Sampai Kapan Rupiah Lunglai?

Ilustrasi/pxhere.com

Koran Sulindo – Sekitar Mei lalu Rupiah menembus level psikologis Rp14.000 per dolar, dan terus turun nilai tukarnya terhadap mata uang asing terutama dolar Amerika Serikat. Bulan itu mata uang Republik Indonesia tersebut tercatat sebagai mata uang dengan kinerja terjelek kedua di Asia pada Februari sampai April 2018. Valuasinya turun hingga 4 persen dibandingkan setahun sebelumnya,

Memang tren pelemahan rupiah tidak hanya dialami negeri ini. Seluruh mata uang negara-negara Asia lain juga berjatuhan. Tapi hanya Peso Filipina di Asia Tenggara dan Rupee India di tingkat Asia yang jatuh dalam bersama Rupiah. Namun Rupiah jatuh lebih dalam.

Skenario terburuk: nilai tukar Rupiah sekitar Rp15.000 per dolar AS pada penghujung tahun ini dan sekitar Rp15.500 setahun lagi ketika pemilihan presiden diselenggarakan. Skenario yang dirilis Bloomberg itu berarti lebih besar Rp 1.000 dari yang dicatatkan pemerintah dalam anggaran pendapatan dan belanja negara 2019 nanti. Artinya, tahun depan uang negara turun nilainya hampir 10 persen daripada APBN sebelumnya, walau nominalnya mungkin lebih besar.

Bank Indonesia memang terus mengintervensi melalui pembelian surat utang dan penjualan valuta asing untuk menjaga rupiah. BI juga menaikkan suku bunga perbankan, hingga saat ini selama 2 kali, dan mungkin akan terus dilakukan lagi.

Rupiah cuek, tetap saja lunglai.

Sejak awal bulan ini Rupiah berada pada kisaran Rp14.400 per dolar AS dan tak ada tanda-tanda pelemahan ini bakal mereda. Bahkan mungkin akan makin anjlok mengingat apa yang akan terjadi bulan-bulan mendatang.

Teror pertama adalah bank sentral AS. Federal Reserve (the Fed) terus menaikkan suku bunga perbankannya. Sejak awal tahun hingga pertengahan 2018 ini suku bunga di AS sudah naik 2 kali. Kenaikan suku bunga di AS itu memicu para investor mengambil uangnya di Indonesia (dan negara berkembang lainnya) dan kembali menyimpannya di AS (dan negara-negara maju lainnya); atau para pemilik uang itu memilih membeli aset-aset yang berbasis dolar AS. Akibatnya, permintaan dolar di pasar meningkat dan otomatis menguat terhadap mata uang negara lain, termasuk rupiah.

The Fed berjanji akan kembali menaikkan suku bunga hingga 2 kali lagi hingga akhir tahun nanti. Pada akhirnya nanti BI harus lagi-lagi ikut menaikkan suku bunga.

Teror kedua: Rupiah yang terus merosot akan menambah beban utang pemerintah. Sebagian besar utang Indonesia dalam bentuk mata uang asing. Terus turunnya nilai tukar Rupiah juga menyebabkan kenaikan laju inflasi. Akibatnya ongkos produksi makin mahal, terutama produksi yang memakai bahan baku impor.

Teror ketiga, heboh perang dagang AS versus Cina. Dampak negatif perang dagang kedua negara ini mungkin akan merugikan Indonesia. Konflik 2 negara super power ini berdampak negatif untuk ekspor Indonesia, khususnya komoditas seperti biodiesel dan produk-produk turunan dari minyak mentah kelapa sawit. Kedua negara itu adalah 2 negara terpenting untuk ekspor Indonesia. Implikasi selanjutnya adalah menurunnya permintaan Rupiah yang akan berdampak pada terus melemahnya mata uang nasional itu.

Semua teror itu sebenarnya tak menakutkan jika pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia juga terus naik, juga konsumsi domestik. Tapi tepat di situ pulalah semua ini bermula. PDB Indonesia memang naik tapi tak signifikan. Sementara komsumsi dalam negeri, yang selalu disokong oleh komsumsi rumah tangga, nada-nadanya tak bergerak. Rakyat mengalihkan duit di kantongnya ke tabungan dan biaya pendidikan daripada membelanjakannya.

Berita Baik

Itu tadi berita buruknya. Sekarang berita baiknya. Rupiah melemah, importir merugi. Namun justru eksportir Indonesia diuntungkan dengan situasi ini, uang yang mereka terima setelah mengirim dagangannya ke mancanegara akan lebih besar. Bagi konsumen luar negeri, barang-barang Indonesia menjadi lebih murah dan lebih kompetitif di pasar dunia.

“Ketika ekspor naik dan impor turun, net ekspor Indonesia akan meningkat. Pertumbuhan jangka pendek ekonomi Indonesia dalam hal ini akan terpacu. Ini akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang beberapa tahun ini macet di level 5%,” kata Tommy Soesmanto, pengajar di Economics and Business Statistics, Griffith University, dalam tulisannya di The Conversation (Nilai tukar rupiah terus merosot di atas Rp14.000 per dolar. Kapan akan stabil?).

Jadi jangan buru-buru menangis untuk Indonesia. Walau nilai tukar uang terus melemah dan uang asing tetap masih menguasai separuh obligasi negara. Para pemilik modal bahkan berani bertaruh secara jangka panjang ekonomi negeri di katulistiwa ini akan jauh lebih menguntungkan daripada banyak negeri yang sekarang juga dihantam pelemahan mata uang.

Mata mereka bisa melihat jauh dan mungkin segera membeli kesempatan ini. Institusi-institusi keuangan asing ramai-ramai memborong obligasi Indonesia, seolah memberi testamen naikknya kepercayaan mereka pada Indonesia dan paham lunglainya rupiah belakangan ini lebih disebabkan mayoritas karena faktor global.

Indonesia jauh lebih indah dan tak menggolongkannya dalam satu keranjang dengan, misalnya, Turki, Afrika Selatan, atau Brazil.

“Kini lebih banyak investor jangka panjang berkomitmen pada Indonesia darpiada yang lalu-lalu,” kata Roland Mieth, manajer portfolio EM di Pimco, pekan lalu, seperti dikutip ft.com.

EM singkatan dari emerging market, negara-negara berkembang.

Kini setelah BI menaikkan suku bunga dan mata uangnya lagi lemah, obligasi negara RI menawarkan keuntungan yang menarik hati.

“Kami pikir ada peluang bagus tetap bertahan di sini,” kata Mark Baker, manajer investasi di desk EM pada Aberdeen Standard Investments, pekan lalu, seperti dikutip ft.com.

Obligasi RI kini jauh lebih menarik daripada Malaysia, China, atau Filipina. Suku bunganya naik 2 persen dalam 12 bulan terakhir.

Sebanyak 38 persen obligasi RI kini di tangan asing.

Mereka kini memasang mata baik-baik pada Bank Indonesia yang berjanji akan melakukan apapun untuk menyetabilkan ekonomi dan mengesampingkan pertumbuhan ekonomi jauh di belakang.

BI memang telah membuang banyak uang sejak Mei lalu untuk mengamankan nilai tukar rupiah. Hingga akhir Juni lalu, BI diperkirakan sudah mencuil dari cadangan devisa RI sebanyak 10,4 miliar dolar AS untuk menyentor pasar dan Rp 60 triliun menjaga likuiditas obligasi.

Dalam masa-masa krisis seperti ini, kredibilitas dan kepercayaan diri adalah yang dibutuhkan dari lembaga bank sentral negara. BI tampaknya memiliki keduanya. Rupiah mungkin masih akan lunglai, tapi ekonomi negeri ini tampaknya sudah biasa mengalaminya dan tahu cara menyegarkannya. [Didit Sidarta]