas” plus orang-orang pesimistis tentu saja bukan perpaduan yang baik. Kalau keduanya berpadu-berkelindan, kemungkinan besar akan melahirkan masalah. Itu artinya juga: sikap pesimistis dapat “menjangkiti” orang-orang yang tadinya cukup optimistis memandang dan menyongsong masa depan—yang umumnya adalah mereka yang sedang berada di rentang usia produktif.

Kita mafhum, apa yang akan terjadi jika sebagian besar warga negara bersikap seperti itu. Tapi, memang, upaya mencegah “wabah” tersebut bukan pekerjaan mudah.

Kendati demikian, upaya itu harus segera dilakukan, dengan sungguh-sungguh pula, oleh segenap elemen bangsa ini. Tanggung jawab terbesar tentu ada di bahu orang-orang yang diberi amanah oleh rakyat sebagai penyelenggara negara. Merekalah “rakyat yang dipilih” oleh sebagian besar rakyat untuk mengambil peran utama dalam mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan.

Seperti perjuangan merebut kembali kemerdekaan dari tangan penjajah yang memerlukan rentang waktu sangat panjang, upaya mewujudkan cita-cita tersebut tentulah juga begitu. Perlu waktu yang tak sebentar dan membutuhkan tahap-tahap yang berkesinambungan.

Sebagai Bapak Bangsa, Bung Karno sudah memikirkan soal-soal itu sejak jauh-jauh hari. Ketika menjadi Presiden Republik Indonesia, Bung Karno menegaskan pandangannya tersebut lewat Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1959, yang diberi tajuk “Penemuan Kembali Revolusi Kita”.

Dalam pidatonya itu, Bung Karno secara gamblang mengatakan, Indonesia akan membangun dengan kekuatan modal sendiri, secara berencana, yang dipimpin oleh negara. Modal sendiri diartikan sebagai modal nasional yang progresif. Modal luar negeri hanya dijadikan pelengkap, dengan syarat tidak mengikat secara politik dan militer dan berbentuk pinjaman luar negeri.

Dengan gagasan besar itulah kemudian dibentuk Dewan Perencanaan Nasional (Depernas), yang bertanggung jawab meneliti secara ilmiah segala kemampuan dan potensi kekayaan yang dimiliki Indonesia. Muhammad Yamin dipercaya menjadi Ketua Depernas.

Tahun 1960, Depernas sudah berhasil merumuskan sebuah konsepsi pembangunan yang disebut “Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun”—tiga tahun pertama merupakan masa riset dan lima tahun selanjutnya adalah masa mewujudkan rencana. Prioritas: meningkatkan produksi sandang dan pangan. Kemudian secara bertahap menuju pembangunan sektor industri.

Dari mana biayanya? “Pembangunan Nasional Semesta Berencana” akan dibiayai secara gotong-royong oleh rakyat Indonesia, dengan modal kekayaan alam yang ada.

Pada tahun 1960 itu juga lahir Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahun 1961-1969. Ini merupakan rencana pembangunan yang cemerlang. Karena, seperti pernah dikatakan cendekiawan Ignas Kleden, kata “semesta” menjadi peringatan bahwa tujuan pembangunan nasional tak hanya berkenaan dengan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mencakup berbagai aspek kehidupan lain dalam dinamika politik, evolusi sosial, dan kreativitas budaya.

Sayangnya, perencanaan pembangunan tersebut tak sempat sepenuhnya dijalankan. Para komprador negara-negara neo-kolonialisme dan neo-imperialisme menjegal “Pembangunan Nasional Semesta Berencana”, dengan menggulingkan Bung Karno dari kursi kepresidenan.

Sejarah telah memberi pelajaran. Dan, sejarah kelam (mestinya) tak boleh lagi terulang. [PUR]