Ilustrasi

Koran Sulindo – Salah seorang pendiri dan kemudian menjadi pemilik utama media sosial raksasa Facebook itu terlihat berwajah tegang. Berjalan kaki dari lobi menuju ruang sidang Konggres (semacam DPR) Amerika Serikat di Gedung Capitol, Mark Zuckerberg terlihat seperti pesakitan. Puluhan wartawan terlihat terus menguntit, tapi ia tak tertarik menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.

Pekan lalu selama 2 hari, total 10 jam, Mark dicecar sebanyak 600 pertanyaan dari wakil rakyat AS itu, terutama soal pencurian data, monopoli, dan ketidakpedulian pada para penggunanya. Selama duduk di tengah ratusan kamera dan banyak mata itu memang Mark terlihat tertekan, tapi jawaban-jawabannya cenderung template, seperti dipersiapkan untuk mengambang, seperti tahu Facebook terlalu raksasa bisa jatuh setelah skandal yang menghebohkan pada pertengahan Maret lalu.

Sebermula perusahaan konsultan Inggris, Cambridge Analytica, dituduh mencuri data 50 juta pengguna Facebook tanpa izin, dan menggunakannya untuk membantu kampanye politik termasuk memenangkan Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat pada 2016.

Sebenarnya itu bukan kali pertama masalah besar menerpa jaringan media sosial terbesar dunia itu. Diduga dilakukan juga saat referendum Brexit Inggris lalu.

CEO Facebook itu akhirnya berbicara, setelah sekitar sepekan seolah bersembunyi. “Kami bertanggung jawab melindungi data anda, dan jika tak mampu, kami tak layak melayani anda,” tulis Zuckerberg di akun Facebooknya, Rabu (21/3/2018) malam waktu Amerika Serikat (Kamis dinihari WIB).

Kalimat senada diulang pendiri Facebook itu saat diwawancarai stasiun televisi CNN dalam acara Anderson Cooper 360, sehari kemudian. “Ini adalah pelanggaran besar kepercayaan. Saya benar-benar minta maaf hal ini terjadi. Kami punya tanggung jawab mendasar untuk melindungi data orang-orang.

Yang baru dari kesaksian Mark di depan DPR AS itu adalah jumlah pengguna Facebook yang dicuri datanya: tak hanya 50 juta, tapi lebih besar, dan tak hanya di AS dan Eropa saja. Pemilik akun Facebook di Indonesia yang dibobol berjumlah lebih dari 1 juta buah, 300 ribu di Australia, dan lebih 1 juta warga negara Filipina.

Dan soal regulasi untuk mengatur medsos dimentahkan Mark lagi, sambil mengulang kalimat yang diucapkan bermimnggu-minggu sebelumnya, “Saya tidak yakin kita tidak seharusnya diatur. Saya benar-benar berpikir pertanyaannya lebih ke bagaimana regulasi yang tepat ketimbang apakah ini harus diatur atau tidak?”

Blokir?

Dari dalam negeri, surat peringatan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI hanya dijawab dengan surat standar dari Facebook perwakilan Irlandia, dan tak menyinggung apa yang diminta Kominfo. Menteri Rudiantara harus mengirim untuk kali kedua surat peringatan, dan mengancam akan memblokir layanan perusahaan itu di tanah air.

Tapi tampaknya ancaman pemerintah menutup Facebook hanya gertakan. Pertama, negeri ini belum mempunyai Undang-undang tentang perlindungan data pribadi, dan isu tentang pemblokiran biasanya berangkat dari isu konten, tapi untuk Facebook berawal dari isu data pribadi pengguna layanannya.

“Jadi, alasannya apa kalau dilakukan penutupan?” kata Deputi Direktur Riset Elsam Wahyudi Djafar, pekan lalu, seperti dikutip antaranews.com.

Daripada seolah ingin menunjukkan perkasa di tengah semua pihak menghantam Facebook, Wahyudi menyarankan pemerintah dan Facebook melakukan audit bersama soal data-data yang bocor,untuk mengetahui letak pelanggaran, data apa yang dibocorkan, serta data apa yang dipindahtangankan.

Jika diblokir, dikhawatirkan justru membatasi hak informasi publik yang selama ini dapat berkomunikasi melalui Facebook serta mengambil informasi dari medsos itu.

Dan lagi, data terakhir dari survei WeareSocial, sekitar 130 juta warga Indonesia adalah pengguna aktif medsos, dan sebanyak 40 persennya pengguna Facebook. Tanpa medsos dalam negeri sebagai pengganti, sungguh sebuah kebijakan yang gagah-gagahan.

Sandyangkalaning?

Namun bersamaan dengan hearing dengan anggota Kongres itu, harga saham Facebook justru melonjak hingga 4,5 persen, setelah sempat jatuh hingga 12 persen ketika kasus pencurian data ini mulai terkuak pada Februari lalu.

Tak seperti punahnya Friendster karena datangnya format medsos baru MySpace, Facebook takkan punah dengan cepat karena beberapa alasan mendasar. Pertama, pengguna layanan sosial itu kini tercatat sebanyak 2 miliar orang, hampir seperempat penduduk dunia. Walau beberapa minggu terakhir gerakan mendelete akun Facebook ramai di berbagai medsos, tercatat dari survei lembaga Creative Strategies hanya sekitar 9 persen pemilik akun di AS menghapus dirinya dari Facebook.

Kedua, Facebook tak hanya raksasa dari dana yang terakumulasi didalamnya, tapi juga merupakan pemilik Youtube dan Whatapps, dua raksasa teknologi lainnya. Ketiganya kini adalah bagian dari kehidupan sehari-hari mayoritas orang.

Terakhir, walaupun kasus pencurian data Facebook itu sering digembar-gemborkan sebagai ancaman bagi demokrasi, tapi pertanyaan bisa dibalik, apakah demokrasi bisa berjalan dengan baik tanpa medsos?

Seperti ditulis Jakob Ohme dalam theconversation.com (Facebook is now a vital part of our democracy), Facebook dan beberapa platform medsos lain kini memainkan peranan utama dalam kehidupan politik kini. Banyak warga negara kini menyandarkan berita-berita hariannya justru dari medsos, di saat sama ketika jumlah sirkulasi media cetak terus turun dan rating siaran berita di televisi stagnan. Bagi generasi muda yang lahir bersama internet, kenyataan ini bahkan begitu nyata; mereka hidup di dunia di mana berita bukanlah suatu yang harus dicari, berita yang aakan mendatangai mereka. Lagi-lagi bersandar pada mekanisme medsos.

Medsos kini juga menjadi ruang penting untuk berpolitik, diskusi, dan menjalin gerakan. Para tokoh politik kini juga menggunakan medsos bagian penting dari strategi kampanyenya.

Facebook takkan punah dalam waktu dekat. Ini bukan sandyakalaning medsos itu. Senjakala Facebook masih jauh. Ia masih tetap bagian penting dalam dunia kehidupan kita sehari-hari. [Didit Sidarta]