Robohnya Benteng Keadilan

Sulindomedia – Kabar mengagetkan itu datang dua pekan lalu. Setelah menggeledah menggeledah ruang kerja Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, dan kediamannya, petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) penyidiknya menyita uang dalam pecahan dolar Amerika dalam jumlah yang cukup besar serta sejumlah dokumen.

Hampir bisa dipastikan uang yang ditemukan di ruang kerja dan kediaman Nurhadi itu terkait dugaan suap dalam pengajuan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. “Kita punya keyakinan bahwa uang itu ada hubungannya dengan perkara hukum,” ujar La Ode Syarief, Wakil Ketua KPK, di Jakarta, 26 April 2016 lalu.

Bila nanti Nurhadi terbukti terlibat perkara suap, ini bagaikan déjà vu, peristiwa yang berulang sejak bertahun lalu. Peneliti institusi hukum Sebastian Pompe pernah menggambarkan dengan gamblang fenomena suap-menyuap di Mahkamah Agung, dalam bukunya Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, yang terbit tahun 2012.

Menurut Pompe, fenomena suap mulai merasuk di dunia pengadilan Indonesia, hingga ke Mahkamah Agung, terutama di tahun 1990-an.

Pada 1990-an, korupsi di pengadilan bawah menjadi endemik, sampai-sampai Ketua Mahkamah Agung saat itu, Purwoto Gandasubrata, membuka Kotak Pos khusus bagi pengaduan anonim tentang penyelewengan yudisial. Ketua Mahkamah Agung terpaksa mengakui kemungkinan bahwa separuh Kehakiman Indonesia terlibat dalam korupsi—“Saya tidak yakin kalau jumlah hakim yang korup melebihi 50 persen”, kata Ketua Mahkamah Agung Soerjono agak menduga-duga pada 1995.

Bekas Ketua Muda Mahkamah Agung Asikin Kusumah Atmadja mengatakan dalam bahasa yang tidak begitu tegas, bahwa “sekitar 50 persen hakim korup”, tetapi para pengamat terkemuka menganggap perkiraan itu masih konservatif.

Wabah korupsi yang tak terkendali di pengadilan tingkat bawah tak pelak dipengaruhi oleh Mahkamah Agung, tetapi setidak-tidaknya hingga 1974 Mahkamah Agung relatif masih bersih. Dalam catatan Sebastian Pompe, sejak akhir 1980-an menjadi semakin sulit bagi seorang hakim Mahkamah Agung untuk mempertahankan integritasnya. Jumlah hakim agung yang baik dan jujur merosot, dan hakim-hakim semacam itu terancam dikucilkan. Seorang Hakim Mahkamah Agung mengomentari kondisi tersebut: “Jika dahulu orang harus mencari seorang hakim yang korup dengan lentera, sekarang ia harus menggunakan lentera itu untuk mencari hakim yang jujur”.

Di masa itu, korupsi di Mahkamah Agung sama suburnya dengan di pengadilan-pengadilan tingkat bawah, dan walaupun beberapa ketua berusaha menangani dilema tersebut, terbukti itu tidak bisa dikendalikan. Ali Said, yang pernah menjadi Ketua Mahkamah Agung (periode 1984-1992) dalam sebuah wawancara mengatakan: “Dahulu korupsi adalah masalah sederhana: pada 1970-an para hakim korup karena gaji merka rendah. Gaji mereka kelewat rendah […]. Sekarang situasinya lebih sulit. Ini bukan lagi soal materi, tetapi mental. […] Akar korupsi modern harus dicari dalam kondisi mental masyarakat Indonesia”.

Saat itu, tulis Sebastian Pompe dalam bukunya, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Mahkamah Agung dilanda korupsi, dan para hakim di dalam perbincangan pribadi selama bertahun-tahun menyebut itu sebagai urusan rutin. Salah seorang hakim agung bahkan mengakui di media massa pada tahun 1990-an: “Ya, saya sering mendapat hadiah dari pihak-pihak yang berperkara. Kalau anda sebut itu korup, tentu saya korupsi. Kalau saya tidak melakukan itu, Anda pikir bagaimana saya bisa punya mobil dan rumah?”

Seorang Ketua Muda Mahkamah Agung dengan tegas menyatakan: “Seluruh struktur Mahkamah Agung dirasuki korupsi dan akarnya berada di puncak tertinggi institusi. Semua orang, dari jajaran pimpinan sampai yang rekrut baru, terlibat”. Meski begitu, untuk waktu yang lama media massa dihinggapi keraguan untuk menguak masalah ini.

Keadaan agak berubah ketika di tahun 1980 terjadi sebuah peristiwa penting di parlemen. Ketika ituanggota DPR dari PDI, V.B. da Costa, menyatakan secara terbuka bahwa para calo beroperasi di Mahkamah Agung, dan ini sama saja dengan menuduh hakim-hakim agung melakukan korupsi. Kritiknya terhadap Mahkamah Agung sebagai “Mahkamah Agung yang bobrok” merupakan titik balik yang penting dalam sejarah Mahkamah Agung, sebab kritik itu mengawali hilangnya penghormatan publik kepada lembaga itu dan mengisyaratkan kegagalan para hakim agung menjaga moral yang tinggi.

Sejak itu, berita-berita tentang penyelewengan Mahkamah Agung terus berlipat ganda, terutama sejak awal 1990-an, ketika media massa mulai meliput Mahkamah Agung secara sangat intensif. Tuduhan terbuka Da Costa tampaknya merobohkan tembok tabu, karena sesudah itu makin banyak saja pemberitaan di mana hakim-hakim agung dituduh korupsi. Bahkan, sejarah Mahkamah Agung dalam lima tahun terakhir menyerupai daftar panjang dugaan kejahatan kecil dan besar.

Puncaknya, di tahun 1996, Adi Andojo, yang saat itu masih menjabat Ketua Muda Pidana Umum di Mahkamah Agung, terang-terangan menyatakan di media massa bahwa ia mempunyai “segudang bahan tentang korupsi di Mahkamah Agung”.

Sayangnya bukti kejahatan sering hanya berupa dugaan dan kecurigaan kuat, sulit dibuktikan dalam batasan hukum. Beban pembuktian yang nyaris mustahil ini turut mengembangkan sebuah konsep dan istilah baru, kolusi.

Adi Andojo pula yang membuka perkara Gandhi Memorial School, di tahun 1996. Fakta-faktanya bukan tidak lazim. Penasehat hukum perkara ini adalah bekas hakim agung dan Ketua Ikahi yang dituduh memanfaatkan kontak-kontaknya di Mahkamah Agung. Konon, ia menyerahkan perkara itu kepada seorang teman di Mahkamah Agung dengan kesepakatan bahwa putusan yang dikeluarkan akan menguntungkan kliennya. Ada dugaan kuat terjadi penyuapan. Kemungkinan kecurangan internal dan kolusi itu dicermati Adi Andoyo, yang kemudian menulis memo rahasia berisi permintaan agar perkara itu diselidiki dan dibuka kembali. Surat itu bocor ke media.

Keesokan harinya Mahkamah Agung maupun penguasa politik menghadapi krisis besar. Sebab tidak setiap hari lembaga tinggi negara membocorkan memo internal tentang korupsi. Lebih penting lagi, pihak yang curang dan dicurangi adalah hakim-hakim senior Mahkamah Agung, begitu pula yang menuduh.

Tapi, bukannya menngungkap masalah ini, Ketua Mahkamah Agung saat itu, Soerjono, malah menyatakan bahwa tidak ada bukti tentang terjadinya korupsi atau suap di lembaganya. Malah, Soerjono mengajukan permohonan kepada Presiden Soeharto untuk memberhentikan Adi Andojo dengan tidak hormat. Bukan hanya membuang kesempatan bagi perombakan, pertarungan ini juga malapetaka bagi citra Mahkamah Agung yang membuatnya terkesan melindungi korupsi.

Adi Andojo pun melawan. Bagaimana pun juga ia adalah hakim senior dengan karakter kuat dan lugas. Ia berang dengan perlakuan Soerjono terhadap dirinya dan ia pun bukan jenis orang yang bisa berdian diri. Adi Andojo tampil di depan publik dan memberikan wawancara serta ceramah. Dengan cepat ia menjadi bagian dari jajaran pemimpin gerakan mahasiswa yang sedang menggeliat. Bahkan mahasiswa di berbagai tempat melakukan aksi mogok makan sebagai bentuk dukungan kepada dirinya. Reputasinya menjulang ketika krisis menghebat dan dia menjadi pahlawan rakyat.

Posisi pemerintah dalam keadaan serba sulit. Tidak ada hakim senior dalam sejarah Republik Indonesia yang dipecat tidak dengan hormat tanpa hak gaji.

Bagaimanapun juga Adi Andojo hampir tidak bisa dipersalahkan karena menunjukkan kemungkinan terjadinya korupsi di pengadilan. Permintaan pemecatan yang diajukan Soerjono ibarat menyodori pemerintah buah simalakama—hampir mustahil pemerintah terang-terangan menolak atau mengabaikan permintaan Ketua Mahkamah Agung, tetapi memecat seorang hakim yang tak hanya terbilang senior akan tetapi juga pahlawan publik yang memerangi korupsi benar-benar bukan alternatif menarik. Ketika Soerjono berkeras, keributan ini menguatkan reputasinya sebagai orang yang tidak ketulungan bodohnya dan tuntutan terhadap pengunduran dirinya kian membesar.

Perkara Gandhi Memorial School mencuatkan pertanyaan mendasar tentang mampu tidaknya Mahkamah Agung menyelesaikan masalahnya sendiri. Ketidakbecusan Soerjono, walaupun merupakan faktor penting dan menonjol, hanyalah salah satu bagian saja dari seluruh persoalan. Yang tak kalah merusaknya adalah petisi yang ditandatangani hampir semua hakim agung dan diajukan kepada Presiden Soeharto yang isinya meminta agar Adi Andojo dipecat.

Di samping itu, ada juga hasil penyelidikan internal yang membersihkan semua pihak utama dari kesalahan. Laporan itu terkesan menutup-nutupi masalah dan tak seorangpun di luar Mahkamah Agung yang menganggapnya serius. Semua ini menciptakan kesan tentang sebuah lembaga yang pimpinannya, budayanya dan dinamika kelembagaannya telah bersekongkol untuk melindungi kepentingan sendiri, membiarkan korupsi dan menghambat perubahan.

“Berkat perkara Gandhi Memorial School, barangkali untuk pertama kalinya para pejabat tinggi mulai membicarakan secara terbuka untuk menempatkan peradilan di bawah semacam badan pengawas eksternal. Ada sebuah prinsip ketatanegaraan yang senantiasa dianggap benar bahwa pengadilan, apalagi Mahkamah Agung, tidak bisa diawasi pihak luar. Fakta terhadap prinsip ini kini mulai dibicarakan terbuka bukan cuma oleh para aktivis tetapi juga oleh pejabat tinggi negara dan menunjukkan betapa telah parahnya krisis yang terjadi,” tulis Sebastian Pompe.

Mengomentari perkara Gandhi Memorial School, Direktur Jenderal Departemen Kehakiman yang vokal, Sunaryati Hartono, meminta agar sebuah Badan Pekerja MPR mengawasi Mahkamah Agung. Sedangkan anggota DPR Albert Hasibuan mengusulkan pembentukan sebuah lembaga baru yang sebagian anggotanya ditunjuk pemerintah untuk mengontrol kekuasaan Mahkamah Agung. DPR pun mulai mengadakan dengar pendapat berkala yang lebih terarah ke Mahkamah Agung. Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung Toton Suprapto merasa perlu menyatakan berulang-ulang bahwa ini adalah urusan internal dan menekankan bahwa prinsip konstitusional melarang campur tangan dari luar Mahkamah Agung. Ikahi melampirkan selebaran dalam Varia Peradilan edisi Mei yang menentang keras pengawasan pihak luar.

Walaupun timbul perlawanan bahkan dalam tubuh Mahkamah Agung sendiri, ada semacam patah semangat dan seruan terkait dengan itu untuk dilakukannya tindakan-tindakan ekstrem. Walaupun para Hakim Mahkamah Agung yang mendukung perombakan mengerti betul bahwa rekomendasi mereka, yang mendukung pengawasan, bisa saja pada akhirnya menarik kuda Troya ke dalam gerbang mereka. Mereka juga sadar bahwa keengganan Pimpinan Mahkamah Agung yang nyata untuk menyelidiki dugaan kuat tindakan tercela yang melibatkan Mahkamah Agung tidak memberi mereka alternatif.

Maka, pada tahun 1996, dengan kredibilitas Mahkamah Agung yang telah terhempas ke dasar jurang, tidak banyak perlunya memikirkan langkah maju ke masalah-masalah lain dalam program politik peradilan.

Istilah kolusi, ketika menjadi lazim digunakan dalam konteks ini, menunjuk pada kerja sama antara orang dalam Mahkamah Agung dan orang luar untuk mengendalikan jalannya suatu perkara sedemikian rupa agar hasilnya menguntungkan. Praktik ini paling mudah dibuktikan, sebab yang diperlukan hanyalah menunjukkan bahwa prosedur reguler dalam penanganan perkara dilanggar tanpa alasan, dan bahwa staf Mahkamah Agung yang terkait berperan besar dalam melakukan pelanggaran itu.  Bagi masyarakat luas perbedaan antara kolusi dan korupsi sangat tipis. Sebagaimana dikemukakan Adi Andojo: “…bukankah wajar mengasumsikan bahwa dibalik kolusi, uang juga bermain?”

Yang jelas, kolusi dan korupsi yang terjadi di Mahkamah Agung sangat melemahkan wibawa Mahkamah Agung, di lingkungan kehakiman sendiri maupun di tengah masyarakat. Perbuatan tercela tersebut menebar kecurigaan dan kesinisan menyangkut peran dan tindakan Mahkamah Agung, dan itu berakar pada ketidakmampuan hakim dan pemerintah untuk membersihkan tindak-tindak penggelapan di pengadilan. Akhirnya, kolusi dan korupsi turut menyebabkan tidak bisa diperkirakannya hasil pemeriksaan perkara dan tidak konsistennya pembuatan putusan, sehingga kedua hal itu pada akhirnya mengaburkan kekuatan hukum pada putusan-putusan Mahkamah Agung.

Dengan terkuaknya kasus dugaan suap yang melibatkan Nurhadi, Sekretaris Mahkamah Agung—jabatan yang sangat penting dan strategis—membuktikan bahwa penyakit suap dan korupsi di benteng terakhir keadilan tersebut. Perkara ini mestinya menjadi momentum bagi reformasi peradilan Indonesia yang radikal dan sungguh-sungguh. [JAN/IHS]