Koran Sulindo – Bangsa, kata Stalin dalam Marxism and the National Question adalah kesatuan dari komunitas, terutama kesatuan dari rakyat. Dengan demikian, kesatuan ini bukan soal rasial, juga bukan kesukuan. Bangsa karena itu, kata Stalin, bukan soal ras atau kesukuan, melainkan sebuah kesatuan manusia yang dibentuk oleh sejarah.
Stalin meyakini gelombang nasionalisme akan semakin meningkat bersamaan dengan menguatnya kelas penindas yang mengancam kehidupan massa rakyat terutama kelas buruh. Semakin banyak gerakan emansipasi menurun, akan semakin menumbuhkan nasionalisme yang bermekaran. Dengan kata lain, bangsa tidak datang secara tiba-tiba, tapi dibentuk oleh sejarah.
Seperti Stalin, sejarawan Universitas Indonesia (UI) Andi Achdian juga ingin mengatakan demikian dalam makalah yang bersumber dari draf disertasinya. Terutama mengenai sosok Tjokroaminoto dan gerakan buruh. Dalam sebuah diskusi pada 12 Agustus 2017 di kawasan Taman Mini, Andi mendiskusikan menimbang ulang penulisan sejarah pergerakan nasional awal abad ke-20. Ia mencoba menggali kembali sejarah dua dekade awal abad ke-20, terutama dalam kaitannya dengan politik pergerakan dan kolonialisme Belanda di Indonesia.
Ia menganggap tema tersebut belum mengalami perkembangan berarti setelah terbitnya karya-karya penting Akira Nagazumi, The Dawn of Indonesian Nationalism (1972); Takashi Shiraishi, An Age I Motion: Popular Radicalism in Java, 1912 – 1926 (1990); dan Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism (2006), yang menjadi karya klasik periode tersebut. “Selain menerima pandangan dari luar, kenapa penulis kita tidak membuat sendiri. Saya kira pendekatannya akan berbeda. Itu yang saya kira penting ya,” kata Andi.
Andi menganggap perlu menimbang ulang tentang sejarah awal bangkitnya pergerakan nasional terutama berkaitan Sarekat Islam (SI) dengan figur pemimpinnya Tjokroaminoto. Ia melihat banyak sejarawan mengabaikan jejak Tjokroaminoto ketika memimpin para siswa Burgeravondschool (BAS) sekaligus menjadi pemimpin awal Boedi Oetomo (BO) di Surabaya. Kota yang disebut Andi dengan struktur industri dasar – yang mungkin melebihi industri Indonesia saat ini – dan radikalisme buruh perkotaan yang berkembang di Surabaya.
Ketokohan Tjokroaminoto dan munculnya gerakan radikal buruh disebut Andi tidak datang secara tiba-tiba. Itu karena kondisi objektif kota Surabaya yang waktu itu sudah maju industrinya, terutama industri berat.
Andi di satu sisi mungkin benar. Akan tetapi, ia tidak menjelaskan radikalisme buruh perkotaan di Surabaya itu. Berbeda dengan McVey yang memotret radikalisme buruh perkotaan di Semarang lewat Vereniging voor Spoor en Tramweg Personeel (VSTP). VSTP ini tidak sekadar menjadi serikat buruh, tapi juga dibekali teori termaju yang disebar Sneevliet melalui tokohnya Semaun. Andi tidak bisa menunjukkan sebuah organisasi yang serupa di Surabaya. Sneevliet dan Lenin disebut mempunyai pandangan yang sama mengenai negara-negara terbelakang dan jajahan seperti Indonesia.
Dalam buku McVey disebutkan Komite Eksekutif Komintern (ECCI) membentuk sebuah Komisi Mengenai Masalah Nasional dan Koloni dan Sneevliet menjadi Sekretaris Komisi. Di hadapan Komisi itu ia menuliskan pandangannya yang menyebutkan, mengharapkan partai-partai proletar di negeri jajahan dan negara-negara terbelakang menjalankan politik komunis adalah utopi tanpa mempunyai hubungan yang pasti dengan gerakan kaum tani demokratik.
Sementara Andi melihat bahwa Surabaya dengan kemajuan industrinya merupakan basis yang menentukan suprastruktur – sebuah adagium lama yang kemudian bisa dibenarkan. Artinya tidak dapat disangkal bahwa kenyataan itu telah ditunjukkan dalam perkembangan gerakan buruh terorganisir. Akan tetapi, Andi mungkin lupa kaum buruh dan kelas buruh adalah dua hal yang berbeda. Tanpa kesadaran kelas, kaum buruh tidaklah serta merta menjadi kelas buruh.
Yang perlu diingat, revolusi di suatu negeri kendati industrinya terbelakang, tetap bisa meletus. Buktinya Soviet dan Tiongkok. Di negeri-negeri terbelakang, tentu saja kelas buruh menjadi kekuatan pokok revolusi. Namun, kaum tani demokratik merupakan sekutu utama kelas buruh adalah tenaga pokok revolusi. Di sinilah pentingnya analisis kelas sehingga kita bisa mengetahui perkembangan masyarakat dan karakteristiknya. Dengan demikian, kita bisa memahami serta mengetahui metode perjuangan terutama di masa Hindia Belanda dan Indonesia di masa kini.
Dengan demikian, pernyataan Stalin seperti dikutip Mao Zedong dalam karyanya berjudul Tentang Praktek menjadi tepat: “Teori menjadi tak bertujuan jika ia tidak dihubungkan praktek revolusioner, seperti juga praktek akan meraba-raba dalam kegelapan jika jalannya tidak diterangi oleh teori revolusioner”
Menarik mendiskusikan hal tersebut. Berikut ini merupakan wawancara lengkap Andi Achdian dengan Kristian Ginting, wartawan Koran Suluh Indonesia:
Sejak awal Anda konsisten membuat tulisan tentang sejarah “Kiri”. Anda memberi pengantar Antara Negara dan Revolusi karya Jacques Leclerc dan PESINDO: Pemuda Sosialis Indonesia, 1945-1950 karya Norman Joshua Soelias. Bagaimana awalnya tertarik soal “Kiri”?
Saya kira, pertama, kalau dilihat dari zaman mahasiswa saya terlibat dalam aktivisme. Jadi melihat sesuatu di luar pakem. Pengalaman itu membentuk orientasi kita terhadap kesenangan kita. Kesukaan saya pada konflik. Tema-tema unik.
Juga karena sejarah kita. Kiri itu kan ada dalam unsur sejarah kita. Artinya mewakili sejauh mana agenda kerakyatan tertuang dalam lembaga-lembaga politik penting. Contoh, di konstitusi kita kan omongnya keadilan sosial. Problemnya dalam kehidupan nyata kapital lebih berkuasa dibanding kepentingan orang banyak (tertawa).
Awalnya hanya tertarik, lalu aktivisme, apakah itu membentuk sebuah nilai atau ideologi Anda?
Ya, pastinyalah ya. Semasa muda kita punya semangat melawan. Sudah tua mikir-mikir (tertawa). Zaman muda punya pemikiran radikal, pasti laku kan. Jadi, pasti berpengaruh pada perkembangan selanjutnya. Dan saya kira, misalnya, pendekatan sejarah yang bersifat marxian sebagai nilai. Sebagai pendekatan bisa dilihat mewakili kenyataan, kenapa nggak. Saya sebenarnya mengelaborasi. Yang penting menciptakan yang lebih original. Soekarno misalnya, Nasakom. Menarik buat saya. Itu kan kreativitas. Kita juga kan bisa bikin sendiri. Tema hari ini juga begitu. Selain menerima pandangan dari luar, kenapa penulis kita tidak membuat sendiri. Saya kira pendekatannya berbeda. Itu yang saya kira penting ya.
Anda memposisikan diri sebagai apa?
Saya sehari-hari sebagai peneliti pada akhirnya.
Karena nilai tadi, apakah itu mempengaruhi subjektivitas Anda sebagai peneliti?
Saya kira semua peneliti subjektif ya. Karena semua ada asumsi-asumsi di belakang mereka. Bahkan juga, saya sendiri punya pengalaman soal itu. Pernah jadi konsultan dan lain sebagainya. Sejauh temanya menarik kenapa tidak. Yang penting tidak membohongi.
Soal penelitian tadi, apakah sudah ada peneliti Indonesia yang melakukan seperti yang Anda katakan tadi, tidak hanya menerima hasil penelitian dari luar?
Saya kira bagus. Saya kira sudah banyak yang begitu. Yang penting lebih banyak lagi, apalagi sekarang.
Bagaimana pandangan Anda tentang Jacques Leclerc yang tulisannya tentang Amir?
Menarik. Itu juga menunjukkan bahwa kita tidak bisa mengatakan A atau B. Orang berubah terus. Amir satu pihak PKI, tapi sisi lain dia Kristen. banyak hal yang saya kira perlu dilihat dalam mengkategorikan orang ya. Dinamis. Kalau melihat posisinya juga menunjukkan dia beradaptasi dalam peristiwa dan sebagainya.
Apakah sosok Amir memang ambisius seperti kata Leclerc?
Saya kurang paham ya. Tapi sebagai pemimpin politik apakah ada yang tidak ambisius? Saya kira sebagai pemimpin politik itu standar saja. Soekarno juga sangat ambisius
Buku Norman Joshua Soelias cucunya Francisca C. Fanggidaej, tokoh Pesindo menyebut peristiwa 1948 sebagai pemberontakan, sementara neneknya ikut di situ? Bagaimana tanggapan Anda?
Peristiwa Madiun juga ditafsirkan dengan banyak hal. Dalam satu sisi memang tidak sebesar dan tidak sehitam putih yang kita bayangkan. Tapi, kenyataannya, ia tidak mematuhi Republik mungkin juga disebut sebagai pemberontakan.
Aidit dan Bung Karno kan bilang tidak berdiri sendiri?
Peristiwa itu memang ditafsirkan terus ya. Dalam momen-momen tertentu ada banyak faktor. Revolusi Indonesia terlalu banyak faktor dan kompleks. Buku revolusi Indonesia berapa sih sampai sekarang. Kita masih terbatas. Kalau Perancis bisa ribuan buku.
Dalam halaman 10 makalah Anda yang mengutip Ruth McVey bukankah terlepas dari konteksnya. Pasalnya, kutipan itu seakan-akan membenarkan bahwa Konferensi Prambanan itu diputuskan karena basisnya buruh industri Surabaya yang sudah maju. Padahal itu kan karena perdebatan di dalam Partai Komunis Indonesia, bagaimana menurut Anda?
Problem Ruth, pertama-tama, menempatkan kajian pergerakan PKI sebagai organisasi belum terlalu kuat dalam konteks sosialnya, sehingga beberapa hal terkait dengan radikalisme perkotaan tidak terjangkau, kira-kira begitu. (Dalam buku Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI yang diterbitkan Ultimus, keputusan pemberontakan nasional pertama di bawah PKI, bersumber dari tesis Aliarcham dalam Kongres II Juni 1924 tentang pembentukan satu partai proletariat yang bebas dan berdiri sendiri. Konsekuensi dari tesis Aliarcham adalah pembubaran Sarekat Rakyat yang mayoritas anggotanya terdiri atas kaum tani, terlebih Sarekat Rakyat dianggap saingan partai politik bagi PKI. Aliarcham disebut sebagai seorang pemimpin utama kaum komunis Indonesia, seseorang yang sangat taat kepada disiplin Internasionale III)
Dalam makalah itu, Anda selalu menuliskan PKI bahkan pada periode 1914 hingga 1919. Padahal, PKI kan baru 23 Mei 1920. Apakah itu salah ketika atau bagaimana?
Iya itu salah ketik. Dalam diskusi pun saya sudah mengakuinya.
Di penutup makalah itu, Anda menuliskan soal analisis kelas yang tumpang tindih dengan ras di dalam cara produksi kapitalisme yang baru berkembang di koloni adalah isu penting layak mendapat perhatian, selain juga politik nasionalisme Indonesia yang menjadi produk baru abad ke-20. Apa maksudnya?
Yang saya maksudkan dalam konteks sekarang di dalam masyarakat kolonial yang menjadikan ras sebagai basis utama dalam hubungan sosial saat itu punya pengaruh dalam hubungan sosial di industri atau kelas. Selain juga menjadi buruh juga tetap menjadi orang Jawa, tumpang tindihnya yang saya maksud seperti itu. (Jika pendapat Andi ini merujuk pada PKI, maka tidak tepat mengatakan organisasi ini membuat analisis kelas yang tumpang tindih dengan ras. Justru perkembangan PKI sebagai organisasi menunjukkan karakter perjuangan kelasnya. Buktinya sejak awal bernama ISDV dibentuk pada 1914 terdiri atas berbagai aliran. Persis seperti di Soviet sebelum Revolusi 1917 meletus. Setelah Revolusi Oktober, ISDV mengalami kontradiksi internal. Sebagian dari mereka yang memang revisionis bertahan untuk tidak mengikuti revolusi Oktober. Untuk membedakan garis, Lenin menyerukan kepada seluruh kaum komunis untuk mengubah nama organisasinya menjadi Partai Komunis. ISDV termasuk yang mengikuti anjuran Lenin. Inilah yang disebut sebagai Internasionale III. Karena analisis kelas yang dogmatis itu pula PKI merumuskan partainya sebagai partai kelas buruh sehingga memutus hubungan dengan kaum tani demokratik yang berkumpul di Sarekat Rakyat)