Selama masa kekuasaan Nazi, pemerintah Jerman membangun setidaknya 1.143 ghetto di wilayah timur yang diduduki untuk memisahkan orang-orang Yahudi dari masyarakat. Ghetto terbesar terletak di Warsawa, Polandia. Area seluas 1,3 mil persegi ini menampung lebih dari 400.000 orang Yahudi.
Ghetto merupakan jalan atau kawasan yang ditetapkan sebagai tempat tinggal bagi orang Yahudi. Istilah “ghetto” berasal dari nama permukiman Yahudi di Venesia, Italia pada tahun 1516. Pemerintah Venesia pada masa itu memaksa orang-orang Yahudi di Venesia untuk tinggal di permukiman yang terpisah dari bagian kota lainnya dan diamankan oleh penjaga Kristen.
Secara adat, ghetto ditutup dengan tembok dan gerbang, terkunci pada malam hari dan selama perayaan gereja. Perlakuan ini kemungkinan didasari oleh keterlibatan orang-orang Yahudi dalam Penyaliban Yesus Kristus.
Akan tetapi, permukiman orang Yahudi paling awal ada di Maroko pada tahun 1280. Kala itu, mereka menempati wilayah khusus yang dikelilingi oleh tembok dan gerbang berbenteng, biasanya di dekat kediaman sultan atau gubernur. Wilayah ini disebut mellah.
Baru-baru ini, istilah ghetto digunakan untuk menyebut wilayah perkotaan mana pun yang secara eksklusif dihuni oleh kelompok minoritas.
Tipe-tipe Ghetto
Selama Perang Dunia 2, pemerintah Nazi mendirikan tiga tipe Ghetto, yaitu terbuka, tertutup, dan penghancuran.
Ghetto terbuka tidak memiliki pagar atau tembok di sekelilingnya, namun pembatasan tetap berlaku. Nazi menerapkan pembatasan terhadap siapa yang boleh masuk atau keluar, kapan, dan seberapa sering kunjungannya. Tipe Ghetto ini berada di Polandia dan beberapa bagian Uni Soviet yang telah diduduki.
Ghetto tertutup lebih berbahaya karena wilayahnya ditutup oleh pagar dengan kawat berduri atau tembok. Orang-orang Yahudi dilarang meninggalkan Ghetto dan orang luar tidak diizinkan masuk. Kekurangan makanan dan air, perumahan yang tidak layak, tidak adanya layanan kota yang memadai, dan perlakuan kejam oleh Nazi menyebabkan tingginya angka kematian. Ghetto tertutup merupakan tipe yang paling banyak dijumpai.
Ghetto penghancuran juga tertutup rapat dan lebih berfungsi sebagai penampungan sementara, biasanya sekitar dua sampai enam minggu. Para penghuninya ditempatkan di sini sebelum dideportasi ke kamp-kamp konsentrasi. Ghetto penghancuran ada di wilayah-wilayah Uni Soviet yang diduduki Jerman, khususnya di Lithuania dan Ukraina, serta di Hungaria.
Kehidupan di Dalam Ghetto
Secara historis, kepadatan penduduk di dalam Ghetto sangat tinggi. Ini menimbulkan kondisi hidup yang tidak sehat dan beresiko terkena bencana. Di luar ghetto, orang-orang Yahudi diwajibkan mengenakan lencana pengenal, biasanya berwarna kuning, dan mereka rentan mengalami kekerasan fisik dan pelecehan.
Pada masa pemerintahan Nazi, kehidupan di dalam ghetto sangat sulit dan tidak manusiawi. Populasi Yahudi yang besar dipaksa tinggal di Ghetto yang sempit dan beberapa keluarga harus berbagi rumah. Di Ghetto Warsawa, misalnya, tujuh orang harus menempati satu kamar. Kondisi rumah-rumahnya tidak sehat karena kurangnya air bersih dan sistem pembuangan limbah yang memadai. Persediaan medis juga sangat terbatas. Akibatnya, penyakit seperti tifus merajalela.
Persediaan makanan juga sangat terbatas sehingga banyak penghuni ghetto meninggal karena kelaparan. Orang-orang Yahudi berusaha keras menyelundupkan makanan ke dalam ghetto, namun jika tertangkap, mereka akan dihukum mati. Pasar gelap berkembang pesat dan warga berusaha menukarkan harta benda mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Meski terancam oleh penyakit dan kelaparan, orang-orang Yahudi masih harus bekerja. Nazi menggunakan penduduk di Ghetto untuk kerja paksa, mulai dari pekerjaan konstruksi hingga membuat pakaian. Durasi kerjanya sangat lama dan kondisinya brutal, dan beberapa pekerjaan digunakan sebagai bentuk penyiksaan daripada untuk produktivitas.
Mereka yang dipekerjakan sebagai buruh sering menerima jatah tambahan, walau jumlahnya masih sedikit, dan kecil kemungkinannya untuk dimasukkan ke dalam daftar deportasi. Kerja paksa juga menawarkan kesempatan untuk menyelundupkan makanan atau melarikan diri, tetapi ini selalu sangat beresiko.
Banyak penduduk di Ghetto mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan nilai-nilai luhur di tengah teror Nazi. Mereka berusaha menjalankan pendidikan untuk anak-anak, melaksanakan tradisi keagamaan, dan melakukan kegiatan budaya. Buku, musik, dan teater berfungsi sebagai pelarian dari kenyataan pahit sekaligus sebagai pengingat akan kehidupan sebelumnya yang lebih baik.
Para seniman, intelektual, dan masyarakat biasa dalam berbagai usia mendokumentasikan kengerian yang menimpa masyarakat Yahudi pada masa pemerintahan Nazi dalam bentuk tulisan dan gambar. Orang-orang Yahudi yang selamat berhasil bertahan hidup hingga Perang Dunia 2 berakhir, dan mereka memberikan kesaksian tentang kekejaman Nazi. [BP]