Kelahiran Soenting Melajoe pada 1912 menandakan babak baru pergerakan dan akselerasi kemajuan perempuan Indonesia. Bahkan ia juga menandakan titik awal penerbitan koran bagi kalangan perempuan.
Terbit seminggu sekali, Soenting Melajoe memuat tulisan mengenai isu-isu kemajuan perempuan, biografi perempuan berpengaruh, dan berita-berita dari luar negeri.
Sirkulasinya hampir mencapai seluruh Sumatera dan Jawa. Soenting Melajoe yang terbit selama sembilan tahun hingga 1921 juga berhasil menarik simpati kaum laki-laki terhadap gerakan perempuan.
Seperti halnya Poetri Hindia di Jawa, para koresponden dan kontributor Soenting Melajoe kebanyakan terdiri dari istri-istri pejabat pemerintahan atau aristokrat.
Bedanya, Soenting Melajoe juga menerima tulisan dari siswi-siswi sekolah di sekitar Sumatera Barat seperti Payakumbuh dan Pariaman.
Mereka kerap mengkritik budaya patriarki yang saat itu begitu kental di Sumatera Barat. Misalnya, budaya nikah paksa di bawah umur, poligami, dan pengekangan perempuan terhadap akses-akses ekonomi.
Salah satunya tulisan Marni. Di Soenting Melajoe edisi 3 April 1913, ia menulis bagaimana saudara laki-lakinya melarangnya bekerja sebagai juru tulis di Padang. Padahal ia sudah diterima bekerja. Kemudian ia meminta dukungan kepada pembaca untuk bersimpati padanya.
Di bawah asuhan Ruhana, Soenting Melajoe menjadi semacam corong pengetahuan dan emosional kaum perempuan yang selama ini begitu kesulitan menyampaikan pendapatnya akibat terkungkung dominasi laki-laki, baik di ranah privat maupun publik.
Ruhana sendiri memang terpikat dengan kemajuan perempuan-perempuan Eropa. Menurut sejarawan Rudolf Mrazek, di Soenting Melajoe, Ruhana pernah menulis daftar sepuluh perempuan paling cantik dalam sejarah.
Ruhana tidak hanya melihat perempuan sekadar dari kecantikan, tapi juga peran besarnya di zamannya masing-masing. Di antaranya Cleopatra dari Mesir, Elizabeth dari Inggris, Madame de Pompadour, dan lain-lain.
Ini menunjukkan, Ruhana menganggap sejarah perempuan pantas dipandang setara dan mampu menjalankan peran yang tak kalah dari laki-laki.
Selepas meninggalkan Soenting Melajoe, pengaruhnya masih begitu terasa dalam dunia pers.
Ketika pindah ke Medan pada 1920, Ruhana mengelola koran Perempuan Bergerak bersama jurnalis setempat, Pardede Harahap. Sekembalinya ke Padang ia mengelola Radio dan Cahaya Sumatra.
Sepak terjang Ruhana memberi jalan kepada generasi-generasi jurnalis perempuan selanjutnya, seperti SK Trimurti, Herawati Diah, Toety Azis, Gadis Rasyid, dan lain-lain.
Dalam beberapa kesempatan, dia juga dinobatkan sebagai jurnalis perempuan atau wartawati pertama Indonesia. Titel demikian memang layak disematkan padanya.
Presiden Jokowi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Ruhana Kuddus (Rohana Kudus), melalui Keputusan Presiden Nomor 120/TK Tahun 2019 tertanggal 7 November 2019.
Dia menerima gelar itu bersama lima tokoh lainnya yang berjasa kepada bangsa dan negara. Mereka adalah Abdul Kahar Mudzakkir, Alexander Andries (AA) Maramis, K.H. Masykur, Prof. Dr. M. Sardjito, dan Sultan Himayatuddin. [WIS]
Baca juga
- Wartawan Alimin, Tokoh Nasional yang Terlupakan
- Mas Marco: dari Juru Tulis hingga Jadi Wartawan Radikal