Sang Presiden Pengubah Tradisi Amerika Serikat

Presiden terpilih AS ke-45 Donald Trump [Foto: istimewa]

Koran Sulindo – Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan umum (pemilu) presiden Amerika Serikat (AS) pada 8 November lalu membetot perhatian dunia internasional. Selain karena kemenangannya meruntuhkan berbagai prediksi yang mengunggulkan pesaingnya Hillary Clinton, juga karena Trump merupakan presiden AS pertama yang tidak memiliki pengalaman politik dan militer.

Dalam sejarah AS, umumnya presiden negara adidaya tersebut selalu berpengalaman di bidang politik atau setidak-tidaknya di bidang militer. Itu terjadi sejak era George Washington hingga Barrack Obama. Dan kali ini – presiden terpilih AS – Trump sama sekali tidak memilikinya. Ia mengubah tradisi yang mapan itu. Berdasarkan dokumen dan arsip sejarah AS sesuai dengan tiap-tiap periode, presidennya selalu terlebih dulu menduduki jabatan publik merujuk pada pengalaman politik dan posisi kepemimpinan yang merujuk pada pengalaman militer.

Atas dasar itu, periode 1789 hingga 2016, presiden AS menduduki jabatan politik rata-rata 13 tahun dan 5,6 tahun untuk dinas militer. Untuk kedua hal ini, Trump sama sekali tidak memilikinya. Seperti Trump, Zachary Taylor, Ulysses S. Grant, dan Dwight Eisenhower juga tidak pernah menduduki jabatan publik. Ketiganya akan tetapi pernah berdinas di militer.

Sebaliknya Trump sama sekali tidak pernah berdinas di militer justru dalam kampanyenya beberapa waktu lalu menghina para veteran perang termasuk senator John McCain, veteran perang Vietnam. Sementara presiden ke-8 AS Martin Van Buren menghabiskan 31 tahun menduduki jabatan publik termasuk sebagai gubernur, senator, jaksa agung, menteri luar negeri hingga wakil presiden. Sedang Trump sibuk membangun hotel dan lapangan golf.

Obama saja yang dianggap Partai Republik tidak berpengalaman setidaknya pernah menjadi senator selama 12 tahun. Kini Trump – pengganti Obama yang merupakan calon dari Partai Republik – sama sekali tak berpengalaman. Anehnya, kekurangannya itu justru menjadi modal Trump untuk menarik pemilih karena ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.

Trump juga merupakan satu-satunya presiden AS terpilih yang mampu memobilisasi massa untuk menentangnya. Mulai hari pertama hingga hari kelima, ribuan massa masih menolak kemenangan Trump di berbagai kota di AS. Massa memenuhi jalan-jalan Los Angeles, San Fransisco,  dan Philadelpia. Catatan independent.co.uk pada 14 November 2016, setidaknya demonstrasi anti-Trump terjadi di 25 kota. Sebuah kelompok perempuan bahkan sedang merancang akan menurunkan jutaan massa pada 21 Januari tahun depan atau sehari setelah Trump dilantik menjadi presiden.

Polisi memperkirakan jumlah demonstran anti-Trump di Los Angeles mencapai delapan ribu orang. Lalu, pada Jumat (12/11) malam bentrokan antara massa dan polisi tidak dapat dihindarkan. Pemicunya karena demonstran menolak untuk dibubarkan. Akibatnya, polisi menangkap sekitar 200 orang demonstran.

Salah satu demonstran dan pengurus serikat buruh Ru Dominguez, 52 tahun, mengatakan, pihaknya akan tetap menentang Trump dalam berbagai kesempatan. “Kita akan selalu bersatu,” dan “Trump seorang rasis, bodoh dan dia bukan presiden saya,” kata Dominguez seperti dikutip independent.co.uk pada 14 November lalu.

Aksi menentang Trump juga terjadi di London, Inggris dan Kedutaan Besar AS di Jerman. Bahkan demonstran sempat bentrokan dengan pendukung organisasi sayap kanan Inggris di depan kantor Kedutaan Besar AS di London. Para demonstran mengatakan tidak pada seorang rasis. Kampanye Trump disebut paling rasis dalam sejarah pemilu presiden AS.

Sejak 8 November lalu, lebih dari 3,6 juta orang menandatangani petisi dan memilih Hillary sebagai presiden. Mereka secara sukarela akan memberikan suara mereka pada 19 Desember nanti sehingga menunjukkan keunggulan dari Partai Demokrat. Pesan demonstran ini jelas: mereka tidak mau Trump sebagai presiden. Meski kalah dalam perhitungan electoral college, demonstran memastikan aksi protes akan terus berlanjut hingga aspirasi mereka didengarkan. [KRG]