Setiap tanggal 25 Mei, benua Afrika dan masyarakat keturunan Afrika di seluruh dunia memperingati African Liberation Day (ALD), atau yang dikenal sebagai Hari Pembebasan Afrika. Bukan sekadar seremoni tahunan, peringatan ini menjadi penanda penting atas identitas, kemerdekaan, dan cita-cita persatuan bangsa-bangsa Afrika setelah berabad-abad dijajah dan dieksploitasi oleh kekuatan asing.
Sejarah
Mengutip laman resmi African Liberation Day, jejak sejarah Hari Pembebasan Afrika dimulai pada tahun 1958, ketika tokoh revolusioner Ghana, Kwame Nkrumah, menyelenggarakan Konferensi Negara-negara Merdeka Afrika pertama di Accra, Ghana. Dalam konferensi tersebut, yang dihadiri delapan negara Afrika yang telah merdeka, ditetapkan tanggal 15 April sebagai “Hari Kebebasan Afrika” (African Freedom Day) untuk menandai tekad rakyat benua hitam membebaskan diri dari dominasi kolonialisme dan imperialisme.
Antara tahun 1958 hingga 1963, gelombang perjuangan kemerdekaan di Afrika mencapai puncaknya. Sebanyak 17 negara Afrika berhasil merebut kemerdekaan, dan tahun 1960 pun dicatat sebagai “Tahun Afrika.” Namun euforia itu juga disambut dengan perlawanan sengit dari kekuatan kolonial yang berusaha mempertahankan pengaruh mereka. Pembunuhan para pemimpin revolusioner, intervensi militer, dan taktik destabilisasi politik menjadi alat utama imperialisme dalam menghambat gerakan kemerdekaan.
Tanggal 25 Mei 1963 menjadi tonggak penting ketika 31 kepala negara Afrika berkumpul dan mendirikan Organisasi Persatuan Afrika (Organization of African Unity/OAU). Dalam pertemuan tersebut, mereka mengganti nama Hari Kebebasan Afrika menjadi Hari Pembebasan Afrika (African Liberation Day) serta memindahkan perayaannya ke tanggal 25 Mei, yang hingga kini dirayakan sebagai simbol solidaritas, perjuangan, dan harapan rakyat Afrika.
Ideologi, Perlawanan, dan Pan-Afrikanisme
Di tengah gelombang penindasan dan intervensi asing, ide-ide revolusioner terus berkembang di kalangan pemuda Afrika. Mereka mendapatkan inspirasi dari tokoh-tokoh seperti Malcolm X, Frantz Fanon, Patrice Lumumba, Sister M’balia Camara, dan banyak lagi. Namun di atas semuanya, warisan pemikiran Kwame Nkrumah menjadi landasan ideologis Pan-Afrikanisme modern.
Melalui karyanya seperti Consciencism (1963), Handbook of Revolutionary Warfare (1968), dan Class Struggle in Africa (1970), Nkrumah menegaskan bahwa kemerdekaan politik semata tidak cukup. Ia menyerukan penyatuan Afrika di bawah sistem pemerintahan sosialis yang menjamin keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyat Afrika. Baginya, pembebasan sejati hanya akan tercapai ketika seluruh benua bersatu sebagai kekuatan mandiri yang bebas dari pengaruh asing.
Dalam Handbook of Revolutionary Warfare, Nkrumah menyampaikan pernyataan penting yang menjadi landasan gerakan Pan-Afrika:
“The total liberation and unification of Africa under an All-African Socialist Government must be the primary objective of all black revolutionaries throughout the world. It is an objective which, when achieved, will bring about the fulfillment of the aspirations of Africans and people of African descent everywhere. It will at the same time advance the triumph of the international socialist revolution.”
Terjemahan:
“Pembebasan dan penyatuan total Afrika di bawah Pemerintahan Sosialis Seluruh Afrika harus menjadi tujuan utama semua revolusioner Kulit Hitam di seluruh dunia. Ini adalah tujuan yang, ketika tercapai, akan mewujudkan pemenuhan aspirasi orang Afrika dan orang-orang keturunan Afrika di mana pun. Ini sekaligus akan memajukan kemenangan revolusi sosialis internasional.”
Gerakan Global dan Pengaruh Abad 20–21
Gerakan Pan-Afrika menyebar ke luar Afrika. Pada tahun 1970, Sekretariat Pan-Afrika Guyana menyerukan agar Hari Pembebasan Afrika juga diperingati di belahan bumi barat. Responsnya luar biasa: demonstrasi besar digelar di Georgetown, Guyana, serta perayaan kecil di Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa.
Sejak saat itu, Pan-Afrikanisme kembali membangkitkan semangat revolusioner massa, menyulut diskusi di pabrik-pabrik, rumah-rumah, sekolah, hingga gereja di seluruh dunia Afrika. Meski sempat surut akibat tekanan neo-kolonialisme dan penggulingan pemimpin-pemimpin revolusioner seperti Thomas Sankara, rakyat Afrika tak pernah menyerah.
Pada era 1990-an dan 2000-an, perjuangan membuahkan hasil: apartheid di Afrika Selatan tumbang, sanksi terhadap Libya dicabut, dan pasukan pro-Afrika merebut kemenangan di Kongo. Semua itu menjadi tonggak menuju visi Komando Tinggi Afrika dan penguatan Uni Afrika—penerus OAU yang kini memayungi kerja sama kontinental.
Hari Pembebasan Afrika atau Africa Day, yang kini menjadi hari libur kontinental pertama bagi Afrika, adalah tanda bahwa perjuangan Pan-Afrikanisme belum selesai dan tak akan pernah berhenti hingga kemenangan tercapai.
Bagi masyarakat Afrika, Hari Pembebasan Afrika adalah momen untuk mengingat kembali luka-luka penjajahan, menilai tantangan saat ini, dan meneguhkan impian kolektif untuk masa depan. Ia berbicara tentang sejarah panjang perlawanan, tentang harga yang harus dibayar demi kebebasan, dan tentang solidaritas lintas negara dan generasi.
Ketika dunia saat ini menghadapi tantangan baru seperti ketimpangan global, krisis iklim, dan dominasi ekonomi global, semangat Hari Pembebasan Afrika menjadi pengingat bahwa hanya dengan bersatu dan berpijak pada kekuatan sendiri, Afrika dan rakyat keturunannya bisa meraih kemerdekaan sejati, secara politik, ekonomi, dan budaya. [UN]