Rupiah Kian Melemah Pemerintah Perlu Antisipasi

Ilustrasi pelemahan nilai tukar rupiah [ft.com]

Pelemahan nilai rupiah terus terjadi sepanjang tahun 2024. Rupiah yang pada awal tahun masih berada di kisaran Rp15.300 per 1 dolar Amerika Serikat (dolar AS), kini merosot ke angka Rp16.300 untuk 1 dolar AS pada bulan Juli. Artinya rupiah mengalami penyusutan melebihi 6 persen dalam enam bulan terakhir.

Nilai rupiah tidak hanya susut terhadap dolar, kurs rupiah terhadap mata uang lain juga mengalami hal yang sama. Mata uang Euro menguat terhadap rupiah, 1 euro kini dihargai Rp17.600, sedangkan Poundsterling bernilai Rp20.900. Rupiah mengalami penurunan nilai rata-rata di atas 5 persen terhadap mata uang kuat lainnya.

Situasi ini menjadi anomali ketika pemerintah menyebut Indonesia mengalami surplus perdagangan luar negeri selama 50 bulan berturut-turut, namun anehnya nilai rupiah semakin merosot. Normalnya, ketika perdagangan surplus maka keuntungan dalam bentuk dolar akan mengalir masuk ke dalam negeri sehingga nilai dolar akan turun terhadap rupiah.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan nilai rupiah terus melemah belakangan ini. Ketidakpastian global akibat perang berkepanjangan di Ukraina, Timur Tengah dan Afrika mengakibatkan naiknya harga komoditas global. Selain itu kebijakan bank sentral Amerika Serikat yaitu The Fed untuk memperkuat mata uangnya menyebabkan dolar AS semakin perkasa.

Ketika kondisi ekonomi global semakin tak pasti akibat perang dan resesi, investor akan memindahkan asetnya mereka ke dalam mata uang dolar atau finansial asset berdenominasi dolar. Karena dolar adalah salah satu aset yang dinilai paling aman. Salah satu dampaknya banyak investor yang menarik modalnya keluar Indonesia atau yang dikenal sebagai capital outflow. Situasi ini kemudian menekan rupiah karena berkurangnya volume dolar AS di pasaran dalam negeri.

Faktor lain yang melemahkan nilai rupiah adalah banyak pengusaha memilih memarkir pendapatan hasil dari ekspor di luar negeri. Sehingga dolar tidak masuk ke dalam negeri sebagai devisa atau cadangan devisa.

Dampak pelemahan rupiah

Nilai rupiah saat ini kian mendekati nilai terendah pada krisis moneter tahun 1998 lalu yaitu Rp16.800 per 1 dolar AS. Keadaan ini cukup mengkhawatirkan karena hampir menyentuh batas psikologis. Jika batasan ini terlampaui maka bisa memunculkan ketidakpercayaan pasar yang dapat mendorong terjadinya rush.

Namun pemerintah masih memandang pelemahan rupiah sebagai fenomena sesaat atas situasi global. Pemerintah masih optimis rupiah akan kembali menguat ke kisaran Rp15.500 per dolar AS.

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menilai, pelemahan Rupiah yang terus terjadi merupakan hal yang wajar mengingat perekonomian AS yang kian membaik diikuti dengan mata uang dolar AS yang juga menguat terhadap berbagai mata uang dunia.

“Kita monitor saja dinamika atau fluktuasi berbagai mata uang dunia (currency), US dolar menguat, karena ekonomi Amerika membaik,” kata Airlangga pada akhir Juni lalu.

Pernyataan Menko Perekonomian tersebut mencermikan pemerintah belum akan mengambil tindakan dalam waktu dekat. Pemerintah terlihat masih mempertimbangkan positif atau negatifnya situasi saat ini. Memang di balik sisi negatifnya, pelemahan rupiah bisa membawa hal positif bagi investor yang akan mendapat keuntungan lebih besar, sehingga bisa memancing investor lebih banyak masuk ke Indonesia.

Namun dampak negatifnya cukup fatal bagi perekonomian Indonesia. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bakal mempengaruhi ekonomi terutama bagi industri dalam negeri yang banyak menggunakan bahan baku impor. Sepanjang tahun ini saja puluhan industri manufaktur telah gulung tikar akibat merugi.

Selain itu dampak pelemahan nilai rupiah adalah keberlangsungan berbagai proyek strategis nasional dengan bahan material yang masih impor. Pelemahan rupiah menjadi salah satu penyebab pembengkakan biaya atau cost overrun untuk pembangunan infrastruktur, apalagi sekarang banyak bahan baku untuk konstruksi yang bergantung pada impor seperti besi, baja hingga semen.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui bahwa perkiraan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2024 mencapai 2,70% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau secara nominal Rp 609,7 triliun. Angka ini lebih tinggi dari target yang ditetapkan, yakni sebesar 2,29% dari PDB atau secara nominal Rp 522,8 triliun. Nilai tukar rupiah yang melemah menjadi salah satu faktor melebarnya defisit APBN 2024.

Pemerintah perlu antisipasi

Melemahnya rupiah diatas 6 persen selama paruh tahun ini berdampak besar pada perekonomian Indonesia baik itu pelaku industri dan masyarakat pada umumnya. Dampak langsung adalah kenaikan harga komoditas, bahan baku industri serta kebutuhan hidup harian. Jika hal ini terus dibiarkan maka akan ada dampak lebih besar yang lebih sulit lagi untuk ditangani.

Fenomena global sepertinya masih akan terus memburuk seiring meluasnya perang di Timur Tengah dan di Eropa. Selain itu rekanan ekonomi Indonesia seperti Jepang dan Cina juga masih berkutat dengan krisis dalam negeri berkepanjangan. Semua negara masih mencari cara menyelamatkan diri masing masing, termasuk AS yang terus mengasah dolar agar semakin bernilai.

Situasi ini perlu disadari pemerintah untuk bisa mengambil langkah antisipasi guna menyelamatkan ekonomi dalam negeri. Kita tidak perlu membuang waktu menunggu situasi yang jelas-jelas akan memburuk. Rontoknya industri manufaktur setahun kebelakang seharusnya sudah menjadi alarm tanda bahaya bagi pemerintah. Belum lagi defisit APBN yang kian melebar, maka perlu solusi alternatif selain mengenjot pajak.

Langkah yang bisa dilakukan pemerintah saat ini adalah menyelamatkan rupiah agar kembali punya daya, setidaknya kembali di kisaran angka 15.800 agar beban ekonomi tidak semakin besar.

Beberapa langkah lain yang bisa dilakukan pemerintah adalah melakukan penghematan anggaran dan menaikkan pendapatan dalam nominal dolar. Selain itu, diperlukan kebijakan untuk menekan impor, diantaranya dengan memperkuat industri dalam negeri. Apabila industri dalam negeri bisa bangkit, maka ketergantungan pada produk impor akan turun dan rupiah semakin perkasa.

Hal yang tidak kalah penting adalah kembali menata pertanian di Indonesia. Sangat disayangkan bahwa sebagai negara agraris produk pertanian andalan Indonesia adalah sawit dan produk turunannya. Akibatnya banyak kebutuhan pangan dan bahan baku industri yang bergantung dari impor.

[NUR]