Sapardi Djoko Damono, 1940-2020

Sapardi Djoko Damono bukan hanya setia kepada perpuisian, ia juga mengkristalkan dan memperbarui tradisi puisi lirik Indonesia. Seperti halnya Chairil Anwar, sajak sajak Sapardi bukan hanya menarik generasi yang Iebih muda untuk menulis puisi, tapi menyebarkan semacam gaya dominan dalarn khazanah sastra indonesia. Puisi Sapardi adalah sebuah puncak pencapaian bahasa Indonesia. Sapardi Djoko Damono, sosok penting dalam sastra Indonesia modern.

Serangkaian kumpulan puisi Sapardi mencerminkan bagaimana seorang pencipta menyegarkan bahasa, seraya menemukan gaya pribadinya sendiri. Kumpulan puisinya yang pertama, Duka Mu Abadi (1969) adalah upaya melanjutkan warisan Amir Harnzah dan Chairil Anwar, dua sosok awal puisi modern Indonesia. Setelah bahasa dan sastra sekadar menjadi bagian dari slogan dan jargon pada paruh pertama 1960-an, Sapardi merebut kembali kata sebagai milik paling dasar dalam penciptaan dan kebebasan.

Duka Mu Abadi adalah titik kelahiran kembali puisi lirik Indonesia. Di sana, khususnya dengan bentuk kuatrin dan soneta, Sapardi mendedahkan kembali pengalaman kongkret manusia, sang aku, yang berhadapan dengan alam, Tuhan, cinta, kehidupan, dan maut. Pengalaman yang pada masa sebelumnya diringkus oleh rumus rumus yang ‘besar” dan abstrak.

Sajaknya yang amat berima itu dibangunnya dengan frasa-frasa yang seringkali menggantung, tak selesai: paradoks indah yang membawakan kesunyian, keterpecahan dan ambiguitas.

Sajak-sajak ringkasnya menunjukkan bahwa penyair kelahiran Surakarta, 1940, ini bisa membuat lukisan yang sempurna dengan sesedikit mungkin kata. la melakukan subversi terhadap kemubaziran yang selama ini menjadi ciri umum dalam (pemakaian) bahasa Indonesia.

Sapardi kemudian menulis puisi yang sepintas lalu berbentuk prosa sebagaimana terlihat pada Akuarium (1974) dan Perahu Kertas (1983). Eksperimen yang penuh risiko ini berhasil menciptakan tamsil-tamsil modern yang menggoda pembaca dengan ambiguitas maupun intelektualisme, kesederhanaan maupun ragam tafsiran.

Dengan membuat parodi terhadap kisah kitab suci, dongeng perwayangan, kehidupan panggung, pemandangan sehari-hari, dan pengalaman masa kecil, Sapardi menjadikan puisi bukan lagi sekadar bentuk, tapi kualitas, sukma, dan bahkan cara memandang dunia.

Bila pada masa berikutnya Sapardi menulis lagi puisi lirik tapi dengan bahasa yang jauh lebih sederhana, katakanlah bahasa sehari-hari, maka itulah upayanya untuk menarik pembaca kembali sebagai penghasil makna yang aktif.

Ada komunikasi sejati yang ingin dibangunnya agar si pembaca mencari kata “yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu,” sebab selama ini pembaca hanyalah konsumen yang terjajah oleh pamflet, berita, dan pidato.

Demikianlah kita membaca kumpulan puisinya Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Ayat-ayat Api (2000), dan Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002).

Kesetiaan penyair yang juga dosen dan penerjemah ini membuktikan bahwa sastra Indonesia bisa berdiri kokoh apabila cakrawalanya menyambung ke khazanah sastra dunia. Kebebasan berkreasi berarti kesetiaan terhadap sastra sekaligus penolakan terhadap fundamentalisme kebudayaan sendiri. Para pengamat yang jitu akan mudah mengenali “kompleks gaya Sapardi”

Dikutip masyarakat

Penyair adalah ia yang bermain-main dengan kata. Bila kata sudah begitu ditaklukkan dalam kehidupan sehari-hari, sekadar menjadi kendaraan bagi pesan dan ajaran yang kering-kerontang, maka di tangan Sapardi Djoko Damono kata kernbali sebagai organisme yang punya nalar dan nalurinya sendiri. Dengan ketrampilannya yang tinggi, permainan dengan kata pun dengan sehat berujung ke tata kata yang baru.

Begitu populernya kata-kata, frasa atau bait-bait puisi Sapardi, hingga melekat dalam benak pembacanya, jadi kutipan sehari-hari dalam percakapan atau tulisan warga.

Sapardi Djoko Damono lahir diKampung Baturono, Solo, 20 Maret 1940. Berdasarkan kalender Jawa, ia lahir di bulan Sapar. Hal itu menyebabkan orang tuanya memberinya nama Sapardi.

Awal karir menulis Sapardi dimulai dari bangku sekolah. Saat masih di sekolah menengah, karya-karyanya sudah sering dimuat di majalah. Kesukaannya menulis semakin berkembang ketika dia kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM.

Penyair yang tersohor namanya di dalam maupun luar negeri ini juga sempat mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Ia juga pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar serta menjadi redaktur pada majalah Horison, Basis, dan Kalam.

Karya lengkap Sapardi

Selain puisi sapardi juga menulis berbagai buku dan terjemahan, juga cerita pendek. Cerita-cerita pendek Sapardi yang dikumpulkannya dalam Pengarang Telah Mati (2001) dan Membunuh Orang Gila (2003) dapat kita pandang sebagai kelanjutan puisi prosanya. Tapi bila di sini anekdot menjadi lebih terang benderang, ini hanya berarti bahwa Sapardi pun menjadi altematif yang tajam bagi para pengarang Indonesia yang berlarat-larat dengan tokoh, latar, alur, dan isi seni.

Karya Sapardi terakumulasi dalam buku Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-Ayat Api (2000), Mata Jendela (2000), dan Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2003).

Sapardi juga menulis beberapa buku penting di bidang sastra yakni Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979), Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1999), Novel Jawa Tahun 1950-an:Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur (1996), Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999),  Sihir Rendra: Permainan Makna (1999).

Sapardi juga menerjemahkan beberapa karya penulis luar negeri ke dalam bahasa Indonesia. Karya-karya tersebut yakni Duka Cita bagi Elektra (Mourning Becomes Electra . Eugene O’Neill), Daisy Manis (Daisy Milles, Henry James), Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and the Sea, Ernest Hemingway), Puisi Brasilia Modern, Sepilihan Sajak, George Siferis, dan lain-lain.

Penghargaan

– Cultural Award dari Australia (1978)
– Anugerah Puisi Putra dari Malaysia (1983)
– SEA Write Award dari Thailand (1986)
– Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia (1990)
– Mataram Award (1985)
– Kalyana Kretya (1996) dari Menristek RI
– Penghargaan Achmad Bakrie (2003)

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, meninggal dunia di Rumah Sakit Eka Hospital, Tangerang Selatan, Minggu 19 Juli 2020. [KS]