Kebaya sebagaimana sebuah roda, ia pernah menggelinding ke atas. Kemudian jadi biasa, lalu jatuh harga, dan kembali melingkar ke atas dalam gaya hidup berbusana.
Sejarah itu berputar, berguling, terkadang hiperbolik. Semua hanya berjalan melingkar-lingkar, berkelindan. Tampak berubah menjadi sesuatu yang baru, tapi realitasnya masih sama. Masih di situ-situ saja. Dulu berkebaya itu dianggap ndeso, ndesit malah. Sekarang wanita berkebaya itu ukuran yang “wah-wah.” Sulit mendeskripsikannya dengan satu kosa kata yang tepat.
Tapi tampak sudah sangat jauh sekali dari hari ini. Bahwa kita pernah menginjak bumi ini, berpijak pada tanah ini dengan segenap kesederhanaan, tapi penuh kekuatan dan kebanggaan. Saat bau tubuh kita adalah wangi mawar dari halaman rumah. Bukan dari bau parfum tanah gersang yang bahkan kaktus terliar pun tak mau tumbuh!
Kebaya, yah kebaya seolah mengulang cerita kelam masa lalu yang sama. Pernah di suatu kala ketika kebaya justru menjadi lambang status para diaspora kolonial yang sedemikian kuat. Mereka yang pengen mengenali, mencumbui, dan memeluk bumi baru mereka. Bukan sekadar menjadi kolonialis yang mengisap bak lintah. Atau benalu yang menumpang hidup.
Ironi hal ini terjadi tatkala Jawa, atau lebih tepatnya Hindia Belanda, berada pada titik rendah dalam sejarahnya. Dalam masa yang disebut cultuurstelsel. Apa yang kita kenal sebagai Masa Tanam Paksa. Di mana rakyat harus berhadapan dengan “dua bangsat”. Bangsat pertama tentu saja para tuan modal yang datang membawa duit dan bermimpi menjadi kaya. Mereka yang butuh meminjam/menyewa tanah dari para pemilik tanah yang selalu menindas. Demikian kita menyebut para ndoro lokal yang anggap saja sebagai sejenis bangsat kedua.
Pada masa itu adalah periode saat para kolonialis itu datang sudah dengan membawa istrinya. Tak lagi seperti masa VOC, di mana datang sorangan dan lebih memilih memperistri perempuan lokal. Apa yang kemudian melahirkan banyak para “Nyai”. Kemungkinan karena pengaruh para Nyai itu pula, kemudian para istri di kalangan kolonialis itu gandrung untuk berpakaian mirip mereka. Memakai kain jarit dan berkebaya. Jadi juga bukan kebetulan, kalau mereka justru mampu melahirkan bentuk dan model baru.
Pada kain jaritnya, mereka melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai “batik belanda”. Saat ini, barangkali jenis batik ini adalah collector item yang paling mahal dibandingkan jenis batik-batik lokal mana pun. Dulu akan dianggap aneh penggunaan warna biru (indigo) pada batik. Tapi sejak dipopulerkannya batik belanda, indigo jadi komoditi baru yang sangat populer dan menjanjikan laba secara bisnis. Ada masanya sebidang lahan saling berebut antara pilihan ditanami tebu atau indigo.
Sedangkan, pada bagian kebaya-nya. Orang Belanda (Eropa) menemukan sebuah model baru yang disebut kebaya putih berenda. Renda adalah teknik sulam yang sangat rumit, mahal, dan eksotis pada masanya. Suatu hal baru yang belum dikenal sebelumnya. Karena itu, banyak wanita Eropa yang bangga menggunakannya, bahkan untuk sesi pemotretan yang tentu saja untuk masa tersebut dapat dianggap moment mewah, saking mahal baiayanya. Tidak sekadar para ndoro nyonya, tapi bahkan dikenakan oleh para anak gadisnya yang beranjak remaja.
Tapi kemudian zaman berubah, ketika kesadaran akan Politik Etis berkembang. Ketika berpakaian model apa pun boleh sama dan tak lagi saling membatasi. Saat itulah kemudian, model berkebaya putih berenda ini ditiru dan dipakai oleh para wanita Tionghoa. Mereka akan menganggap diri naik kelas. bila sudah menggunakannya. Berasa jadi “londo kuning”. Hingga tiba waktunya, mode ini ditiru habis oleh perempuan pribumi.
Tidak sekadar di Jawa, tapi nyaris menyeluruh di sekujur jajahan Hindia Belanda.
Di Jawa, bahkan Tiga Bersaudara Kartini, Kardinah, dan Rukmini menjadikannnya sebuah sesi foto studio yang klasik dan abadi. Di Bali ia menjadi pakaian yang artistik sekaligus modis, yang semula digunakan oleh golongan brahmana dan ksatria. Tapi hingga masa akhir, kebaya jenis tersebut tetap sangat populer digunakan untuk upacara tradisional. Bahkan di Ambon, ia adalah pakaian kebesaran para wanita hingga hari ini.
Kok bisa? Kan mahal?
Di sinilah sebetulnya peran para pedagang kain dari Jepang. Yang di awal abad-20, mulai masuk dan disusupkan untuk persiapan infiltrasi militer Jepang. Mereka menggunakan politik dagang dumping. Dengan menjual nyaris semua kebutuhan rakyat dengan harga jauh lebih murah dibanding pedagang Tionghoa, apalagi pedagang Eropa. Tak terkecuali dalam kebaya putih berenda ini. Nyaris, semua wanita menggunakannya. Dan semua dengan perasaan bangga yang sama: “naik derajat”.
Sejak itulah, perempuan Eropa mulai jengah karena merasa disamai. Lalu mulai meninggalkan gaya berkebaya, dan kembali pada selera aslinya. Kembali menggunakan “longdress” untuk nyaris semua moment acaranya. Bahkan ketika mereka di lapangan tenis, pergi ke pasar atau berangkat ke pesta. Suatu fenomena yang kebetulan beriringan dengan peningkatan standar kehidupan dan masuknya “gaya hidup” ala Perancis yang sangat modis. Munculnya majalah mode, hadirnya butik yang nyaris selalu up-date dengan gaya berbusana dari pusat-pusat mode Eropa.
Bukankah hal yang sama persis terjadi pada hari ini?
Politik etis yang semula bertujuan mendekatkan ketiga pihak: bule, kulit putih, kuning, dan sawo matang kembali justru memperlebarnya. Keinginan baik dari “pihak kerajaan” untuk memperbaiki sikapnya, kesalahannya di masa lalu. Justru dimanfaatkan oleh segolongan kecil pihak luar untuk menungganginya. Proses liberalisasi yang kebablasan justru merubah zaman normal, hingga mendatangkan malaise apa yang sering disebut zaman meleset!
Dan melesetlah semuanya!
Infiltrasi Jepang yang menyaru sebagai pedagang, namun kemudian terbukti merusak harmoni yang semula tercipta. Mereka kemudian datang dengan kekuatan militer yang telengas. Lalu menghancurkan semua hal baik yang ratusan tahun coba ditata ulang. Hanya dalam hitungan umur jagung, saking singkatnya mereka mampir berkuasa. Kita memang dapat hadiah kemerdekaan yang semu, apa yang setiap tahun kita rayakan dengan membusungkan dada.
Tapi selalu melupakan sisi berantakan yang ditinggalkannya yang tak pernah selesai itu. Sambil memelihara rasa dendam tak berkesudahan..
Orang Jawa masa lalu, memiliki istilah yang luhur pada pakain dan cara berpakaian yang mereka sebut sebagai “ageman”. Sesuatu yang lebih dari sekadar pakaian, tapi juga jati diri dan kesejatian. Itulah yang sebenarnya dijual oleh “orang lain yang lain lagi”. Sebagaimana dulu kita dipermainkan perasaan dan harga diri kita oleh bangsa-bangsa di luar diri kita itu. Apa yang kita punya semula dinaikkan tinggi sekali, untuk kemudian dihina lalu dibantingkan. Sebuah cara masuk untuk berkuasa!
Kebaya sebagaimana sebuah roda, ia pernah menggelinding ke atas. Kemudian jadi biasa, lalu jatuh harga dihina-dinakan dan kembali melingkar ke atas dalam gaya hidup berbusana. Demikianlah nasib kebaya, yang sebenarnya tak perlu dikasihani. Karena akan selalu datang orang baru yang memberinya harga, dengan cara pandang baru dan selera yang lebih bagus. Yang lebih perlu dikasihani adalah nasib mereka yang seharusnya bangga menggunakannya.
Mereka yang dari masa ke masa, marwahnya tak pernah benar-benar berubah. Tak pernah sungguh-sungguh jadi diri mereka sendiri. Ilmu boleh makin tinggi, kekayaan boleh makin bertumpuk, dan cara menghargai diri sendiri makin tak bertepi. Sayangnya mereka tetap saja, menyediakan diri diatur-atur dan ditakut-takuti. Hanya sekadar dari cara “ngagem ageman”. Kemajuan yang semu, dalam ketidakberdayaan yang abadi. [ASM]