ILustrasi: Gudang PT IBU/istimewa

Koran Sulindo – Setelah publik dibuat gaduh dengan adanya “perang” pernyataan dari berbagai pihak terkait penggerebekan gudang beras PT Indo Beras Unggul (IBU) di Bekasi, Jawa Barat, pada 20 Juli 2017 lalu, polisi akhirnya menetapkan Direktur Utama PT IBU Trisnawan Widodo sebagai tersangkapada 2 Agustus 2017. Dasar hukumnya: Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 141 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, dan Pasal 382 KUHP tentang Perbuatan Curang.

PT IBU yang merupakan produsen sejumlah merek beras diduga telah bertindak curang, dengan cara membeli gabah ke petani dengan harga lebih tinggi daripada yang ditetapkan pemerintah.Dengan begitu, PT IBU akan memperoleh mayoritas gabah dibandingkan dengan pelaku usaha lain.

“Diduga mencurangi daripada pedagang, penggilingan-penggilingan kecil, pedagang kecil, demikian juga konsumen,” kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Polisi Agung Setya di Jakarta, 24 Juli 2017.

Sebelum menetapkan Trisnawan sebagai tersangka, penyidik Polri telah memeriksa belasan saksi, termasuk sejumlah direksi PT IBU, pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), pihak Kementerian Perdagangan, dan pihak Kementerian Pertanian. Polisi juga melakukan gelar perkara.Setelah dikenakan status tersangka, Trisnawan langsung dijebloskanke rumah tahanan Bareskrim Polri.

Dalam penggerebekan gudang PT IBU tersebut, polisi menyita 1.100 ton beras siap edar. Beras itu dikemas antara lain dengan merek Ayam Jago, Maknyuss, Pandan Wangi, dan Rojo Lele.

Di berbagai media, terutama di media sosial Internet, banyak yang melihat kasus ini diliputi keganjilan. Karena, menurut mereka, apa yang dilakukan PT IBU dengan membeli gabah lebih tinggi dari harga yang ditetapkan pemerintah justru menguntungkan petani. Petani juga senang menjual gabah ke PT IBU karena gabahnya dihargai jauh diatas harga yang ditetapkan pemerintah.

Harga acuan pembelian gabah panen di tingkat petani ditetapkan sebesar Rp 3.700 per kilogram dan PT IBU dilaporkan membeli gabah dari petani sebesar Rp 4.900 per kilogram. Bukankah PT IBU dengan begitu malah membantu program pemerintah, yang katanya ingin meningkatkan kesejahteraan petani?

Namun, pemerintah, termasuk polisi, punya penilaian lain. Praktik pembelian gabah yang dilakukan PT IBU menurut mereka merupakan bentuk kecurangan dan bisa mengarah pada praktik monopoli. Asumsinya, dengan penguasaan stok gabah yang sangat banyak, PT IBU menjadi mudah menetapkan harga, termasuk di tingkat konsumen.

Pembelian gabah di tingkat petani yang lebih tinggi dari harga yang ditetapkan juga, katanya, akan mendorong inflasi dan akan membuat naik harga barang-barang kebutuhan lain. Ujung-ujungnya, ini akan memukul petani sendiri karena biaya kebutuhan sehari-hari menjadi melonjak.

Dengan cara yang dilakukan PT IBU, menurut pihak yang spendapat dengan pemerintah, usaha-usaha penggilingan skala kecil atau mikro akan mati karena tidak ada petani yang mau menjual gabah ke mereka, yang hanya mampu membeli dengan harga kurang-lebih Rp 3.700 per kilogram. Kalau penggilingan kecil mati, PT IBU akan mengakuisisi penggilingan itu, sehingga PT IBU nantinya akan menguasai usaha penggilingan, mulai dari skala mikro hingga penggilingan besar.

Padahal, beras yang dijual PT IBU adalah beras kelas premium. Dan, menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa,pangsa pasar untuk beras premium sekarang ini di Indonesia hanya 2%, jadi 98% konsumen lebih memilih beras medium.”Beras premium selama memenuhi kualitas dan kualifikasi sebagai premium dan sesuai dengan SNI tidak ada masalah mau dijual berapa, toh nanti pasar yang akan menentukan,” katanya sebagaimana dikutip kompas.com.

Soal harga beras, Juru Bicara PT IBU Jo Tjong Seng mengatakan, pihaknya tidak ikut menentukan harga beras di tingkat konsumen.Jika ada harga berasnya secara eceran lebih mahal daripada yang dijual pihak lain, itu bukan karena ditentukan PT IBU.”Kami menjual beras dengan harga jual yg wajar. Kami business to business. Harga jual di tingkat konsumen ditentukan outlet yang menjual. Kami tak punya kuasa tentukan harga di tingkat konsumen,” tutur Jo di Jakarta, 22 Juli 2017.

Pilihan, tambah Jo, ada di pihak konsumen yang ingin membeli beras. “Pilihan yang kami tawarkan sesuai mutu yang jelas. Mahal-tidaknya kembali ke konsumen. Konsumen bisa memilih produk kami atau produk lain sejenis yang ada di pasar,” katanya.

Namun, bagi pemerintah dan polisi, PT IBU menjual produk berasnya terlalu tinggi, di atas harga acuan yang ditetapkan sebesar Rp 9.500 per kilogram. Dengan begitu, katanya, apa yang dilakukan PT IBU akan membuat tata niaga beras tidak berkeadilan. Petani sebagai produsen beras hanya mendapatkan untung kecil, sementara pedagang mendapatkan untung besar dengan melakukan rekayasa sedemikian rupa.

Sebelumnya, pemerintah juga menuding PT IBU menggunakan beras bersubsidiuntuk rakyat miskin, Beras Sejahtera (Rastra). Namun, hal itu dibantah oleh manajemen PT IBU. “Ada dugaan PT IBU menggunakan beras bersubsidi atau Beras Rastra. Kami tegaskan kembali, kamitidak menggunakan Beras Rastra sebagai bahan baku produksi kami,” kata Jong.

Bantahan juga datang dari Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa. “Bukan.Saya sudah konfirmasi ke direksi Bulog. Kalau dia diambil dari gudang Bulog, saya bisa pastikan itu Rastra. Tapi, kalau dibeli di petani, sangat mungkin itu IR 64 yang dapat subsidi pupuk dan subsidi benih,” kata Khofifah di Jakarta, 24 Juli 2017.

Beras Rastra memang hanya bisa keluar lewat satu pintu, yakni lewat Badan Urusan Logistik atawa Bulog dan jenis berasnya adalah beras medium. Soal subsidi pupuk dan subsidi benih, apakah itu artinya petani punya kewajiban untuk menjual padinya ke pemerintah? Kalau memang begitu,tidakkah itu hampir mirip dengan sistem tanam paksa zaman kolinial Belanda dulu? Bukankah pemerintah mestinya berbangga bisa membantu dan menyejahterakan rakyatnya, karena memang itulah antara lain tugas utama yang diamanahkan rakyat kepada pemerintah?

Namun, Khofifah juga mengatakan, ada hikmah di balik peristiwa ini, yakni belum adanya regulasi yang mengatur berapa persentase dari jumlah beras medium petani, yang benih dan pupuknya disubsidi pemerintah, yang harus masuk ke dalam Cadangan Beras Pemerintah (CBP). “Ada hikmah untuk bisa disiapkan regulasinya. Artinya, kalau ada padi yang disubsidi pupuknya dan benihnya, harusnya ini masuk CBP,” ujarnya.

Dari petani, PT IBU membeli gabah gabah kering panen dan gabah kering giling. Pembelian juga melalui mekanisme pasar yang berlaku.”Petani menjual gabah dari kelompok tani. Kemudian, dari kelompok tani dijual ke pengumpul, sampai ke penggilingan,” tutur Jong.

Soal kualitas beras, Jong menyatakan PT IBU punya standard dalam menentukan mutu beras. Ukuran kualitasnya bukan dari jenis atau varietas beras. Juga tidak bergantung pada pada kandungan gizi beras.”Karena, rata-rata, beras putih itu punya kisaran kandungan gizi yang sama. Dengan demikian, mutu bukan terkandung dari kandungan gizi,” ungkapnya. Akan halnya kandungan nilai gizi dan angka kecukupan gizi (AKG) yang terkandung dalam beras produk PT IBU, lanjutnya,sudah sesuai dengan yang disyaratkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Toh, bagi pemerintah, pencantuman informasi gizi dan AKG pada kemasan beras produksi PT IBU dianggap sebagai praktik penyesatan informasi. Menurut polisi, cara seperti itu tidak hanya dilakukan PT IBU, tetapi juga banyak produsen beras lainnya. Padahal, dalam pandangan pemerintah dan polisi, informasi gizi sebenarnya hanya untuk makanan olahan yang langsung dikonsumsi, sementara beras bukan makanan olahan yang bisa langsung dikonsumsi oleh manusia, tapi harus ditanak menjadi nasi terlebih dulu sebelum bisa dikonsumsi manusia.

Polisi menilai, informasi gizi pada kemasan beras bisa menyesatkan konsumen. Karena, ketika ditanak menjadi nasi, kandungannya akan berubah.

Yang juga disoal polisi adalah mutu Standard Nasional Indonesia (SNI). Beras dari PT IBU bukan masuk golongan Mutu I, melainkan mutu III.Klasifikasi mutu beras didasarkan pada sejumlah parameter, antara lain warna beras, persentase beras patah (broken), dan ada-tidaknya kotoran.

Menurut Jong, beras PT IBU sudah sesuai dengan deskripsi mutu SNI, yang sertifikasinya didapat dari Badan Standardisasi Nasional (BSN).”Deskripsi mutu yang dikeluarkan SNI berdasarkan parameter visual,bukan pada jenis atau varietas berasnya. Kami dapat SNI melalui laboratorium yang terakreditasi. Jadi, deskripsi mutu sesuai SNI nomor 6128-2008,” katanya. [Purwadi Sadim]