Meski hanya sedikit temuan arkeologis yang mengkomfirmasi cerita tentang Kalingga, namun kisahnya gampang ditemukan dalam sumber-sumber yang berasal dari kronik Cina dan manuskrip lokal serta tradisi lisan setempat. Berita dari Cina seperti yang tertulis dalam Xin Tang Shu umumnya merujuk era Dinasti Tang dan catatan-catatan perjalanan I-Tsing.

Xin Tang Shu juga mencatat hubungan Kalingga dengan Cina sudah berlangsung jauh sebelum penobatan Ratu Shima. Pada rentang tahun 627-650  utusan Kalingga berkali-kali sampai di Cina.

Bahkan dalam catatan itu disebut Kaisar Tai Zong memerintahkan agar para utusan itu diberi perlakuan yang tinggi. Hubungan itu bahkan terus berlanjut hingga abad-abad berikutnya termasuk perdagangan. Dari Kalingga, dijual kulit, penyu, emas, perak, cula badak, dan gading serta garam.

Sementara itu, dalam Jiu Tang Shu atau Kepustakaan Dinasti Tang Lama juga secara rinci menyebut ibu kota kerajaan yang dikelilingi banteng dengan tonggak kayu, rumahnya warga dan raja yang bersemayam di tengah dengan peraduan terbuat dari gading.

Disebut juga orang-orang Kalingga makan hanya menggunakan tangan tanpa sendok atau sumpit, memiliki aksara sendiri, paham ilmu falak dan biasa minum arak yang terbuat dari bunga pohon kelapa yang rata-rata setinggi tiga ela yang disadap niranya. Arak itu memiliki rasa yang manis dan bisa sangat memabukkan.

Jiu Tang Shu juga merujuk lokasi Kalingga di tengah Laut Selatan bersepadan dengan Po Li atau Bali di timur, Duo Po Deng di barat dan Zhen La atau Khmer di utara. Meski tak merujuk lokasi tepat ibu kota Kerajaan Kalingga, diperkirakan ibu kota terletak di suatu tempat antara Pekalongan hingga Jepara.

Sebuah tempat bernama Keling ditemukan di pantai utara Kabupaten Jepara sementara beberapa temuan arkeologi dekat Pekalongan dan Batang menunjukkan bahwa Pekalongan merupakan pelabuhan kuno. Beberapa ahli memperkirakan bahwa Pekalongan mungkin merupakan nama yang diubah dari Pe-Kaling-an.

Lokasi itu dibenarkan NJ Kroom yang menyebut bahwa letak Kerajaan Kalingga memang berlokasi di pesisir Jawa Tengah bagian utara.

Xin Tang Shu juga menuliskan tentang sebuah bukit Lang Pi Ya yang sering digunakan raja-raja di Kalingga untuk melihat laut. Disebut juga oleh penulis Xin Tang Shu apabila pada pertengahan musim panas orang mendirikan gnomon setinggi 8 kaki, bayangannya bakal jatuh di sebelah selatannya dengan panjang dua kaki empat inci.

Dengan panjang bayangan itu penulis Xin Tang Shu menghitung letak Kalingga berada di antara 6˚ 8’ Lintang Utara yang menegasikan keberadaan Kalingga di Jawa. Namun, ada dua kekeliruan mendasar yang dibuat dalam perhitungan itu. Pertama, penghitungan seharusnya dilakukan pada pertengahan musin dingin. Kedua, dengan perhitungan itu bayangan bakal jatuh di sebelah utara.

Jika koreksi ini bisa diterima, maka letak Kalingga ada di pada 6 ˚ 8’ Lintang Selatan, tepat di pantai utara Jawa. Lagipula, koreksi tersebut itu sesuai dengan penunjukan lokasi Lang Pi Ya yang terletak di Desa Krapyak dekat Gunung Lasem.

Pembenaran itu diperkuat catatan perjalanan pendeta Budha, I-Tsing. Dalam catatan itu ia menyebut pada tahun 664 M datang pendeta bernama Hwi-Ning di Kalingga bersama pembantunya Yun-Ki. Ia datang dan tinggal selama 3 tahun dan dibantu pendeta Kalingga bernama Jnanabhadra menerjemahkan Kitab Nirwana bagian akhir.

Kitab itu menceritakan pembakaran jenazah sang Budha dengan sisa tulang yang tak habis terbakar dan dikumpulkan menjadi relik suci.

Terjemahan itulah yang kemudian dibawa pulang I-Tsing ke Cina sekaligus menegaskan bahwa Budha yang dianut di Kalingga bukan dari Mahayana, namun Hinayana dari aliran Mulasaratiwasa.[TGU]

*Tulisan ini pernah dimuat pada Maret 2018