Regulasi E-commerce Berlaku Awal 2016

Oleh : Arief Setiawan

Sulindomedia – Bisnis e-commerce di Tanah Air tetap jalan, meski saat ini belum ada regulasinya.  Agar perdagangan online dapat tetap berkembang, pemerintah diminta membuat regulasi yang tidak memberatkan para pelaku e-commerce.

“Memang harus ada regulasi yang mengaturnya. Tapi jangan sampai bisnis online yang sedang booming ini tiba-tiba terpuruk  karena regulasinya ribet dan memberatkan,” ujar Ahmad Zaky, CEO bukalapak.com, ketika menghadiri talkshow  “Industri Kreatif di Era Digital”, yang diselenggarakan perusahaan kurir di Jakarta baru-baru ini.

Soal pajak misalnya. Pemerintah menenggarai potensi pajak di sektor perdaganganonline ini cukup besar sehingga pemerintah berupaya menggalinya.  Dalam setahun, estimasi pajaknya mencapai Rp10 triliun.

Menurut Zaky, pememerintah harus bijaksana dalam memberlakukan pajak, tidak pukul rata karena banyak platform e-commerce yang usianya masih  baru (start up). “Belum apa-apa sudah disodorkan regulasi yang ribet. Bisa-bisa nantinya pelaku gulung tikar,” kata Zaky lagi.

Sekarang ini, pemerintah sedang mengkaji regulasi untuk perusahaan e-commerce. Di samping memungut pajak lebih tinggi pada perusahaan e-commerce asing, pemerintah juga akan membuka 100% kepemilikan e-commerce untuk asing. Regulasi  diperlukan guna mendorong bisnis online lebih pesat.

“Kita berharap kapitalisasi e-commerce di Indonesia pada 2020 bisa mencapai 135 miliar dolar AS atau meningkat sepuluh kali lipat dari tahun ini,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang e-commerce ditargetkan  akan selesai awal tahun ini.

RPP ini merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014 dan direncanakan rampung bersamaan dengan roadmap  e-commerce yang sedang digodok oleh beberapa pihak, seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, Bank Indonesia, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). RPP ini akan berisi perlindungan pelaku usaha dan konsumen e-commerce.

Adapun Menteri Perdagangan Thomas Lembong berpandangan, regulasi yang termaktub dalam RPP ini tidak akan memberatkan. “Kita harus hati-hati untuk tidak langsung masuk dengan regulasi yang berat-berat.  Kita tidak ingin target kapitalisasi e-commerce tahun 2020 mendatang meleset lantaran regulasi yang memberatkan,” ucapnya.

Regulasi membahas pula soal pajak e-commerce. Sebelumnya telah dikeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 06/PJ/2015 yang mengatur bisnis e-commerce. Disebutkan empat jenis transaksi e-commerce. Pertama:online marketplace, yakni kegiatan yang menyediakan tempat untuk menjual barang atau jasa. Kedua: classified ads, yakni kegiatan penyediaan tempat yang memajang barang dagangan bagi pengiklan. Ketiga: daily deals, yakni kegiatan yang menyediakan barang dagangan usaha berupa pembelian voucher. Keempat: online retail, yakni kegiatan menjual barang yang dilakukan pemilik online retail kepada pembeli di situsnya.

Menteri Thomas menegaskan,  para pelaku usaha di industrie-commerce bukan berarti bebas dari regulasi-regulasi yang sudah ada meskipun belum ada peraturan yang mengatur secara khusus.  Mereka harus menaati peraturan, seperti ketentuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), aturan kepabeanan, dan aturan terkait dengan Standard Nasional Indonesia. “Semua pelaku e-commerce tetap harus patuh terhadap peraturan perundangan yang saat ini berlaku dan itu sudah cukup banyak,” kata Thomas.

Di lain pihak, Ketua Umum Indonesia E-commerce Association (idEA) Daniel Tumiwa mengingatkan, regulasi yang dikeluarkan pemerintah harus memberikan ruang bagistart up e-commerce berkembang. “Saat ini masih dibutuhkan modal asing untuk industri e-commerce Indonesia. Namun, proporsi asing harus diatur agar investasi menjadi menarik namun menguntungkan Indonesia,” tuturnya.

Diprediksi, e-commerce akan tumbuh subur di Tanah Air sepanjang 2016. Bahkan, sektor ini digadang-gadang sebagai sektor potensial bagi usaha kecil menengah dalam menghadapi era pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) lantaran peluang pasar (market size) yang dapat digarap dari bisnis ini cukup  besar.

Data di Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat, nilai transaksi e-commercetahun ini akan mencapai US$ 4,9 miliar, meningkat sekitar 37% dibandingkan tahun 2015 yang sebesar US$ 3,56 miliar. Diprediksi pula, terdapat 8,7 juta pembeli lewat jalur online pada tahun ini atau meningkat  sebesar 17,5% dibandingkan tahun lalu yang mencapai total pembeli sebanyak 7,4 juta orang. Menjamurnya bisnis ini tak lepas pula dari pengguna internet di Indonesia, yang diprediksi mencapai 120 juta pengguna di tahun 2016.

Daniel Tumiwa mengungkapkan, kebangkitan bisnis e-commerce di Indonesia menunjukkan bahwa produk kreatif Tanah Air semakin tumbuh dan berkembang. Artinya, kesadaran para penjual lokal di media social digital mulai berpikir untuk membangun platform e-commerce lokal yang lebih segmented.

Pola perilaku ini selanjutnya akan membuat produk lokal lebih mendapat tempat di hati konsumen, baik dari online store yang menjual beragam produk lokal hingga e-commerce yang memiliki target pembeli lebih tersegmentasi. Berdasarkan riset yang dilakukan bersama Google Indonesia dan TNS (Taylor Nelson Sofres), produk yang sering dibeli konsumen saat ini adalah produk fashion.

“Ke depan bukan saja produk, tapi akan tumbuh market place yang menyediakan layanan jasa, seperti bengkel, delivery, resto, hingga jasa lain yang dibutuhkan konsumen,” kata Daniel. Pertumbuhan bisnis online ini akan membuka lapangan pekerjaan di sektor informal. [Dju]