Tugu Bambu Runcing, Pontianak
Tugu Bambu Runcing, Pontianak (Unsplash.com)

Koran Sulindo – Pada tanggal 24 Rajab 1181 Hijriah atau bertepatan dengan 23 Oktober 1771 Masehi, Syarif Abdurrahman Alkadrie memimpin rombongan untuk membuka hutan di persimpangan tiga sungai besar: Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas. Daerah yang dibuka ini kemudian menjadi permukiman yang diberi nama Pontianak. Syarif Abdurrahman Alkadrie memilih lokasi tersebut sebagai tempat untuk mendirikan balai dan rumah tinggal. Langkah ini menandai lahirnya Kota Pontianak.

Di bawah kepemimpinan Syarif Abdurrahman Alkadrie, Pontianak berkembang menjadi kota perdagangan dan pelabuhan yang penting di wilayah Kalimantan Barat. Perkembangan kota ini tidak hanya berfokus pada perdagangan tetapi juga pada infrastruktur, yang kemudian memperkokoh posisinya sebagai pusat pemerintahan.

Kesultanan Pontianak

Dilansir dari laman resmi kota Pontianak, Syarif Abdurrahman Alkadrie dinobatkan sebagai Sultan Pontianak pertama pada tahun 1192 Hijriah (sekitar tahun 1778 Masehi). Setelah menjadi sultan, pusat pemerintahan Kesultanan Pontianak ditandai dengan berdirinya dua bangunan penting, yaitu Masjid Raya Sultan Abdurrahman Alkadrie dan Istana Kadariah, yang sampai sekarang berada di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur.

Selama hampir dua abad, Kesultanan Pontianak diperintah oleh beberapa sultan dari Dinasti Alkadrie:
1. Syarif Abdurrahman Alkadrie (1771-1808)
2. Syarif Kasim Alkadrie (1808-1819)
3. Syarif Osman Alkadrie (1819-1855)
4. Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872)
5. Syarif Yusuf Alkadrie (1872-1895)
6. Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944)
7. Syarif Thaha Alkadrie (1944-1945)
8. Syarif Hamid Alkadrie (1945-1950)

Masuknya Belanda dan Pengaruhnya

Pada tahun 1778, atau dua tahun setelah dinobatkan sebagai Sultan, Pontianak mulai didominasi oleh Belanda. Perwakilan Belanda pertama, Willem Ardinpola, datang dari Batavia (sekarang Jakarta) dan diizinkan oleh Sultan Pontianak untuk tinggal di seberang Istana Kadariah, di daerah yang kemudian dikenal sebagai Tanah Seribu (Verkendepaal). Pada 5 Juli 1779, Belanda membuat perjanjian politik dengan Sultan Pontianak yang mengatur aktivitas penduduk di Tanah Seribu. Belanda kemudian menjadikan daerah ini sebagai pusat pemerintahannya di Kalimantan Barat.

Selama masa kolonial, berbagai struktur pemerintahan Belanda dibentuk di Pontianak, seperti Resident (kepala daerah keresidenan) dan Assistant Resident (kepala daerah kabupaten). Sistem ini juga mencakup pengelolaan distrik seperti Siantan dan Sungai Kakap yang berada di bawah kendali Belanda.

Evolusi Pemerintahan Kota Pontianak

Pontianak mengalami beberapa tahap perkembangan dalam struktur pemerintahannya. Salah satu badan penting pada masa itu adalah Plaatselijk Fonds, yang mengurus milik pemerintah dan mengelola pajak serta keuangan kota. Namun, pengelolaan ini sempat terhenti selama pendudukan Jepang pada Perang Dunia II, sebelum kembali dilanjutkan oleh tenaga sipil lokal di bawah pengawasan Jepang.

Pada tahun 1946, dengan Besluit Pemerintah Kerajaan Pontianak, Pontianak berubah status menjadi Stadsgemeente atau pemerintahan kota, dan jabatan Syahkota (setara walikota) pertama kali dipegang oleh R. Soepardan. Setelah kemerdekaan Indonesia, bentuk pemerintahan ini terus berkembang, dan pada tahun 1953, Pontianak ditingkatkan statusnya menjadi Kota Praja yang memiliki otonomi daerah sendiri, sesuai dengan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953.

Pontianak yang awalnya didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie sebagai permukiman di persimpangan sungai, kemudian berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan di Kalimantan Barat. Selama periode kolonial Belanda dan pendudukan Jepang, Pontianak terus mengalami perubahan dalam struktur pemerintahannya. Warisan sejarah kota ini tetap hidup hingga sekarang, dengan peninggalan-peninggalan penting seperti Istana Kadariah dan Masjid Sultan Abdurrahman Alkadrie yang menjadi simbol kejayaan masa lalu. [UN]