Koran Sulindo – Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan lebih dari setengah dari angka di tahun 1999.
Namun, sebuah laporan pada 2015 memberikan peringatan. Sejak tahun 2000 ketimpangan ekonomi di Indonesia meningkat pesat. Pertumbuhan ekonomi yang ada lebih dinikmati oleh 20% persen penduduk terkaya daripada masyarakat umum lainnya.
Tapi kebijakan untuk mengatasi kesenjangan ekonomi di bawah Presiden Joko Widodo tampaknya memberikan hasil.
Pertumbuhan Ekonomi dan Meningkatnya Ketimpangan
Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini menduduki urutan ketiga tercepat di antara negara-negara anggota G20. Statistik terbaru menunjukkan bahwa sejak 2000 hingga 2017 Produk Domestik Bruto Indonesia (PDB) per kapita meningkat rata-rata 4% setiap tahun, setelah Cina dan India, yang masing-masing tumbuh 9% dan 5,5% per tahun.
Namun, pertumbuhan ekonomi Indonesia memicu tingginya ketimpangan antar penduduk. Hal ini tercermin dalam indeks Gini – indeks untuk mengukur ketimpangan dalam sebuah negara dari 0 (kesetaraan sempurna) sampai 100 (ketidaksetaraan sempurna).
Data dari Bank Dunia mengungkapkan indeks Gini Indonesia meningkat dari 30.0 pada dekade 1990-an menjadi 39.0 pada 2017.
Indeks Gini per negara; Sumber: World Bank, CIA, *Australia data OECD, *Biro Statistik Hong Kong, Singapura dan Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ketimpangan di Indonesia mulai meningkat pada awal 1990-an.
Krisis moneter tahun 1998 sempat menurunkan ketimpangan di Indonesia karena krisis tersebut berdampak signifikan terhadap kalangan orang kaya pada saat itu. Namun, kesenjangan antara kaya dan miskin kembali meningkat cepat pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Indeks Gini naik dari 31.0 pada masa kepresidenan Megawati tahun 2001 menjadi 41.0 pada tahun 2014 di bawah pemerintahan SBY.
Indeks Gini Indonesia, 1990 – 2017; Sumber: BPS.
Ketimpangan Ekonomi yang Didorong Kelas Konsumen
Laporan Bank Dunia pada tahun 2015 menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dinikmati oleh 20% kelompok terkaya. Kelompok ini diidentifikasi sebagai kelas konsumen. Mereka adalah orang-orang yang pendapatan bersih per tahun di atas US$3.600 atau Rp 52.6 juta dan pengeluaran per hari nya sekitar US$10 hingga US$100 untuk makanan, transportasi, dan perlengkapan rumah tangga lainnya.
Saat ini, setidaknya 70 juta orang di Indonesia termasuk dalam golongan kelas konsumen. Kelompok ini diproyeksikan akan mencapai 135 juta orang pada tahun 2030, atau setengah dari total penduduk Indonesia.
Sejak tahun 2000 kelas konsumen Indonesia sudah muncul dan terus berkembang kuat berkat pertumbuhan ekonomi selama dua dekade terakhir. Pendapatan mereka meningkat dikarenakan dua hal: kualifikasi pendidikan mereka tinggi dan permintaan pasar terhadap pekerja profesional terampil meningkat. Kelompok kelas konsumen ini berperan cukup penting bagi Indonesia, yaitu meningkatkan pendapatan pajak negara dan juga menuntut pelayanan publik yang lebih baik dan transparan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Namun di sisi lain, mereka yang berpendidikan rendah semakin sulit mengakses lapangan kerja. Mereka terjebak dalam pekerjaan dengan gaji rendah. Banyak dari mereka adalah petani dan nelayan di daerah pedesaan dan mereka yang bekerja di sektor informal. Karena upah mereka naiknya lebih lambat dari gaji pekerja terampil, ketimpangan ekonomi di Indonesia melebar.
Ketimpangan Ekonomi dan Pembangunan Manusia
Tingginya ketimpangan ekonomi mengakibatkan kelompok berpendapatan rendah tidak mampu mengakses kebutuhan dan pelayanan dasar seperti makanan, kesehatan dan pendidikan. Ini bisa berdampak buruk bagi masyarakat dan memperlambat proses pembangunan manusia – diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
IPM mengukur pencapaian rata-rata suatu negara dalam tiga dimensi: kesehatan, pendidikan, dan penghasilan individu untuk mendukung kehidupan yang layak. Ada empat kategori pembangunan manusia: sangat tinggi (IPM lebih dari 80), tinggi (antara 70 dan 80), sedang (antara 60 dan 70) dan rendah (di bawah 60).
Berdasarkan data IPM dari lembaga PBB, United Nations Development Programme (UNDP), Indonesia termasuk dalam kategori pembangunan manusia sedang.
Namun, tingginya kesenjangan antar kaya dan miskin nampaknya telah memperlambat pembangunan manusia Indonesia.
Menurut Human Development Reports, sepanjang tahun 2000-an IPM Indonesia meningkat rata-rata 0,92% per tahun dari 60.4 pada tahun 2000 menjadi 66.2 pada tahun 2010. Gini Indeks selama periode itu adalah antara 31.0 dan 38.0.
Dari tahun 2010 hingga 2014, IPM Indonesia tumbuh jauh lebih lambat, 0,78% per tahun karena ketimpangan ekonomi saat itu lebih tinggi. Pada masa kepresidenan SBY periode kedua, Indeks Gini naik menjadi 41.0.
Menurut para ekonom, pembangunan manusia sebuah negara tergantung pada dua pendorong utama: pertumbuhan ekonomi dan turunnya ketimpangan antar penduduk. Di bawah pemerintahan Jokowi, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi sekaligus turunnya ketimpangan.
Selama pemerintahan Jokowi, Indeks Gini berhasil diturunkan ke bawah 40.0. Angka terbaru menunjukkan 38.9 di bulan Maret 2018. Penurunan Indeks Gini diikuti dengan pembangunan manusia Indonesia yang lebih pesat dalam segi kesehatan, pendidikan dan penghasilan individu. Data terbaru menunjukkan IPM Indonesia saat ini adalah 70.8, tumbuh 1,3% per tahun sejak 2015.
Pembangunan manusia tingkat provinsi juga mengalami kemajuan cepat. Data menunjukkan saat ini masih ada 15 provinsi di bawah rata-rata IPM nasional tetapi 14 di antaranya sudah termasuk dalam kategori pembangunan manusia sedang.
15 provinsi di bawah rata-rata IPM, 2014 dan 2017; Source: BPS dan UNDP.
Provinsi daerah tertinggal juga menunjukkan peningkatan pesat dalam hal kesehatan, pendidikan, dan standar hidup. Di bawah pemerintahan Jokowi, Papua mencatat pembangunan manusia tercepat, diikuti oleh Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Barat. IPM mereka meningkat masing-masing 1,4%, 1,2% dan 1,1% per tahun.
Upaya Mengatasi Ketimpangan
Pemerintah berusaha mengatasi masalah ketimpangan melalui berbagai kebijakan.
Pemerintahan SBY fokus pada pengentasan kemiskinan secara progresif. Selama masa jabatannya, anggaran kemiskinan mencapai 7% pada tahun 2014, meningkat dari 5,7% pada tahun 2011. Dalam menanggulangi ketimpangan, program-program SBY berupaya memberdayakan masyarakat melalui bantuan pendidikan, kesehatan dan kredit mikro.
Pemerintahan Jokowi memutuskan untuk melanjutkan program SBY. Dari tahun 2015 hingga 2018, anggaran negara untuk program pengentasan kemiskinan meningkat dari 9% menjadi 12,8%.
Berbeda dengan pendekatan SBY, Jokowi tidak hanya memprioritaskan pembangunan rakyat tetapi juga infrastruktur dalam mengatasi ketimpangan. Menurut saya, inilah alasan mengapa strategi Jokowi lebih efektif daripada SBY dalam menangani ketimpangan.
Pembangunan infrastruktur bertujuan meningkatkan konektivitas serta mengurangi biaya logistik antar daerah. Pemerintahan Jokowi menaruh perhatian ekstra pada 30 proyek prioritas, termasuk proyek Palapa Ring, jalur kereta api Trans Sulawesi, dan jalan Trans Papua.
Untuk memperkecil kesenjangan pendidikan, pada tahun 2014 Jokowi memperkenalkan Program Indonesia Pintar. Program ini memberikan bantuan uang tunai kepada siswa – siswi keluarga kurang mampu usia 6 hingga 21 tahun dengan tujuan mereka akan menyelesaikan sekolah atau melanjutkan pendidikan minimal 12 tahun. Hingga Oktober 2017, lebih dari 17,9 juta kartu telah didistribusikan dari target 19,7 juta.
Jokowi juga merombak sistem pendidikan kejuruan. Beliau melibatkan pelaku industri untuk berkontribusi dalam pengembangan kurikulum sekolah kejuruan dan teknis. Di bawah kemitraan ini, perusahaan swasta akan menawarkan pelatihan dan peluang magang bagi para siswa dan guru. Perombakan ini bertujuan untuk meningkatkan keahlian para siswa kejuruan dan semakin memperkuat ketrampilan tenaga kerja Indonesia.
Arah yang Benar
Ketimpangan yang tinggi dapat berdampak negatif terhadap kualitas hidup manusia, kohesi sosial dan pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan di Indonesia erat kaitannnya dengan ketimpangan baik dalam mengakses peluang ekonomi maupun layanan publik.
Strategi pembangunan Jokowi terbukti telah mempertimbangkan masalah ini, makanya pemerintahannya menggabungkan pembangunan infrastruktur bersama sumber daya manusia.
Dengan bertambah lancar transportasi dan komunikasi di daerah, dan lebih banyak orang di pedesaan mendapat akses layanan publik yang setara, ketimpangan ekonomi akan semakin menurun. Indonesia kini juga bergerak ke arah yang benar dalam penanggulangan kesenjangan yang lebih efektif.
Mengatasi ketimpangan tetap merupakan tantangan bagi Indonesia. Saat ini kita juga perlu taruh perhatian pada pemerintah daerah. Mereka sekarang berperan sangat penting, terutama dalam memastikan dana dan program yang turun di daerah dapat ditangani secara optimal sehingga bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional dan menciptakan lapangan pekerjaan di desa. [Yenny Tjoe, Lecturer/ Tutor pada International Economics, Griffith University, Australia. Tulisan ini disalin dari The Conversation Indonesia.