Koran Sulindo – Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini masuk pantauan PDI Perjuangan Jawa Timur sebagai salah satu bakal calon gubernur.
Ketua DPD PDI Perjuangan Jatim, Kusnadi, mengatakan Risma masih bisa menjadi calon gubernur Pilkada Jatim 2018.
“Peluangnya ada, mengingat beliau merupakan kader PDIP,” kata Kusnadi, Minggu (25/9), seperti dikutip situs DPD PDI Perjuangan Jawa Timur.
Menghadapi pilkada di Provinsi Jawa Timur, PDIP Jatim menggulirkan survi internal. Setidaknya ada 12 nama yang masuk radar PDIP, seperti Wagub Jatim Syaifullah Yusuf (Gus Ipul), dan Wali kota Tri Rismaharini.
Survei itu dilakukan dalam dua gelombang. Untuk gelombang pertama tahun ini 18 kabupaten/kota sudah disurvei. Sebanyak 20 sisanya dilakukan tahun depan.
Saat ini survei baru dilakukan di Bondowoso dan Lumajang. Lokasi berikutnya dijadwalkan Problinggo dan Pasuruan.
“Pelan-pelan, karena survei tersebut membutuhkan tenaga dan biaya besar,” katanya.
Survei tersebut dilakukan sebagai salah satu bahan pertimbangan yang bakal dilaporkan ke Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Sebagai partai terbuka, nama-nama yang masuk survei dari kalangan internal Partai maupun non kader.
“Semua keputusan nanti ada di tangan ketua umum,” kata Kusnadi.
Latar Belakang
Rismaharini dilantik sebagai Wali Kota Surabaya pada September 2010. Setelah dilantik sebagai Wali Kota Surabaya, perempuan kelahiran 20 November 1961 ini melahirkan berbagai kebijakan yang menuai protes dari para politisi di DPRD Surabaya, diantaranya soal penataan reklame dan penolakannya atas pembangunan jalan tol di tengah kota.
Pada Januari 2014, Pansus hak angket DPRD Surabaya tentang kebijakan penataan reklame mengeluarkan rekemondasi kepada DPRD Surabaya untuk mengusulkan pemberhentian Tri Rismaharini sebagai walikota.
Risma melawan.
Selain tidak menghadiri sidang tersebut, Risma juga sejak awal mengatakan tidak ada yang salah dari kebijakannya.
“Saya tetap berpedoman: kepentingan masyarakat itu yang utama, saya tidak akan berubah apapun resikonya, karena saya yakin suara rakyat itu suara Tuhan,” kata Risma, sebelum rekomendasi pansus itu dikeluarkan, seperti dikutip BBC.
“Saya tidak boleh bergeming karena keinginan bukan atas nama pribadi atau kelompok,” kata arsitek tamatan Institut Teknologi Surabaya itu..
Julukan ‘keras kepala’ diberikan lawan politiknya, setelah Risma menolak permintaan DPRD kota itu untuk meninjau ulang beberapa kebijakannya.
Risma mengaku tidak akan mengubah sikapnya.
Setidaknya tiga kebijakan Risma terus dipersoalkan. Pertama, Peraturan Wali Kota Nomor 56 dan 57 tahun 2010 tentang penataan reklame. Kebijakan ini intinya menaikkan tarif pajak reklame dari 100% hingga 400% untuk reklame berkuran delapan meter. Sebaliknya, reklame berukuran lebih kecil tarifnya diturunkan hingga 40%.
Dalam berbagai kesempatan, Risma menyebut langkahnya ini agar “Surabaya tidak menjadi hutan reklame”. Keberadaan reklame berukuran raksasa juga disebutnya “rawan dan membahayakan masyarakat jika roboh”.
Alasan ini kontan saja dimentahkan para politisi di DPRD Kota Surabaya, yang -seperti dikutip media- menyebutnya dapat mematikan pengusaha reklame dan biro iklan. Risma juga dicurigai bertujuan untuk menguntungkan perusahaan reklame tertentu.
Tuduhan ini tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Risma. “Saya lakukan semua itu untuk kepentingan masyarakat. Tidak ada yang bersifat pribadi,” katanya.
Sikap menolak kompromi juga ditunjukkan perempuan kelahiran Kota Kediri, Jawa Timur ini, ketika mati-matian menolak pembangunan jalan tol tengah Kota Surabaya.
Padahal, rencana membangun jalan tol sepanjang 23, 8 kilometer senilai Rp8 triliun ini sudah disetujui pemerintah pusat dan didukung DPRD kota. Jalan tol dari kawasan Waru-Sidoarjo ke Tanjung Perak itu diklaim dapat mengurangi kemacetan.
“Jalan tol itu tak akan menyelesaikan kemacetan di Surabaya, justru di masa depan akan memperparah kemacetan.”
Risma mengusulkan agar meneruskan pembangunan jalan lingkar timur untuk mengurangi kemacetan sekarang dengan alasan pembangunan jalan tol ini akan mengorbankan ribuan warga yang harus digusur.
Ancaman interpelasi dari DPRD Kota Surabaya terhadap dirinya sepertinya sama sekali tidak mempengaruhi rutinitasnya.
Semenjak dipercaya menduduki jabatan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya (2005-2008), Risma sudah dikenal sebagai pejabat yang ‘gila taman’. Sejumlah media terbitan Surabaya menjulukinya sebagai “Ibu Giman” alias Ibu Gila Taman.
Langkah pembangunan dan penataan taman-taman kota di berbagai sudut kota ini terus ditindaklanjutinya saat dia dipercaya sebagai Kepala Perencanaan Kota Surabaya (2008-2010).
Hampir tiap hari koran lokal Surabaya memberitakan ibukota propinsi Jawa Timur itu terlihat makin hijau dan indah.
“Saya ingin mengubah imej Surabaya yang selalu dikatakan sebagai kota yang panas, kota yang keras”.
Risma ingin taman-taman itu bermanfaat langsung bagi warga Kota Surabaya. Itulah sebabnya tidak ada taman di sudut-sudut Kota Surabaya yang berpagar.
Dibesarkan dalam dunia birokrasi, Risma akhirnya dipaksa untuk terjun ke politik praktis setelah dia terpilih sebagai Wali Kota Surabaya periode 2010-2015.
Di ajang Pilkada 2013, PDIP mengusung Risma sebagai calon wali kota. [DAS]