Koran Sulindo – Rakyat Rusia membuka pintu bagi Vladimir Putin berkuasa sebanyak dua periode lagi. Hasil referendum yang diselenggarakan untuk mengubah undang-undang dasar memungkinkan Putin berkuasa lagi hingga 2036.
Komisi Pemilu Pusat Rusia, semacam KPU di Indonesia, mengatakan 78 persen suara yang dihitung secara keseluruhan mendukung pengubahan konstitusi, sedangkan sebesar 21 persen suara menentang. Sebanyak 98 persen suara sudah dihitung.
“Pemungutan suara berlangsung transparan dan para petugas pemungutan suara melakukan segalanya untuk menjamin integritas,” kata Ketua KPU, Ella Pamfilova, di Moskow, Rabu (1/7/2020) waktu setempat (Kamis WIB).
TPS dibuka selama satu minggu guna memperbesar keikutsertaan pemilih, tetapi tidak memperbesar kumpulan orang di tengah pandemi virus corona.
Putin memberikan suaranya di sebuah TPS di Moskow, memperlihatkan paspornya kepada pekerja pemilihan. Wajahnya tidak mengenakan masker, tidak seperti kebanyakan pemilih lain yang diberi masker gratis ketika masuk ke TPS.
Pada usia 67 tahun saat ini, Putin selalu mengatakan akan kembali mengikuti pemilihan presiden setelah 2024, setelah masa jabatannya saat ini berakhir.
Referendum ini digelar sehari setelah parade Hari Kemenangan di Lapangan Merah, Moskow, guna memperingati 75 tahun kekalahan Nazi Jerman dan berakhirnya Perang Dunia II di Eropa. Pertunjukan militer itu untuk mendongkrak semangat patriotik warga Rusia seiring dengan dibukanya karantina wilayah alias lockdown, sepekan lebih maju dari yang direncanakan wali kota Moskow. Kalangan anti pemerintah menilai langkah itu sengaja digelar demi popularitas sang presiden.
Pada Januari 2020, Presiden Rusia Vladimir Putin, menggagas agar konstitusi diamandemen melalui referendum. Salah satu hal yang diamandemen adalah masa jabatan presiden yang sedang berkuasa bisa diperpanjang lagi hingga dua masa jabatan lagi.
Referendum semula dijadwalkan digelar pada 22 April namun ditunda karena ada karantina wilayah akibat wabah virus corona.
Warga Rusia yang lahir pada abad ke-21 praktis hanya mengenal Vladimir Putin sebagai pemimpin. Putin telah berganti jabatan beberapa kali, dari perdana menteri (1999), menjadi presiden (2000-2008), kembali sebagai perdana menteri (2008-2012), dan jadi presiden lagi (2012).
Dukungan rakyat Rusia diperkirakan masih kuat. Terakhir kali bersaing dalam pilpres pada 2018 lalu, Putin mendulang lebih dari 76 persen suara.
Hari-hari berakhirnya Perang Dingin antara Komunisme dan Barat adalah masa tumbuh kembang Putin. Revolusi 1989 terjadi ketika dia bertugas sebagai petugas rendahan KGB di Dresden, yang saat itu masih berada di Jerman Timur.
Saat itu Putin tak berdaya menentang perubahan, tapi ada dua kesan kuat yang timbul dalam benaknya. Pertama, ketakutan pada pemberontakan massal—setelah menyaksikan protes besar-besaran yang berujung pada runtuhnya Tembok Berlin dan Tirai Besi. Kedua, kemuakan pada kekosongan kekuasaan di Moskow setelah Uni Soviet ambruk.
Putin pernah mengatakan ia menyerukan bantuan ketika markas KGB di Dresden diamuk massa pada Desember 1989, namun Moskow, saat itu di bawah Mikhail Gorbachev, hanya diam.
Saat itu Putin berinisiatif menghancurkan dokumen-dokumen yang bakal memojokkan Rusia di kemudian hari.
Setibanya dia di kampung halamannya di Leningrad (yang belakangan berganti ke nama lama Saint Petersburg), Putin dalam sekejap menjadi tangan kanan wali kota baru, Anatoly Sobchak.
Di Jerman Timur, Putin adalah bagian dari jaringan individu yang kehilangan peran lama mereka. Namun, di Rusia yang baru, dia berada di negara yang sejahtera secara pribadi dan politik.
Karier Putin meningkat—dia tidak ikut jatuh bersama Sobchak dan terus menjalin jaringan bersama kalangan elite Rusia yang baru.
Dia pindah ke Moskow, sukses di FSB (organisasi penerus KGB), dan bekerja di Kremlin.
Saat itu, Boris Yeltsin adalah presiden baru Federasi Rusia. Yeltsin berhasil menjaga keutuhan Partai Komunis berkat aliansi dengan kaum ologarki—yang memperoleh kekayaan besar dan pengaruh kuat dalam periode transisi ini.
Kalangan pebisnis, seperti Boris Berezovsky, muncul sebagai pendukung Yeltsin dan menjadi pemengaruh opini publik ketika pemilu kembali digelar di Rusia.
Pada 1999, Presiden Yeltsin menunjuk Putin sebagai perdana menteri Rusia. Perilaku Yeltsin menjadi kian tak menentu, dan dia secara mendadak mengumumkan pengunduran diri pada 31 Desember 1999.
Putin, dengan sokongan Berezovsky dan kalangan oligarki, mampu menempatkan diri untuk menjadi presiden sementara, posisi yang kemudian dia amankan melalui kemenangan pemilu pada Maret 2000.
Kalangan oligarki dan para pendukung reformasi yang pernah menjadi keluarga politik Yeltsin tampak puas dengan presiden baru mereka, yang datang dari antah-berantah kelihatannya bisa dibentuk.
Tapi, tiga bulan setelah berkuasa, Putin mengambil alih kendali media, dalam sebuah momen yang mengejutkan kaum oligarki dan orang-orang lama Kremlin.
Stasiun televisi independen NTV ditutup, beberapa media diberangus, dan laporan berita disortir pemerintah.
Kejadian ini mulai menetapkan begitulah gaya Putin berkuasa.
Mengambil alih kendali media punya dua manfaat untuk sang presiden baru: menyingkirkan kritikus berkuasa dari posisi mereka yang berpengaruh serta membentuk narasi, mulai dari perang Chechnya hingga serangan teror di Moskow.
Hal ini juga menaikkan angka popularitas presiden, menampilkan citra Rusia dan pemimpinnya yang hebat, dan membantu menentukan siapa musuh negara.
Sejak saat itu, warga Rusia di pelosok negeri hanya menyaksikan Putin seperti yang ingin Putin saksikan.
Dari 3.000 stasiun televisi di Rusia, sebagian besar menghindari menyiarkan berita. Kalaupun ada reportase politik, berita tersebut sudah disortir ketat oleh pemerintah.
Putin secara bertahap mengendalikan 83 wilayah Rusia dengan menunjuk politisi yang dia percaya sebagai gubernur. Dia menghapus pilkada pada 2004 dan menggantinya dengan pemilihan kepala daerah oleh para anggota DPRD.
Meskipun kalangan kritikus menuduh Putin “menghapus demokrasi”, strateginya berhasil, terutama di daerah seperti Chechnya.
Pilkada sempat kembali sesaat pada 2012 setelah gelombang protes prodemokrasi. Namun pada April 2013, Putin kembali mengendalikan secara langsung melalui undang-undang yang ketat.
Saat Arab Springs menggelora di dunia, Putin melihat aksi protes ini sebagai kendaraan bagi negara-negara Barat untuk merongrong Rusia. Perubahan gaya, walau tampilan belaka, diperlukan. Putin lantas bereksperimen dengan liberalisme. Dia menyerukan desentralisasi politik dan janji kepada daerah-daerah untuk mengendalikan ekonomi mereka dengan lebih leluasa.
Kata ‘reformasi’ diumbar dalam setiap pidato, namun gerakan ini hanya sesaat. Begitu ancaman usai, strategi itu tak lagi dipakai.
Kevakuman kekuasaan pasca-revolusi di Ukraina memberikan celah bagi Putin untuk bermanuver. Pendudukan Krimea secara cepat pada Februari 2014 adalah kemenangan terbesar Putin sejauh ini dan pukulan telak bagi Barat.
Rusia telah menunjukkan kekuatannya dalam mengambil alih wilayah negara tetangga selagi dunia menyaksikan dan gagal mencegahnya.
Putin punya kekuatan yang cukup untuk menyulitkan Barat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Sejak momen itu Putin bisa memimpin, menentukan laju, dan menentukan hubungan Rusia dengan Barat.
Selama berpuluh tahun, Putin mempraktikkan ekspansi politik Rusia di wilayah terdekat—negara-negara merdeka yang muncul setelah Uni Soviet runtuh dan masih dianggap Rusia sebagai wilayah alaminya, seperti terjadi dalam konflik Georgia (2008).
Putin mampu memanfaatkan kurang lekatnya negara-negara Barat dalam urusan politik luar negeri dan mengubah kelemahan tersebut menjadi keuntungannya.
Intervensi Rusia di Suriah, dengan mendukung pasukan pro Bashar al-Assad, menyimpan keuntungan berlipat baginya. Di satu sisi, aksinya memastikan tiada negara yang punya kendali penuh terhadap wilayah vital di Timur Tengah. Di sisi lain, dia punya peluang menguji persenjataan baru dan taktik militer.
Hal ini memberikan pesan kuat kepada sekutu-sekutu lama Rusia (selain dinasti Assad) dan negara yang wilayahnya dekat dengan Rusia, bahwa Rusia tidak pernah meninggalkan teman lama.
Selama masa kekuasaannya, Putin telah sukses membangkitkan pemikiran lama ‘Kolektor Tanah-Tanah Rusia’, sebuah konsep feodal yang membenarkan kebijakan ekspansi Rusia.
Dalam konteks ini, mudah dipahami mengapa Krimea dan negara-negara yang wilayahnya dekat dengan Rusia, begitu bermakna bagi Putin.
Beberapa pengamat Rusia, seperti Arkady Ostrovsky, menilai cara-cara Putin bisa berujung pada penciptaan Tsar modern: seorang pemimpin unik Rusia yang berada di atas partai-partai politik.
Hal ini klop dengan keputusan Putin yang memilih menjadi kandidat independen dalam pemilu terakhir. Hingga sekarang, posisi Vladimir Putin di Rusia tampaknya tetap sangat kuat. [RED]