Koran Suluh Indonesia cetak Volume II Nomor 16, 7-20 Agustus 2017

Koran Sulindo – Kemerdekaan, kata penyair Toto Sudarto Bachtiar dalam sebuah puisinya, ialah tanah air dan laut semua suara. Karena itu, janganlah kita takut kepada kemerdekaan.

Namun, di usia kemerdekaan Indonesia yang telah mencapai 72 tahun, banyak orang kini merasa takut bersuara, setidaknya di ruang-ruang publik, termasuk di media sosial Internet. Bukan hanya takut karena ada ancaman penjara, dengan menggunakan berbagai peraturan dan perundangan, tapi juga takut dirisak atau di-bully oleh “pasukan hantu” yang dipelihara oleh pihak atau pribadi tertentu, yang dampaknya bisa meluas, bukan hanya kepada orang yang telah bersuara itu, tapi juga kepada keluarga dan kaum kerabatnya.

Pihak-pihak tertentu pemelihara pasukan hantu tersebut bisa siapa saja. Namun, yang pasti, mereka punya kekuasaan, baik kekuasaan modal, kekuasaan intelektual, maupun kekuasaan lain, yang dapat memengaruhi orang atau kelompok lain agar bertindak sesuai keinginan mereka.

Lalu, apa artinya kata merdeka bila pada akhirnya kita takut bersuara, takut menyuarakan pendapat kita, seperti masa penjajahan dulu? Apa gunanya merdeka bila pada akhirnya kita dijajah kembali oleh “tetangga sendiri” setelah berhasil mengusir penjajah yang datang dari negeri jauh, seperti kata tokoh utama dalam film The Patriot, Benjamin Martin?

Padahal, soal semacam itu mestinya sudah selesai di Indonesia setelah Revolusi Agustus, 17 Agustus 1945, yang menurut Bung Karno merupakan revolusi tahap pertama. Pada revolusi ini, kita bukan saja berhasil merdeka dari cengkeraman penjajah, tapi juga mampu membuat pijakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis: falsafah negara Pancasila dan undang-undang dasar yang berlandaskan falsafah negara tersebut. Tentunya juga teks proklamasi serta bendera kebangsaan Sang Merah-Putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya, yang luar biasa.

Kita punya negara yang berdaulat, dengan kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Artinya, Indonesia adalah negara yang menolak kolonialisme/imperialisme dalam segala bentuknya, feodalisme, dan otoritarianisme.

Semua itu merupakan modal yang sangat penting. Namun, seperti kata Bung Karno, revolusi belum selesai, masih ada tahapan revolusi selanjutnya, untuk mencapai masyarakat yang berkesejahteraan sosial, yang tak ada lagi I’exploitation de I’homme par I’homme dan berbagai bentuk pengisapan lainnya. Dalam Manifesto Politik Tahun 1959 bahkan ditegaskan: hari depan revolusi Indonesia adalah sosialisme. Sosialisme-nya adalah sosialisme Indonesia, sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi di Indonesia.

Namun, upaya melakukan revolusi selanjutnya memang tak mudah. Bahkan, pada tahun 20 Mei 1963, Bung Karno mengatakan, selesainya Revolusi Indonesia masih akan bertahun-tahun lagi. “Ini perlu dicamkan, dicamkan oleh Saudara-Saudara sekalian, bahwa Revolusi Indonesia tidak akan selesai dalam satu dua hari, bahwa Revolusi Indonesia itu memang belum selesai, bahwa Revolusi Indonesia itu sudah bertahun-tahun berjalan, tetapi masih akan berjalan bertahun-tahun lagi. Sebabnya ialah oleh karena Revolusi Indonesia itu adalah revolusi yang besar, bukan revolusi yang kecil-kecilan, bukan revolusi peyeum, Dulur-Dulur, tetapi revolusi amat besar. Dan sudah sering saya katakan bahwa Revolusi Indonesia adalah revolusi Pancamuka, revolusi multikompleks, revolusi yang bermuka banyak, ya revolusi nasional, ya revolusi politik, ya revolusi ekonomi, ya revolusi sosial, ya revolusi membentuk manusia Indonesia baru. Revolusi yang demikian ini tidak akan selesai dalam tempo satu dua tahun. Revolusi yang demikian ini akan memakan berpuluh-puluh tahun….”

Jadi, revolusi di Indonesia memang belum selesai, bahkan sampai sekarang. Apalagi, selama lebih dari 30 tahun pada masa rezim Soeharto, jangankan berupaya melanjutkan revolusi, berbicara tentang revolusi saja seakan menjadi hal tabu. Mestinya, setelah rezim Soeharto berhasil ditumbangkan, revolusi Indonesia digulirkan kembali dan bahkan sekarang ini semakin relevan untuk digerakkan, ketika Indonesia semakin jauh tertinggal kemajuannya dari banyak negara lain, termasuk dari negara-negara yang ada di kawasan Asia. Bukan malah berjalan mundur ke masa penjajahan. [PUR]