Reforma Agraria Mampu Turunkan Ketimpangan Sosial

Ilustrasi

Koran Sulindo – Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) melaksanakan percepatan program reforma agraria dan redistribusi asset lewat pembagian 12,7 juta hektar lahan kepada masyarakat dipandang tepat. Jika kebijakan ini dilaksanakan secara serius maka mampu menurunkan angka ketimpangan sosial atau gini rasio Indonesia yang sekarang masih diangka 0,41.

Hal ini dikatakan mantan Menteri Keuangan RI Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA, saat menyampaikan kuliah umum yang bertajuk Analisis Kesenjangan Sosial di Indonesia di ruang Audiovisual FEB UGM, Jumat (3/2). “Reforma agraria harus betul-betul didesain agar yang mendapatkan manfaatnya tersebut betul-betul masyarakat miskin yang termarginalkan,” katanya.

Dikatakan Bambang Sudibyo, angka ketimpangan sosial di Indonesia saat ini begitu lebar.  Jumlah orang kaya di Indonesia sekitar 15 persen dari total penduduk, sementara 85 persen merupakan kategori miskin. Tingginya angka ketimpangan sosial di Indonesia disebabkan ada kebijakan yang salah di masa lalu setelah terkena krisis ekonomi tahun 1997 dan 1998, yakni adanya korupsi massal lewat dana BLBI, banyaknya yang melanggar  pasal 33 UU 1945.

Menyinggung banyaknya UU yang melanggar UUD 1945,  menurut Bambang Sudibyo, saat ini setidaknya ada 115 UU yang bertentangan. Memang UU Migas dan UU Sumber Daya Alam sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, tapi “Masih ada 110 UU lagi yang bermasalah. Tiga Undang-undang lainnya, UU Sistem Lalu Lintas Devisa Negara, UU sistem nilai tukar rupiah dan UU Ketenagalistrikan tengah digugat di MK,” ujarnya.

Dalam kuliahnya  Bambang Sudibyo  menyinggung masih terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat dan pejabat hukum. Ia mendesak Presiden Joko Widodo mau turun tangan melalu kewenangannya untuk melakukan pembenahan di lembaga Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi serta BPK untuk meningkatkan kredibilitas.

“MK dan MA saat ini saya kira perlu dibenahi. Presiden lewat kewenangannya harus masuk di situ. Yang juga tidak lupa adalah lembaga BPK, semestinya yang jadi anggota BPK itu para ahli hukum dan akuntansi, tapi sekarang diisi politisi yang tidak semuanya punya kompetensi hukum dan akuntansi,” tegas Bambang Sudibyo.

Bambang Sudibyo juga menyinggung pelaksanaan kebijakan ekonomi afirmatif. Menurutnya perlu dipikirkan secara lebih matang dan sesuai dengan kondisi ekonomi Indonesia. Ini mengingat  kebijakaan afirmatif yang dilakukan Malaysia saat ini belum tentu cocok dilaksanakan di Indonesia. Sebagai contoh, di Malaysia ada kebijkan ekonomi yang memprioritaskan warga Melayu.

“Di Malaysia model penunjukan langsung untuk pelaksanaan sebuah proyek tidak masalah sepanjang itu warga melayu. Namun di sini, hal itu dianggap korupsi. Toh di Malaysia peringkat angka gini rasionya masih di bawah kita,” ujarnya. [YUK]