Setiap tanggal 2 Mei, masyarakat Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), sebuah momentum yang lebih dari sekadar penanda dalam kalender. Ia adalah ruang refleksi kolektif tentang bagaimana pendidikan telah membentuk wajah bangsa, serta menjadi penopang utama dalam meraih kemajuan di tengah arus globalisasi yang terus bergerak dinamis. Hardiknas hadir sebagai pengingat bahwa di balik setiap generasi unggul, terdapat sistem pendidikan yang kuat dan inklusif.
Peringatan ini tak lepas dari sosok monumental dalam sejarah bangsa: Ki Hadjar Dewantara. Lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, beliau dikenal sebagai pelopor pendidikan nasional yang mengabdikan hidupnya untuk mencerdaskan rakyat Indonesia. Di masa penjajahan Belanda, pendidikan adalah hak istimewa bagi segelintir kalangan. Ki Hadjar Dewantara melihat ini sebagai bentuk ketidakadilan, dan sebagai perlawanan, ia mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922—sebuah lembaga pendidikan yang membuka pintunya bagi siapa pun tanpa memandang kasta sosial.
Dedikasi beliau terhadap dunia pendidikan membuatnya dipercaya menjabat sebagai Menteri Pendidikan pertama pasca kemerdekaan. Warisannya tidak hanya berupa sistem atau lembaga pendidikan, tetapi juga semangat untuk menjadikan pendidikan sebagai hak dan kebutuhan dasar seluruh rakyat. Pemerintah kemudian menetapkan hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara sebagai Hari Pendidikan Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959. Sejak itu, setiap tahun bangsa Indonesia mengenang jasa-jasanya, meski Hardiknas bukanlah hari libur nasional.
Peringatan Hardiknas biasanya ditandai dengan pelaksanaan upacara bendera di sekolah-sekolah dan institusi pendidikan lainnya, namun esensi peringatannya jauh lebih dalam. Ia adalah ajakan untuk menilik kembali sejauh mana dunia pendidikan kita telah berkembang, dan tantangan apa saja yang masih harus dihadapi.
Tahun 2025 membawa tema “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua.” Tema ini menekankan bahwa pendidikan berkualitas bukanlah tanggung jawab satu pihak saja. Diperlukan gotong royong antara pemerintah, tenaga pendidik, orang tua, komunitas, hingga dunia usaha untuk menciptakan sistem pendidikan yang merata dan berkeadilan. Dalam semangat kolaborasi ini, kita diingatkan kembali pada filosofi Ki Hadjar Dewantara: Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani yang maknanya di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberikan dorongan.
Di tengah perubahan zaman yang terus melaju cepat, dunia pendidikan dituntut untuk adaptif, relevan, dan berorientasi pada pengembangan karakter serta keterampilan abad ke-21. Namun, di balik segala modernisasi itu, nilai-nilai luhur yang telah diletakkan oleh Ki Hadjar Dewantara harus tetap menjadi fondasi utama: bahwa pendidikan sejatinya adalah jalan menuju kemerdekaan berpikir, kebebasan berpendapat, dan kemandirian dalam bertindak.
Hardiknas bukan hanya peringatan sejarah, melainkan juga ajakan untuk bertindak. Mari kita terus hidupkan semangat pendidikan nasional dengan memastikan setiap anak bangsa mendapatkan akses pendidikan yang layak, bermutu, dan berkeadilan karena hanya dengan itulah, masa depan Indonesia akan terang dan bermartabat. [UN]