Koran Sulindo – Sanggupkah Arab Saudi menghadapi musuh-musuhnya sendiri sementara sejarah menunjukkan ketergantungan akut negara itu pada tentara bayaran, milisi dan Amerika Serikat?

Saudi, meski memiliki akses ke senjata berteknologi tinggi dan anggaran militer terbesar di Timur Tengah ternyata gagal membangun kemampuan tempur yang kompeten dalam angkatan perangnya.

Selama kunjungan Presiden AS Donald Trump ke Saudi yang terkenal itu, Riyadh sepakat merogoh kocek hingga US$ 110 miliar untuk membeli senjata. Langkah yang dipandang banyak kalangan justru memicu perlombaan senjata yang berbahaya di Timur Tengah yang panas.

Sepanjang dekade-dekade terakhir, Saudi jelas bergerak dari negara yang semula hanya mengandalkan proksi untuk mencapai tujuannya, berubah dengan bertindak langsung menggunakan kekuatan militernya sendiri.

Sekarang,  setelah lebih dari tiga tahun mengusung perang yang gagal di Yaman, Putra Mahkota Saudi Mohammad bin Salman mengancam bakal, “membawa pertempuran langsung ke jantung Iran.”

Dengan dukungan teknologi dan asistensi ketat Departemen Pertahanan AS sejak 1953, apakah militer Arab Saudi mampu mencapai tujuannya dan apa sebenarnya doktrin militer Saudi?

Raja Baru Negara

Tak seperti kebanyakan militer yang mendasarkan prioritas doktrin mereka pada negara, Saudi sejak semula membanggun kesadaran publik melalui slogan Allah, Al-Malik atau raja baru kemudian Al-Watan atau negara.

Slogan nasional itu menjadi langkah dasar menyajikan kepentingan pertahanan penguasa atas bangsa dan membentuk dasar tanggung jawab bagi mereka yang dipercayakan melindungi negara.

Semenjak Saudi didirikan, kerajaan ini nyaris tak memiliki pengalaman yang bisa diandalkan untuk mengevaluasi kinerja tentara regulernya. Mereka sangat tergantung dengan milisi termasuk ketika menggelar kampanye di Yaman pada awal tahun 60-an.

Ketika Saddam Hussein menyerbu Kuwait tahun 1990 dan mengancam Saudi beberapa bulan kemudian, Raja Fahd bahkan membuat membuat permintaan resmi kepada AS untuk membawa pasukannya ke ‘dua tanah suci’ untuk melindungi rezimnya dari invasi.

Tak memiliki pasukan regular yang bisa diandalkan, AU AS dengan susah payah membuka jalan bagi mereka untuk memasuki kota perbatasan Al-Khafji, di dekat Kuwait. Pertempuran itu berguna meredam ketidakpuasan populer yang berkembang sebagai respon kehadiran Marinir AS di Saudi.

Kelemahan militer Saudi mulai terkuak dalam ‘Perang Saada’ saat melawan gerilyawan Houthi di Yaman tahun 2009 yang berhasil mengambil alih beberapa kota di perbatasan dan membunuh belasan Saudi dalam pertempuran berikutnya.

Perang Saudi di Yaman selanjutnya yang mulai diinisiasi tahun 2015 makin menunjukkan kelemahan Angkatan Darat Saudi yang jelas terlihat menyusul ketergantungan mereka pada peralatan canggih dan tentara bayaran.

Di garis depan mereka selalu menjadi bulan-bulanan gerilyawan Houthi dan gagal mempertahankan wilayah-wilayah yang sudah direbut meski mendapat dukungan ekstensif payung udara.

Di sisi lain, meski berkali-kali mengalami kegagalan Saudi sampai sekarang belum menetapkan persyaratan minimum untuk pasukan regulernya. Mereka tetap mengandalkan penggunaan agen luar, seringkali berupa milisi bersenjata dengan ideologi Wahhabi untuk menyelesaikan misi-misi mereka.

Faktor inilah ditambah kegagalan berinvestasi membangun produksi senjata domestik meskipun memiliki uang dan bahan mentah, membuat Saudi sangat bergantung pada bantuan asing membuat negara itu menjadi pasar potensial yang sangat menguntungkan pedagang senjata Barat.

Riwayat

Ketika Abdul-Aziz al-Saud yang didukung Inggris membangun Saudi modern tahun 1929, ia mengalahkan milisi yang sebelumnya justru diandalkan untuk mengamankan wilayah dan tahtanya.

Al-Saud saat itu mulai membangun pasukan yang pada akhirnya bakal menjadi inti tentara reguler Saudi setelah pengakuan internasional atas kerajaannya. Ia membangun apa yang disebutnya sebagai ‘Direktorat Urusan Militer’ tahun 1939 yang kemudian berubah menjadi Kementerian Pertahanan Saudi pada 10 November 1943.

Selama pertemuan antara Presiden Roosevelt dan Al-Saud bulan Februari 1945, Roosevelt diminta mengirim misi militer AS untuk mengawasi pelatihan tentara Saudi.

Tahun 1949, Jenderal Richard O’Keefe yang diangkat sebagai komandan pertama misi pelatihan AS, yang tidak secara resmi dimulai hingga empat tahun kemudian. Selesai pelatihan itu, mereka menandatangani apa yang disebut ‘Perjanjian Kerjasama Militer Bersama’ tahun 1951.

Misi Pelatihan Militer Amerika Serikat (USMTM) secara resmi dimulai tanggal 27 Juni 1953 dan mengambil markas di Dhahran sebelum pindah ke lokasi sekarang di Desa Iskan yang sekarang disebut Riyadh.

“Misi kami adalah memperkuat keamanan nasional AS dengan membangun kemampuan pasukan Saudi untuk membela kepentingan bersama kami di Timur Tengah,” begitu bunyi misi USMTM di situs webnya.

Pada 8 Februari 1977, AS dan Saudi menandatangani perjanjian baru yang mengatur pekerjaan misi pelatihan.

Artikel ketiga dari perjanjian itu adalah klausul yang meninggalkan jumlah tentara dan perwira Amerika yang bergabung dengan misi terbuka dan dapat berubah berdasarkan kebutuhan yang ditentukan oleh Kementerian Pertahanan Saudi, Ketua Staf Saudi, dan Pentagon.

Pasal 5 dari perjanjian tersebut menggambarkan fungsi misi sebagai, “USMTM bertanggung jawab untuk memberikan layanan konsultasi dalam Perencanaan, Organisasi, Pelatihan, Dukungan Logistik dan Persenjataan.”

USMTM juga memiliki hak istimewa untuk meminta pengiriman senjata ke Saudi dengan program yang disebutnya sebagai Penjualan Militer .

Sementara itu pada Pasal 6, personil militer AS tertanam dalam struktur dan kinerja Angkatan Bersenjata Saudi. Di bawah ketentuan itu, Washington berkomitmen pada tentaranya  bahkan setelah pensiun untuk menutup mulut tanpa mengungkap rincian sifat misi atau rahasia militer Saudi.

Di sisi lain, Saudi membebaskan personel USMTM dari bea cukai dan pajak, berkomitmen untuk menyediakan perumahan yang cocok, menanggung biaya “transportasi, makanan, hiburan, perabotan dan layanan medis.” Ini termasuk untuk memungkinkan pesawat militer AS mendarat dan lepas landas dari bandara sipil dan militer tanpa biaya.

Setelah Perang Teluk 1991 dan pembebasan Kuwait, pemerintahan Bush mencoba merundingkan amandemen terhadap perjanjian untuk memperkuat militer AS di Arab Saudi.

Negosiasi tersebut gagal, karena situasi di Saudi justru sedang berada di tengah gelombang kemarahan publik atas kehadiran militer AS di Kerajaan. Setelah Peristiwa 9/11 dengan meningkatnya ketegangan antara Washington dan Riyadh, AS sebenarnya sudah berniat mengakhiri misi itu namun belakangan memutuskan sebaliknya.

Tentara Saudi

Sebuah buku pegangan 2008 yang diterbitkan Intelijen Korps Marinir yang digunakan sebagai handbook memberikan pandangan singkat hampir semua tentang Saudi termasuk sejarah, geografi, masyarakat dan militernnya.

Menurut dokumen itu, Saudi diperkirakan memiliki 200.000 personel militer dengan 20.000 cadangan dan 15.000 paramiliter.

Dokumen itu memuat daftar struktur Departemen Pertahanan termasuk Pasukan Kerajaan Saudi (RSLF), Angkatan Laut Kerajaan Saudi (RSNF), Angkatan Udara Kerajaan Saudi (RSAF), Angkatan Udara Pertahanan Saudi ( RSADF) dan Garda Nasional Arab Saudi (SANG).

Dokumen juga mencantumkan kemampuan persenjataan pasukan Saudi dan menyebutkan kekurangan masing-masing unit, terutama ketidakmampuan kronis untuk mengumpulkan sukarelawan dari para pemuda.

Bagi mereka menjadi tentara dianggap tidak menarik.

Meski memiliki basis populasi yang besar, untuk memastikan tentara memiliki kesinambungan tenaga dan insentif material menarik, Angkatan Darat Saudi benar-benar menghadapi kesulitan akut merekrut dan mempertahankan kecukupan personelnya yang  berkualifikasi.

Minim kapasitas dan motivasi, tentara bayaran harus melakukan berbagai fungsi, mulai dari servis dan pemeliharaan sistem senjata hingga permintaan suku cadang dan pasokan.

Laporan itu juga tak memberi nilai lebih pada RSAF yang secara historis diharapkan memiliki keterampilan ofensif.

Mereka memiliki kelemahan mendasar dalam perencanaan operasional udara strategis dan eksekusi di tingkat taktis. Minim pengalaman dalam operasi ofensif, RSAF memiliki ketergantungan berlebihan pada dukungan teknis dan personel asing untuk mengelola dan mempertahankan operasi tempur. (TGU)