Koran Sulindo – Anda berada di mana saat gerakan reformasi total terjadi medio 1998? Bagi bagian terbesar penduduk Indonesia hari-hari ini, mereka yang lahir di sekitar dan setelah milenia baru menyingsing, samar-samar mungkin hanya terbayang pada kekuasaan yang sangat besar, begitu besarnya hingga bisa masuk ke ruang keluarga dan isi tempurung kepala, mulai memasuki senjakalanya.
20 tahun yang lalu, menjelang pergantian abad itu, Indonesia dihantam badai guntur. Pada 1998, presiden yang sudah berkuasa lebih 30 tahun itu sudah tua, sendiri, tanpa kawan apalagi lawan sepadan. Dalam uzur usia, ia bersikeras duduk lagi di tahta yang dulu ia rebut dengan darah dan nyawa ratusan ribu orang di penjuru nusantara.
Pada 10 Maret 1998, MPR mengeluarkan Tap MPR-RI No IV/MPR/1998 berjudul “Pengangkatan Presiden Republik Indonesia”. Itulah landasan konstitusional MPR yang mempercayai Haji Muhammad Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya.
Sekitar 31 tahun sebelumnya, pada 12 Maret 1967, Jenderal TNI Angkatan Darat itu ditunjuk MPR sebagai Pejabat Presiden untuk menjalankan tugas kepresidenan yang telah diambil alih dari Presiden Soekarno. Setahun kemudian, Soeharto dipilih secara resmi sebagai presiden untuk pertama kalinya, dan lahirlah Orde Baru. Namun de facto, ia sudah meletakkan diri sebagai orang nomor satu di Indonesia setelah peristiwa berdarah pada dinihari 1 Oktober 1965.
Belum 2 tahun sebelumnya Ibu Negara, yang setia mendampinginya sejak awal, berpulang.
Periode ketujuh kepresidenan jenderal dari Kemusuk, Godean, Yogyakarta, itu sebenarnya sudah dibayangi lampor tanda bencana. Sekitar setahun sebelumnya, bermula pada 8 Juli 1997 nilai rupiah terhadap dollar AS merosot, merosot, dan ambruk sekitar Februari 1998 dengan nilai yang turun hingga 800 persen. Krisis moneter yang sebenarnya awalnya hanya menghantam Thailand itu berlaku lebih kejam pada negeri di bawah katulistiwa ini.
Krisis moneter itu pelan-pelan bergerak menjadi krisis ekonomi dan berpuncak pada krisis kepercayaan pada penguasa.
Harga-harga bahan pokok, kala itu terkenal dengan istilah 9 bahan pokok (Sembako) naik tak kenal ampun. Bahkan harga sebungkus rokok pun naik 2 kali lipat.
Lembaga donor Internasional, International Monetery Fund (IMF) mengulurkan tangan, diterima pada 31 Oktober 1997, ditandatangani pada 15 Januari 1998.
Salah satu syarat dari IMF, selain 49 buah yang lain, adalah memangkas subsidi energi. Pada 4 Mei 1998, pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dari Rp 700 per liter menjadi Rp 1.200 per liter.
Tahu-tahu semua sepertinya telah terlambat.
Kebijakan tersebut menyulut makin besar aksi penolakan mahasiswa di hampir seluruh pelosok negeri, setelah sebelumnya berlangsung sporadis di beberapa kota besar seperti Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta.
Pada 12 Mei 1998 unjuk rasa damai berlangsung damai di halaman Universitas Trisakti, Jakarta Barat. Demonstran sempat melangkah sekitar 200 meter turun ke jalanan, menuju gedung DPR yang terletak di penggal jalan yang sama. Tentara memaksa mereka masuk kembali ke area kampus, dan para mahasiswa sebenarnya menerima. Sebagian besar rombongan sudah masuk ke dalam parkiran kampus di persimpangan Grogol itu ketika letusan senjata meletup ke arah mereka, peluru timah. Sebanyak 4 mahasiswa Trisakti gugur.
Yang terjadi selanjutnya bisa digambarkan dalam satu kata, satu-satunya kata yang disumbangkan bahasa Indonesia ke kamus bahasa Oxford: Amuk.
Hanya dalam hitungan jam, pembantaian itu menyulut pembakaran dan kemudian kerusuhan.
Soeharto saat itu sedang menghadiri pertemuan konferensi tingkat tinggi ( KTT) G-15 di Kairo, Mesir. Ia buru-buru pulang pada 15 Mei 1998.
Selama dalam penerbangan konon wajahnya terus muram dan berubah dingin saat pesawat memasuki udara Jakarta dan asap hitam berkobar ke angkasa dari banyak tempat di bawah. Kerusuhan itu diikuti penjarahan, pemerkosaan warga keturunan China, dan situasi yang terasa terus-menerus mencekam.
Soeharto langsung memerintahkan penurunan harga BBM ke harga lebih rendah dari awal, Rp 600 per liter.
Tapi tanah air sudah tak lagi bisa dikendalikan. Warga asing mulai dievakuasi negaranya masing-masing.
Pada 18 Mei, bekas menteri kesayangannya yang saat itu Ketua MPR/DPR, Harmoko, meminta presiden mundur.
Hari ini 20 tahun lalu, sekitar pukul 10.10 WIB, orang kuat itu menyatakan berhenti menjadi presiden.
Neo Orde Baru
Tahun-tahun selanjutnya, terus hingga menginjak pergantian abad baru, Reformasi Total yang didengungkan hingga jatuhnya sang diktator itu seolah berjalan pelan, tak yakin, dan tak jelas orientasinya.
Mereka yang selamat dari huru-hara kekuasaan itu terus-menerus berusaha masuk kembali ke arena. Dengan berbagai topeng dan kamuflase.
Sejak itu, Indonesia mendefinisikan diri berdasar peristiwa apokaliptik itu, dengan bau amis dan anyir darah para korban. Sehingga 20 tahun kemudian, hari-hari ini, walau terlihat belum banyak yang dilakukan. Belum ada perubahan berarti dari sepertiga abad kekuasaan Soeharto, kecuali detil-detil kecil tak terlihat.
Reformasi Total telah berhenti bahkan sejak dimulai. Awalnya dikebiri dengan meghilangkan kata total di belakangnya, dan kini kata reformasipun mulai kesulitan menemukan arti.
“Kenyataannya, sebagian besar pejuang masyarakat sipil Indonesia akan setuju bahwa reformasi telah lama berakhir, mungkin satu dasawarsa atau bahkan satu setengah dekade yang lalu. Namun, label baru untuk menentukan apa yang menggantikan reformasi belum muncul dan ini mencerminkan ketidakpastian di kalangan orang Indonesia tentang perubahan sosial dan politik baru-baru ini, dan ke mana arah negara mereka,” tulis Professor Tim Lindsey, Direktur Pusat Hukum Islam, dan Masyarakat di Universitas Melbourne, Australia, dalam Post-Reformasi Indonesia: The Age of Uncertainty.
Demokrasi elektoral yang berlangsung 20 tahun terakhir tampak tak lebih sekadar permainan, populisme terus mengancam, dan negeri ini tampaknya meluncur ke arah “Neo-Orde Baru”.
Memang militer telah kembali ke barak, dan tetap masih di kandang, walau beberapa tahun terakhir banyak orang merayunya agar kembali ke lapangan politik. Memang ada lembaga baru yang tak pernah terpikirkan ada di masa kekuasaan Soeharto, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Memang tak ada lagi sensor negara pada media massa. Bebas, termasuk bebas untuk hanya gaduh dan riuh.
Neo Orde Baru mungkin hanya sekadar peristilahan. Tapi benang merah yang harus digarisbawahi adalah reformasi telah gagal. Berakhir, tamat, the end.
Belum begitu jelas ke mana akhirnya Indonesia akan menuju. Ketidakpastian ini lebih mencekam daripada kerusuhan 1998.
Demokrasi yang Cacat
Dari sisi pencapaian demokrasi, Indonesia sudah berubah banyak dibandingkan 20 tahun lalu. Sekarang menjelma negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Dengan apa yang terjadi di Mesir yang kini dipimpin junta militer, sekarang juga negara demokrasi dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Dari sisi ekonomi, juga 15 besar di dunia.
Tapi politik uang (money politics) merajalela, korupsi menjadi berita resmi setiap hari, dan tingkat kesenjangan antara sedikit orang kaya dengan sebagian besar warga miskin makin melebar. Kesenjangan sosial saat ini bahkan paling buruk dalam sejarah Indonesia.
“Yang terjadi sekarang di Indonesia menurut saya adalah demokrasi yang cacat,” kata Wakil Direktur Asia Institute di Universitas Melbourne, Prof Vedi Hadiz, Maret lalu, seperti dikutip abc.net.au.
Apakah sekarang sudah terjadi masa demokrasi seperti yang dicita-citakan banyak orang ketika Presiden Soeharto jatuh pada Mei 1998? Apakah harus berpuas diri, apakah keadaan sekarang membuat ingin marah?
“Sedikit kemarahan dalam diri kita masing-masing baik adanya, sehingga membuat kita terus berpikir untuk melakukan sesuatu,” kata Vedi pada mahasiswa Indonesia yang lagi belajar di negeri Kangguru itu.
“Tidak ada masalah apakah anda Islam atau Kristen atau yang lain, yang bisa kita lakukan adalah menciptakan nilai yang bisa menjadi bagian dari kehidupan anda,” katanya.
Nilai-nilai tersebut adalah negara yang lebih demokratis, kemakmuran bagi lebih banyak orang, yang tidak melakukan diskriminasi, tidak bersikap tidak toleran, dan keadilan. [Didit Sidarta]