Setelah mengangkat seorang putri menjadi ratu, ketertiban dan kebijakan kerajaan benar-benar dijalankan dengan keras.
Termasuk jika sebuah barang tertinggal di jalanan, ia akan tetap di sana tanpa pernah ada orang yang berniat mengambilnya.
Hingga ketika kisah itu mampir ke telinga seorang raja, ia penasaran dan ingin mengujinya. Sepundi emas sengaja dibuangnya di jalananan.
Hari demi hari berlalu, pundi penuh berisi emas itu tetap tergeletak di jalanan. Jangankan berpindah tempat, bahkan pundi itu bergeming dari posisinyapun tidak. Orang yang lalu lalang memilih menjauhi pundi itu.
Bukan karena emas tak bernilai, namun mereka terlalu jujur dan bebas dari watak melik barang yang bukan miliknya.
Hingga tahun ketiga lewat tanpa sengaja kaki sang putra mahkota mengusik pundi itu. Ratu yang dilapori sangat murka dan langsung memerintahkan kepala putra mahkota itu dipancung. Ia menganggap tindakan putranya itu tak ubahnya sebuah pencurian.
Iba dengan nasib sang pangeran beberapa menteri lantas mengajukan pembelaan. Selain memohon ampun, kepada Ratu mereka meminta hukuman mati itu dibatalkan.
“Karena perbuatan memalukan itu berasal dari kakinya, maka potonglah kakinya,” titah Sri Ratu pada para menteri yang membela putra mahkota.
Ketika, para menteri kembali datang untuk memohon ampunan Sri Ratu akhirnya melunak dan hukuman diperingan menjadi ‘hanya’ potong jari kaki. Dan vonis itu sudah final karena potong jari kaki dijalankan sebagai menjadi peringatan khalayak ramai.
Siapa ibu yang tega membuat anaknya menderita untuk menegakkan nilai-nilai kejujuran itu?
Berita Cina
Meski tak disebutkan dari mana sumber informasinya, catatan dalam Xin Tang Shu atau Kepustakaan Dinasti Tang Baru menyebut Sang Ratu yang tegas itu sebagai Xi Mo dari kerajaan He Ling atau Ho Ling. Dalam literature Nusantara, ia dikenal sebagai Ratu Shima penguasa tunggal dari Kerajaan Kalingga.
Jika kisah tentang kejujuran itu masih menjadi perdebatan, para ahli sepakat Kalingga merupakan kerajaan Hindu-Budha tertua di Jawa Tengah setelah Tarumanegara di Jawa Barat dan Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur.
Meski hanya sedikit temuan arkeologis yang mengkomfirmasi cerita tentang Kalingga, namun kisahnya gampang ditemukan dalam sumber-sumber yang berasal dari kronik Cina dan manuskrip lokal serta tradisi lisan setempat. Berita dari Cina seperti yang tertulis dalam Xin Tang Shu umumnya merujuk era Dinasti Tang dan catatan-catatan perjalanan I-Tsing.
Xin Tang Shu juga mencatat hubungan Kalingga dengan Cina sudah berlangsung jauh sebelum penobatan Ratu Shima. Pada rentang tahun 627-650 utusan Kalingga berkali-kali sampai di Cina.
Bahkan dalam catatan itu disebut Kaisar Tai Zong memerintahkan agar para utusan itu diberi perlakuan yang tinggi. Hubungan itu bahkan terus berlanjut hingga abad-abad berikutnya termasuk perdagangan. Dari Kalingga, dijual kulit, penyu, emas, perak, cula badak, dan gading serta garam.
Sementara itu, dalam Jiu Tang Shu atau Kepustakaan Dinasti Tang Lama juga secara rinci menyebut ibu kota kerajaan yang dikelilingi banteng dengan tonggak kayu, rumahnya warga dan raja yang bersemayam di tengah dengan peraduan terbuat dari gading.
Disebut juga orang-orang Kalingga makan hanya menggunakan tangan tanpa sendok atau sumpit, memiliki aksara sendiri, paham ilmu falak dan biasa minum arak yang terbuat dari bunga pohon kelapa yang rata-rata setinggi tiga ela yang disadap niranya. Arak itu memiliki rasa yang manis dan bisa sangat memabukkan.
Jiu Tang Shu juga merujuk lokasi Kalingga di tengah Laut Selatan bersepadan dengan Po Li atau Bali di timur, Duo Po Deng di barat dan Zhen La atau Khmer di utara. Meski tak merujuk lokasi tepat ibu kota Kerajaan Kalingga, diperkirakan ibu kota terletak di suatu tempat antara Pekalongan hingga Jepara.
Sebuah tempat bernama Keling ditemukan di pantai utara Kabupaten Jepara sementara beberapa temuan arkeologi dekat Pekalongan dan Batang menunjukkan bahwa Pekalongan merupakan pelabuhan kuno. Beberapa ahli memperkirakan bahwa Pekalongan mungkin merupakan nama yang diubah dari Pe-Kaling-an.
Lokasi itu dibenarkan NJ Kroom yang menyebut bahwa letak Kerajaan Kalingga memang berlokasi di pesisir Jawa Tengah bagian utara.
Xin Tang Shu juga menuliskan tentang sebuah bukit Lang Pi Ya yang sering digunakan raja-raja di Kalingga untuk melihat laut. Disebut juga oleh penulis Xin Tang Shu apabila pada pertengahan musim panas orang mendirikan gnomon setinggi 8 kaki, bayangannya bakal jatuh di sebelah selatannya dengan panjang dua kaki empat inci.
Dengan panjang bayangan itu penulis Xin Tang Shu menghitung letak Kalingga berada di antara 6˚ 8’ Lintang Utara yang menegasikan keberadaan Kalingga di Jawa. Namun, ada dua kekeliruan mendasar yang dibuat dalam perhitungan itu. Pertama, penghitungan seharusnya dilakukan pada pertengahan musin dingin. Kedua, dengan perhitungan itu bayangan bakal jatuh di sebelah utara.
Jika koreksi ini bisa diterima, maka letak Kalingga ada di pada 6 ˚ 8’ Lintang Selatan, tepat di pantai utara Jawa. Lagipula, koreksi tersebut itu sesuai dengan penunjukan lokasi Lang Pi Ya yang terletak di Desa Krapyak dekat Gunung Lasem.
Pembenaran itu diperkuat catatan perjalanan pendeta Budha, I-Tsing. Dalam catatan itu ia menyebut pada tahun 664 M datang pendeta bernama Hwi-Ning di Kalingga bersama pembantunya Yun-Ki. Ia datang dan tinggal selama 3 tahun dan dibantu pendeta Kalingga bernama Jnanabhadra menerjemahkan Kitab Nirwana bagian akhir.
Kitab itu menceritakan pembakaran jenazah sang Budha dengan sisa tulang yang tak habis terbakar dan dikumpulkan menjadi relik suci.
Terjemahan itulah yang kemudian dibawa pulang I-Tsing ke Cina sekaligus menegaskan bahwa Budha yang dianut di Kalingga bukan dari Mahayana, namun Hinayana dari aliran Mulasaratiwasa.[TGU]
*Tulisan ini pernah dimuat pada Maret 2018