Rezim Baru di Ujung Tanduk

Koran Sulindo – Pemerintah terkesan kewalahan menghadapi tekanan ekonomi dan defisit anggaran. Utang luar negeri menjadi tumpuan.Pengampunan pajak menjadi teror.

SELISIH dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang Indonesia pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017terlihat kurang sehat. Karena, defisitnya mencapai Rp 332,8 triliun atau 2,4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Itu artinya, pemerintah akan mengunakan utang untuk membayar bunga utang. Pemerintah sudah tidak mampu membayar bunga dari hasil penerimaan negara. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun mengakui, defisit itu membuat pemerintah harus menarik utang untuk membayar utang sebelumnya.

Sebenarnya, defisit pada apa yang diistilahkan sebagai keseimbangan primertersebut, menurut data Kementerian Keuangan, telah terjadi sejak 2012, pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Padahal, keseimbangan primer pada tahun 2010 tercatat surplus, yang mencapai Rp 41,5 triliun. Ini berarti penerimaan negara lebih besar daripada belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Karena itu, pemerintah masih memiliki dana dari penerimaan negara untuk membayar bunga utang.

Kondisi keseimbangan primer mulai goyah pada 2011. Surplusnya tinggal Rp 8,8 triliun. Nah, pada tahun 2012, keseimbangan primer mulai defisit Rp 52,7 triliun. Selanjutnya, berturut-turut 2013 dan 2014, defisit mencapai Rp 98,6 triliun dan Rp 93,2 triliun. Defisit keseimbangan primer melorot drastis pada 2015 lalu, yang mencapai Rp 111,4 triliun.

Dalam lima  tahun terakhir, utang pemerintah juga melonjak tajam. Pada 2011, total utang pemerintah mencapai Rp 1.808 triliun, kemudian pada 2012 menjadi Rp 1.977 triliun, selanjutnya 2013 menjadi Rp 2.375 triliun, lalu 2014 menjadi Rp 2.608 triliun, dan 2015 menjadi Rp 3.362 trilun.Sementara itu, data Kementerian Keuangan menunjukkan total posisi utang pemerintah saat ini mencapai Rp 3.400 triliun.

Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Risiko Kementerian Keuangan menyebutkan, utang pemerintah per Juni 2016 mencapai Rp 3.362 triliun. Rata-rata tingkat bunga utang yang harus dibayarkan pemerintah 5,2%.

Fakta ini justru berkebalikan dengan apa yang dikampanyekan Jokowi-Kalla ketika masa Pemilihan Presiden 2014. Salah satu kampanye populer Jokowi-Kalla ketika itu adalah mengurangi ketergantungan Indonesia pada utang luar negeri.

Menurut anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, mengutang untuk bayar bunga utang tak bisa ditolak. Masalahnya, situasi keuangan Indonesia, terutama APBN, telah dikapling-kapling. Umpamanya: 20% untuk pendidikan, 5% untuk kesehatan, 30% untuk bayar utang, biaya birokrasi mencapai 30% hingga 40%, dan subsidi serta jaminan sosial untuk orang miskin mencapai 10%.

Berdasarkan pembagian itu, kata Eva lagi, ketersediaan ruang dalam anggaran atau yang disebut sebagai ruang fiskal sangat minim, hanya 10% hingga 15%.Sementara itu, pemerintah sekarang ini melalui program Nawacita ingin menggenjot infrastruktur agar struktur perekonomian bergeser menjadi negara industri. Idealnya, pembiayaan pembangunan bersumber dari pajak dan penerimaan negara semisal dari ekspor. Faktanya, penerimaan pajak rata-rata hanya 12% per tahun, sedangkan ekspor minyak dan komoditas anjlok.

“Jadi, utang adalah solusi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri,” kata Eva. Tapi, tambahnya, situasi menjadi gawat karena itu tadi: utang yang akan datang bukan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, tapi untuk bayar bunga utang. Karena itu, harapannya hanya pada pengetatan rancangan APBN dan program pengampunan pajak (tax amnesty).

Banyak pihak menilai, peningkatan utang luar disebabkan target pertumbuhan ekonomi dan penerimaan dari sektor pajak pemerintah sekarang terlalu ambisius. Padahal, faktanya, pada periode 2010 hingga 2014, penerimaan pajak rata-rata 12% per tahun. Tapi, pada 2015, pemerintah menargetkan 30%.

Perlambatan ekonomi global juga membuat pendapatan pemerintah jauh dari target yang ditetapkan. Karena, harga sejumlah komoditas utama anjlok dan ekspor Indonesia pun menurun. Pada periode Januari hingga April 2016, misalnya, total nilai ekspor turun 13% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu. Ekspor minyak dan gas mengalami penurunan 39% dan non-migas turun 9%.

Sementara itu, rasio utang luar negeri Indonesia terhadap PDB terus meningkat. Catatan Bank Indonesia, pada kuartal kedua 2016, rasio utang luar negeri terhadap PDB mencapai 36,77%. Angka ini meningkat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 36,57% dan periode yang sama pada tahun lalu sebesar 34,45%. Bank Indonesia juga mencatat posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir Juni 2016 lalu sebesar US$ 323,8 miliar atau meningkat 6,2%secara tahun per tahun.

Atas dasar ini, Eva mengusulkan reformasi fiskal segera dilaksanakan supaya sumber pembiayaan pembangunan bisa diperluas dan tentunya berbasis pajak. Itu juga bisa menjadi insentif bagi investor asing dan dalam negeri. Reformasi fiskal itu akan membuat investasi langsung luar negeri (FDI) akan terkendali, meningkatkan indeks kompetisi, memberi insentif pajak, kepastian hukum, dan pasar tenaga kerja.

Investasi Infrastruktur

Berkaitan dengan pembangunan infrastruktur, seperti kata Eva, pemerintah saat ini menjadikannya sebagai poros utama program pembangunannya,kendati rezim sekarang menolak mengakui meneruskan proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bedanya,jika pada era Yudhoyono umumnya tahapannya hanya meletakkan dasar (ground breaking), sekarang masuk dalam tahapan pelaksanaan.

Proyek MP3EI sendiri sebenarnya tidaklah ujuk-ujuk muncul. Mulanya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla pada periode awal kekuasaannya, terutama pada Januari 2005, menyelenggarakanIndonesia Infrastructure Summit.Pembangunan infrastruktur dimaksudkan sebagai upaya untuk mempercepat kembalinya modal asing ke Indonesia selepas krisis ekonomi pada 1997/1998. Itu sebabnya, investor asing diundang untuk berinvestasi di berbagai sektor infrastruktur, seperti jalan tol, pelabuhan, bandara, pembangkit listrik, air bersih, dan sebagainya. Berdasarkan itu pula, Yudhoyono lalu menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yangTerbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal dan puncaknya diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah.

MP3EI merupakan program besar Yudhoyono pada periode keduapemerintahannya. Konsep proyek ini membangun koridor-koridor potensial ekonomi dan konsep keterhubungan (koneksivitas) antar-koridor dengan jalan mengembangkan infrastruktur. Nilai proyek ini mencapai Rp 4.662,7 triliun, meliputi 1.667 proyek.

Pada masa pemerintahan Joko Widodo sekarang ini, pembangunan infrastruktur juga dipandang penting. Untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur itu, pemerintah sekarang menetapkan anggaran sekitar Rp 4.800 triliun untuk lima tahun.

Pandangan ini mirip dengan International Finance Coorporation (IFC), lembaga bentukan Bank Dunia. IFC menyebutkan, jika Indonesia ingin terus bersaing sebagai negara yang tumbuh secara ekonomi, proyek infrastrukur sangat penting sebagai jawaban untuk membuka sumbat keran investasi, yang telah lama terjadi.

Masalahnya, kemampuan pemerintah sekarang untuk mendanai proyek-proyek itu  hanya sekitar Rp 1.131 triliun. Jadi, ada kekurangan yang cukup besar.

IFC bersama Bank Dunia telah menggelontorkan utang sebesar US$ 12 miliar untuk empat tahun. Di luar itu, kedua lembaga tersebut telah pula menggelontorkan masing-masing US$ 1 miliar untuk tahun 2016 ini. IFC pula yang memberi modal kepada pemerintahan sekarang untuk menghimpun dana ke dalam perusahaan pembiayaan infrastruktur bernama PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI)—inisialnya sama dengan inisial nama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Perusahaan ini juga yang memperoleh pembiayaan dari dana yang dikumpulkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang juga akan mengelola aset di Pusat Investasi Pemerintah (PIP).

Sumber pendanaan untuk proyek infrastruktur Indonesia dipastikan semakin bertambah. Berbagai lembaga keuangan domestik dan internasional—sepertiIndonesia Infrastructure Fund, Japan Bank For International Cooperation, Bank Pembangunan Asia, dan yang terbaru Asian Infrastructure Investment Bank—siapmendanai proyek infrastruktur yang tersebar di Indonesia.

Pemerintah sekarang juga membentuk Komite Percepatan Pembangunan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), yang akan bertugas sebagai project manajemen office dalam proyek prioritas infrastruktur.Dijelaskan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dalam sebuah kesempatan, pada situasi ekonomi global saat ini sulit dicapai laju ekonomi lebih dari 5%. Karena itu, pemerintah akan mengandalkan belanja modal, khususnya infrastruktur, guna mencapai potensi pertumbuhan ekonomi yang baik.

Namun, Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, Anwar Nasution, punya pandangan berbeda. Dalam tulisannya di sebuah media massa, Anwar mengatakan Indonesia telah masuk menjadi negara pengutang tingkat internasional. Karena itu, dia menyarankan, agenda pertama pemerintahan sekarang setelah melakukan perombakan kabinet adalah merombak struktur anggaran negara, dengan langkah awal mengurangi anggaran pengeluaran negara. Apalagi, proyeksi penerimaan negara pada tahun 2016 ini tidak mampu dicapai, baik itudari pajak, laba BUMN/BUMD, maupun penjualan kekayaan negara.

Dijelaskan ekonom senior itu, pinjaman negara melalui penjualan Surat Utang Negara (SUN) sudah mendekati ambang batas disiplin anggaran dan berutang, karena beban bunga utang yang semakin berat. Sekitar 40% dari SUN dan Sertifikat Bank Indonesia yang dijual di Bursa Efek Indonesia juga dikuasai modal asing jangka pendek.

Sementara itu, pengeluaran pemerintah yang sulit dikurangi adalah gaji pegawai negeri sipil. Jugapeningkatan anggaran terkait dengan program sosial, seperti Kartu Indonesia Pintar untuk pendidikan serta Jaminan Sosial Kesehatan yang diselenggarakan BPJS.

Maka, menurut Anwar, pemotongan anggaran yang paling mudah dilakukan adalah pada anggaran pembangunan untuk infrastruktur, termasuk jalan raya, irigasi, air minum, listrik, serta pelabuhanudara dan laut. Apalagi, proyek mercusuar seperti pembangunan jaringan kereta api supercepat Jakarta-Bandung dan jaringan kereta api di Kalimantan, Sulawesi, serta Papua tidak membawa manfaat ekonomi dalam jangka pendek.

Yang mungkin kurang mendapat perhatian adalah efek utang itu. Bahkan, masalah utang terutama pada negara berkembang seperti Indonesia bukan terletak pada kemampuan membayarnya. Ada kemungkinan lembaga keuangan internasional pemberi utang yang dibentuk negara-negara maju justru akan membiarkan Indonesia tidak membayar utangnya dan terus akan menggelontorkan pinjaman. Dengan demikian, lembaga keuangan internasional itu punya landasan untuk terus mengintervensi sekaligus menghasilkan nilai baru sehingga kelebihan modal dan produksi barang negara-negara industri tersebut terus berputar. Kalau sudah begitu, adalah keniscayaan jika tingkat kemiskinan di Indonesia akan melambung dan akan semakin sulit keluar dari situasi dan kondisi itu. Pada gilirannya, bukan mustahil cita-cita Proklamasi Kemerdekaan hanya akan menjadi artifak yang menggeletak di pojok sejarah, tak terurus, berdebu tebal, dan kusam.

Namun, politisi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari optimistis utang pemerintah itu akan dapat dilunasi. Syaratnya: ada reformasi fiskal, terutama untuk investasi langsung luar negeri.

Selain itu, tentu saja, pemerintah harus taat pada perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan, defisit anggaran APBN dibatasi maksimal 3% dari PDB. Kalau lebih dari itu, Presiden Joko Widodo artinya melanggar undang-undang dan itu membuka peluang bagi parlemen untuk menurunkan dia dari kursi kepresidenan.

Defisit anggaran yang lebih dari 3% juga dapat memicu kaburnya dana asing (capital outflow) dari pasar modal dan keuangan Indonesia.Menurut ekonom Chatib Basri, pelebaran defisit anggaran hingga melebihi batas bukanlah hal yang bagus. Ia pun merujuk contoh beberapa negara yang mengalami arus keluar dana asing gara-gara memperlebar defisit anggarannya.Turki dan Brasil, misalnya, semakin terpuruk setelah keluarnya dana asing sehingga berlanjut kepada perlambatan ekonominya. Sebaliknya, India bisa bangkit dari risiko capital outflow karena mampu mengurangi defisit anggarannya dari 6% menjadi 3%.

Target defisit dalam  APBN Perubahan 2016 dalah Rp296,7 triliun atau 2,35% dari PDB. Namun, pada semester pertama 2016 saja, defisitnya sudah mencapai 1,83% dari PDB. Itu sebabnya Menteri Keuangan Sri Mulyani kemudian memotong banyak mata anggaran.

Namun, untuk mengejar target penerimaan lewat program tax amnesty yang efektif berlaku sejak Juli 2016 lalu, pemerintah terkesan panik bak babi buta, seperti dilansir Ferdinand Hutahaean,Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia. Tax amnesty yang tadinya digembar-gemborkan akan mampu menarik uang yang diparkir  di luar negeri, katanya, akhirnya menjadi mimpi buruk dan teror bagi rakyat Indonesia sendiri. Karena, pemerintah malah lebih menyasar rakyat sendiri yang ada di dalam negeri, yang juga sebenarnya sedang kesulitan diimpit berbagai persoalan ekonomi.Pemerintah menjadikan aset rakyat sebagai sesuatu yang harus dipajak berganda. “Aset rakyat harus diperas lagi untuk pemasukan negara. Pemerintah melakukan teror psikologis kepada rakyatnya yang memiliki aset,” ujar Ferdinand. Suram! [Kristian Ginting, Purwadi Sadim]