Revisi UU ITE Memperkuat Peran dan Wewenang Pemerintah

Ilustrasi/elsam.or.id

Koran Sulindo – Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik berlaku mulai hari ini. Revisi UU ITE itu disahkan menjadi Undang-Undang Perubahan UU ITE pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis (27/10) lalu.

Menurut aturan, UU otomatis berlaku setelah 30 hari disahkan DPR. Revisi UU itu memperkuat peran pemerintah.

Dalam rancangan pemerintah tahun lalu, Menkominfo Rudiantara mengatakan  nanya pasal 27 ayat 3 saja yang akan direvisi. Menurut Rudiantara, inti perubahan tersebut adalah mengurangi tuntutan masa hukuman, dari 6 tahun penjara menjadi 4 tahun saja pada ayat itu.

Perubahan itu membuat orang yang dituntut dengan pasal tersebut tidak akan ditahan sebelum tuntutan diproses. “Kita revisi ini agar jangan sampai orang bersalah malah dilepas dan jangan sampai orang yang belum tentu bersalah malah ditahan,” kata Rudiantara, pada Agustus 2015.

Perubahan lainnya adalah penegasan pasal tersebut sebagai delik aduan. “Artinya orang yang merasa dirugikan atau dicemarkan nama baiknya melalui media informasi lalu ingin menuntut, harus memasukan laporannya sebagai individu, tidak dapat diwakilkan pihak lain,” kata Rudiantara.

DPR

Berdasarkan pembahasan di parlemen, ternyata revisi RUU ITE berubah lumayan banyak. Salah satu yang menonjol adalah penguatan kewenangan pemerintah.

Pembahasan RUU diselesaikan dalam pembicaraan Tingkat I pada 20 Oktober 2016 dengan keputusan menyetujui untuk diteruskan ke tahap selanjutnya, yaitu Rapat Paripurna DPR RI.

ITE adalah undang-undang pertama di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik, dan menjadi pionir dalam meletakkan dasar pengaturan dan perlindungan di bidang pemanfaatan TI dan transaksi elektronik.

Berikut revisi itu:

Yang pertama, untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan larangan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 ayat (3), dilakukan 3 (tiga) perubahan sebagai berikut:

a. Menambahkan penjelasan atas istilah “mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik”.

b. Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum.

c. Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.

Yang kedua, menurunkan ancaman pidana pada 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:

a. Ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik diturunkan dari pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun menjadi paling lama 4 (tahun) dan/atau denda dari paling banyak Rp 1 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta

b. Ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun menjadi paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda dari paling banyak Rp 2 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.

Ketiga, untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:

a. Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam Undang-Undang.

b. Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) mengenai keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.

Ke-4. melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:

a. Penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.

b. Penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1×24 jam, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.

Ke-5, memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam UU ITE pada ketentuan Pasal 43 ayat (5):

a. Kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait dengan tindak pidana teknologi informasi.

b. Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara Sistem Elektronik terkait tindak pidana teknologi informasi.

Ke-6, menambahkan ketentuan mengenai “right to be forgotten” atau “hak untuk dilupakan” pada ketentuan Pasal 26, sebagai berikut:

a. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

b. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.

Ke-7, memperkuat peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40:

a. Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang;

b. Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

LBH Pers

Sejak berlaku pada 2008, berdasarkan data Safenet per Mei 2016, terdapat 165 kasus yang dilaporkan dengan menggunakan UU ITE tersebut.

Salah satu kasus yang ramai di pemberitaan adalah Prita Mulyasari pada 2008; kasus aktivis Haris Azhar pada Agustus 2016; hingga yang terbaru Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama yang dilaporkan ke kepolisian oleh sejumlah kelompok masyarakat.

UU ITE merujuk pada hukum pidana yang ditangani negara melalui lembaga kepolisian dan jaksa.

Sementara itu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mengatakan revisi UU ITE berpotensi mengancam kebebasan ekspresi.

“Perubahan yang dilakukan terkait UU ITE ini hanyalah melegitimasi kepentingan pemerintah agar sikap kritis masyarakat Indonesia dikekang dengan menambahkan kewenangan-kewenangan baru Pemerintah. Semua revisi lebih banyak memberikan kewenangan-kewenangan baru kepada pemerintah,” kata Direktur Eksekutif LBH Pers, Nawawi Bahrudin, lewat rilis media, Senin (28/11)..

Pemerintah semestinya mencabut ketentuan Pasal 27 ayat (3), bukan hanya mengurangi ancaman hukumannya dari enam tahun menjadi empat tahun. Mengurangi ancaman hukuman tidak menjawab akar masalah karena dalam praktik, aparat penegak hukum kerap menggunakan tuduhan ganda, pasal berlapis, sehingga ancaman pidana yang ada dapat menahan sesorang yang dilaporkan atas pasal 27 ayat (3).

Sedangkan tentang aturan baru “right to be forgotten” yang ditambahkan pada pasal 26, mengenai pemberitaan di masa lalu, LBH Pers menilai ketentuan ini dapat menjadi sensor berita.

“Ketentuan ini bisa berakibat negatif karena dapat menjadi alat baru untuk  melakukan sensor atas berita, berita publikasi media dan jurnalis di masa lalu,” kata Nawawi.

Perundungan dunia maya (cyberbullying) yang disisipkan pada pasal 29 dinilai juga berpotensi menimbulkan overkriminalisasi.

Menurut Nawawi, masih banyak ahli pidana dari negara lain yang sulit merumuskan definisi perundungan. Revisi UU ITE dinilainya melompat jauh karena negara juga belum memiliki definisi hukum yang baku mengenai perundungan di dunia nyata, namun terkesan memaksakan pengertian perundungan di dunia maya.

Ketiadaan definisi perundungan dapat menyebabkan rumusan yang akan digunakan bersifat lentur dan multitafsir.

“Tindakan tersebut berpotensi disalahgunakan sehingga terbuka celah untuk membatasi kebebasan berekspresi di dunia maya,” kata Nawawi. [DAS]