Rupiah Terus Melemah, Awal dari Krisis?

Ilustrasi, pelemahan nilai rupiah terhadap dolar AS - Bisnis

SEPANJANG tahun ini nilai mata uang rupiah terus mengalami penurunan. Pada Januari 2022 kurs rupiah masih berada di kisaran Rp14.200 per 1 dolar AS (USD), namun kemudian terus merosot, bahkan memasuki bulan Oktober rupiah semakin kehilangan nilainya menjadi Rp15.200 per dolar AS.

Penurunan nilai rupiah hingga 7 persen dalam sembilan bulan terakhir cukup ekstrim dan mencerminkan tidak stabilnya perekonomian Indonesia. Ini berdampak semakin tingginya harga barang kebutuhan yang berasal dari impor.

Ada beberapa sebab pelemahan rupiah saat ini, yaitu faktor luar negeri maupun faktor dalam negeri. Ekonom Bhima Yudhistira mengatakan bahwa nilai tukar rupiah melemah dipengaruhi oleh sentimen pengetatan moneter yang lebih agresif di negara maju.

“Karena agresifitas kebijakan moneter di negara maju, yang menaikkan suku bunga sehingga mendorong aliran modal keluar di negara berkembang. Tapi, ini tidak hanya terjadi di Indonesia,” kata Bhima Rabu (28/9).

Berbagai bank sentral negara-negara ekonomi maju seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Kanada dan bank sentral Uni Eropa memang sedang getol menaikkan suku bunga dengan alasan untuk menekan inflasi di dalam negeri mereka yang hampir mencapai dua digit. Bank sentral AS yang disebut The Fed sendiri telah tiga kali menaikkan suku bunganya pada tahun ini.

Sedangkan faktor dalam negeri adalah membengkaknya impor serta pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo dalam nominal mata uang asing terutama dolar AS.

Jumlah impor Indonesia sepanjang tahun 2022 (Januari – Agustus) tercatat sudah mencapai 159,7 miliar dolar AS, atau mengalami kenaikan hampir 30 persen dibanding periode yang sama tahun 2021 yaitu hanya 123 miliar dolar AS.

Peningkatan impor menyebabkan permintaan akan dolar meningkat dan menekan nilai rupiah. Adapun barang yang di Impor adalah komoditi migas sebesar 27,6 miliar USD sedangkan barang non migas impor sebesar 132,1 miliar USD.

Selain itu pembayaran utang luar negeri dalam mata uang asing turut menekan nilai rupiah. Hal ini disebabkan adanya kewajiban pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo pada tahun 2022 sekitar 59 miliar USD atau senilai 897 triliun rupiah (kurs 1 USD setara Rp 15.200).

Hingga Juli 2022 posisi utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar 400 miliar USD  yang terdiri dari utang pemerintah sebesar 194 miliar USD dan utang privat sebesar 206 USD. Utang privat itu didalamnya termasuk termasuk utang BUMN sebesar 55 miliar USD.

Dampak terhadap perekonomian

Pelemahan nilai tukar yang terjadi secara terus menerus tentunya akan membebani perekonomian Indonesia terutama membengkaknya pengeluaran untuk mendatangkan barang dari luar negeri atau impor. Dampak lain adalah kenaikan harga barang impor dalam nilai rupiah.

Sebagaimana diketahui Indonesia masih mengimpor berbagai kebutuhan mulai dari kedelai, gandum, sapi, alat pertanian, pupuk, mesin, bahan baku industri hingga bahan bakar minyak.

Ekonom Universitas Indonesia, Ninasapti Triaswati menuturkan dampak pelemahan rupiah ini harus diantisipasi. Khususnya untuk komoditas energi dan pangan yang berasal dari negara lain.

Komoditas pangan, seperti gula, garam dan kedelai serta gandum juga akan alami kenaikan harga. “Kita masih impor bahan pangan strategis,” kata Nina. Pelemahan nilai tukar disebut juga akan menciptakan tekanan inflasi yang lebih besar di dalam negeri.

Sejalan dengan itu, pelemahan rupiah yang semakin dalam akan mendorong Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuan. Kenaikan suku bunga acuan yang terlalu tinggi ini akan menghambat penyaluran kredit perbankan baik itu kredit konsumsi ataupun kredit usaha.

Konsumsi masyarakat juga menjadi tertekan, masyarakat akan mengurangi belanja akibat kenaikan suku bunga pinjaman, misalnya belanja untuk properti melalui kredit pemilikan rumah [KPR] atau kendaraan bermotor.

Dari sisi produksi, biaya bahan baku juga akan meningkat signifikan akibat rupiah melemah, terutama pada sektor industri pengolahan untuk bahan baku dan mesin yang diperoleh dari impor.

Rentan

Kelompok yang paling terdampak dari pelemahan nilai rupiah dan tingginya inflasi adalah masyarakat ekonomi menengah kebawah yang umumnya bekerja sebagai buruh pabrik, buruh tani, pekerja bangunan, pedagang kecil, pelaku UMKM ataupun pekerja informal seperti ojek online. Masyarakat rentan ini memiliki komposisi terbesar dalam masyarakat Indonesia.

Berkaca dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) saja pemerintah bersusah payah mempertahankan daya beli masyarakat dengan menggelontorkan Bantuan Langsung Tunai kepada 20 juta keluarga atau meliputi lebih dari 80 juta jiwa. Artinya jika tidak ada lagi program BLT dapat dipastikan 80 juta warga itu terancam jatuh dalam jurang kemiskinan ekstrim.

Persoalan lain adalah ancaman serius bagi pelaku industri dalam negeri dan UMKM. Menurunnya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga barang adalah prospek suram akan menurunnya permintaan yang dapat berujung pada pengurangan produksi dan menyusutnya usaha.

Penurunan nilai tukar rupiah juga menjadi anomali serta gambaran rapuhnya ekonomi Indonesia. Ternyata surplus perdagangan luar negeri tidak membuat nilai rupiah menguat seperti normalnya perekonomian negeri kapitalis.

Bank Indonesia menyebut neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Juli 2022 secara keseluruhan mencatat surplus 29,17 miliar dolar AS, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama tahun 2021 sebesar 15,95 miliar dolar AS.

Bank Indonesia memandang bahwa surplus neraca perdagangan tersebut telah berkontribusi positif dalam menjaga ketahanan eksternal perekonomian Indonesia. Namun kenyataannya surplus itu telah tergerus oleh pembayaran utang luar negeri yang terus meningkat.

Perlu di ingat bahwa surplus perdagangan luar negeri Indonesia masih didominasi oleh dua komoditi andalan yaitu batu bara dan minyak sawit yang harganya tengah melonjak lebih dari 100 persen akibat diombang-ambing pasar internasional. Surplus itu dapat lenyap dalam sekejap apabila harga kembali ke titik normal atau jika terjadi resesi global yang berakibat menurunnya permintaan.

Begitu pula dengan APBN yang banyak mengandalkan pajak serta bea atau cukai perdagangan dalam dan luar negeri. Maka jika ekonomi global mengalami resesi seperti yang telah diramalkan, Indonesia terancam mengalami krisis ekonomi yang tak kalah hebat dari tahun 1998.

Mau ataupun tidak Indonesia harus mulai berpikir untuk menyiapkan ekonomi dalam negeri menghadapi guncangan dalam waktu dekat. Terutama ketahan ekonomi dalam negeri pada sektor vital seperti pertanian, industri dan energi yang tidak bergantung pada ekspor ataupun impor. Belajar dari pengalaman tahun 1998, hanya usaha rakyat seperti pertanian dan UMKM yang mampu mempertahankan Indonesia dari kebangkrutan. [PTM]