Pemerintah berencana mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebelum 17 Agustus 2022. Namun masih ada beberapa pasal bermasalah yang selama ini mendapat kritik masyarakat.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan pemerintah tidak akan menunda pengesahan RKUHP. Pemerintah hanya akan membahas ulang pasal-pasal yang dianggap bermasalah.
“Mungkin jika ada masalah, bukan ditunda, tapi dilakukan perbaikan. Kalau jelas ada pasal yang membahayakan, ya dihapus atau direformulasi,” kata Mahfud dalam pertemuan dengan Dewan Pers di Jakarta, seperti dilansir situs resmi Dewan Pers, Kamis (28/7).
Menurut Mahfud KUHP adalah politik hukum penting, pemerintah berharap secepatnya berlaku saat peringatan kemerdekaan nanti karena KUHP yang berlaku saat ini merupakan produk kolonial.
Namun Dewan Pers memandang pembahasan RKUHP masih perlu perbaikan diantaranya ada 14 masukan tentang pasal bermasalah yang disampaikan kepada pemerintah.
Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra menyampaikan kritik terhadap pemerintah. Ia berkata Dewan Pers telah memberi catatan tentang RKUHP sejak 2018, tetapi tak ada perubahan.
“Pada 2018, Dewan Pers sudah mengajukan usulan delapan klaster pasal yang dinilai bermasalah. Namun, masukan dari Dewan Pers dan konstituen tidak dimasukkan sama sekali,” kata Azyumardi.
Atas masukan itu, Mahfud meminta agar Dewan Pers ikut serta dalam pembahasan RKUHP. Ia berharap Dewan Pers menyampaikan usulan perubahan pasal-pasal yang dianggap bermasalah dalam rancangan undang-undang itu.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu berjanji akan membawa catatan Dewan Pers itu ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Mahfud akan memanggil Wamenkumham Eddy O.S. Hiariej pekan depan.
Saat ini pemerintah dan DPR kembali membahas RKUHP agar bisa disahkan secepatnya. Rencana itu menimbulkan protes dari sejumlah kalangan. RKUHP dinilai masih mengandung sejumlah pasal bermasalah, seperti pidana penghinaan presiden.
Sebelumnya RKUHP ini nyaris disahkan pada akhir masa jabatan DPR RI periode 2014-2019. Namun, pemerintah menarik draf tersebut setelah adnya aksi unjuk rasa penolakan dari berbagai elemen masyarakat.