PEMERINTAH kembali menargetkan pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP pada tahun 2022 ini. Pengesahan RKUHP telah tiga tahun tertunda dan gagal disahkan akibat ditolak oleh rakyat melalui berbagai bentuk aksi demonstrasi besar diberbagai kota dan daerah.
Pada 4 Juli 2022 lalu pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) kembali merilis secara resmi draft RKUHP, setelah banyak protes mengenai pembahasan yang seolah ditutupi.
Draft baru tersebut pun langsung menuai kritik tajam dari berbagai kalangan mulai dari kelompok organisasi masyarakat sipil, gerakan buruh, akademisi dan gerakan demokratis lainnya. Dasar protes rakyat masih sama, bahwa RKUHP draft Juli 2022 tetap mempertahankan warisan kolonial Belanda bahkan dianggap jauh lebih buruk.
RKUHP dinilai melegitimasi kekuasaan absolut penguasa serta memuat pasal bersifat anti kritik, merampas ruang kekebasan berekspresi dan mengangkangi demokrasi. Draf RKUHP ini dalam pembahasannya pun dianggap tidak transparan serta minim melibatkan partisipasi publik.
Wacana pengesahan RKUHP yang disempurnakan pemerintah pada tahun ini semakin nyata. Komisi III DPR RI sudah menerima naskah RKUHP yang sudah disempurnakan.
Meski sempat dikabarkan akan disahkan bulan Juli, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan kelanjutan pembahasan RKHUP kemungkinan baru akan dilakukan setelah masa reses DPR berakhir, yaitu tanggal 16 Agustus 2022.
Proses kilat
Rencana pemerintah membahas RKUHP secara kilat diangap bentuk pelanggaran terhadap Pasal 96 UU No. 13 tahun 2022 yang secara tegas mewajibkan pemerintah dan DPR untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam penyusunannya.
Belajar dari masalah Omnibuslaw, pelanggaran semacam ini semestinya bisa dihindari, karena Pemerintah harus menjadi teladan dalam menegakkan aturan hukum yang berlaku di negeri ini.
Jika dipaksakan, ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah dan DPR bisa semakin meningkat, karena banyak sekali undang-undang yang disetujui oleh Pemerintah dan DPR tetapi miskin partisipasi bahkan dapat dikategorikan sebagai ‘undang-undang yang disembunyikan’.
Contoh nyata dari Undang-undang yang miskin partisipasi dapat dilihat dalam proses penyusunan revisi UU KPK, revisi UU Minerba, revisi UU MK, dan proses pengundangan UU Cipta Kerja yang kemudian dinyatakan sebagai inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konsitusi (MK).
Proses perumusan RKHUP sejak awal mengundang banyak kontroversi terutama mengenai transparansi dan partisipasi masyarakat. Saat pemerintah melakukan sosialisasi dan perbaikan atas draft RKUHP versi tahun 2019 (draft yang tidak jadi disahkan), masyarakat tidak diberi akses terhadap rancangan hasil perbaikan tersebut.
Baru pada tanggal 6 Juli 2022, setelah RKUHP tersebut diserahkan secara resmi oleh Pemerintah ke DPR, dokumen rancangan itu disebarluaskan. Pemerintah beralasan bahwa prosedurnya memang demikian.
Masih berwatak kolonial
Dalam naskah draft RKHUP hasil perbaikan (disempurnakan) pemerintah Juli 2022, sayangnya masih tetap memuat pasal-pasal yang pada tahun 2019 telah diprotes. Diantaranya pasal Penyerangan terhadap Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, Penghinaan Terhadap Pemerintah, Penghinaan Terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara (DPR, DPD, Kepolisian, Kejaksaan, Dan Pemerintah daerah) juga aturan Penyelenggaraan Pawai-Unjuk rasa-Demonstrasi.
Pasal-pasal ini berpotensi melanggar hak kebebasan berekspresi dan demokrasi. Aturan itu juga dapat dimaknai pembungkaman terhadap protes masyarakat jika menentang aturan yang merugikan seperti Omnibus Law – Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 dan aturan turunannya juga berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai anti rakyat.
Contoh lain pasal bermasalah adalah pasal Unggas ternak yang merusak kebun yang menimbulkan kerugian, ini adalah pasal sejak pemerintahan kolonial Hindia-Belanda masih juga dipertahankan.
Hal yang patut disayangkan adalah agresifnya pemerintah memasukan pasal-pasal bermasalah disaat penghidupan rakyat mengalami kemerosotan makin dalam dan ketika maraknya kriminalisasi terhadap rakyat. Selain itu pemerintah kerap mendapat protes karena dianggap tidak mampu mengatasi masalah diantaranya krisis minyak goreng, harga BBM, harga gas, tarif listrik dan naiknya harga kebutuhan pokok.
Maka wajar jika kengototan pemerintah mengesahkan RKUHP menuai ‘kecurigaan’, bahkan ada dugaan RKUHP jadi jalan “Pembungkaman terhadap rakyat” untuk tidak melawan kebijakan pemerintah.
Kita tidak bisa menafikan bahwa pemerintah saat ini adalah produk perlawanan rakyat atas rezim otoriter Suharto dengan Orde Barunya. Maka sebagai pemerintah produk reformasi, pemerintahan Jokowi sebaiknya bekerja dengan tulus untuk kebaikan rakyat dan menghindari cara-cara otoriter ala kolonial terhadap rakyat.
Pembahasan RKUHP semestinya bisa dilakukan secara demokratis dengan memperhatikan sekian banyak kritik dan protes rakyat, sehingga tidak terulang lagi kesewenang-wenangan penguasa, kriminalisasi rakyat serta pemidanaan demokrasi di Indonesia. [PTM]