Catatan Cak AT:
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, lembaga yang diamanahkan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, tampaknya semakin kreatif dalam menafsirkan makna “perjuangan.” Kali ini, perjuangan itu mengambil bentuk rapat maraton di Hotel Fairmont, sebuah hotel bintang lima di Jakarta.
Tentu saja, ini bukan sekadar rapat biasa. Ini rapat pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang menurut berbagai pihak mengandung aroma kuat kembalinya dwifungsi ABRI. Sesuatu yang pernah dikubur di era reformasi, tapi kini seperti zombi yang enggan beristirahat tenang.
Namun, mari kesampingkan dulu substansi RUU itu, karena ada pertanyaan yang lebih mendesak: Mengapa rapat ini harus dilakukan di hotel mewah, yang kamar termurahnya saja berharga Rp 2,6 juta per malam —jumlah yang bagi sebagian rakyat cukup untuk bertahan hidup sebulan? Dilakukan dengan tertutup rapat-rapat pula.
Ada apa pembahasan sebuah rancangan peraturan sangat penting disembunyikan? Apakah Gedung DPR kini dianggap terlalu proletar? Ataukah udara Senayan tak lagi cukup “steril” untuk mengakomodasi diskusi yang begitu “urgent” ini? Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto, dengan enteng menjawab bahwa rapat di hotel adalah tradisi.
Tradisi, saudara-saudara! Seperti halnya tradisi mudik, bakar petasan saat Lebaran, atau tradisi lama DPR dalam membuat kebijakan yang lebih sering menguntungkan elite dibanding rakyat. Ia bahkan menyebut bahwa pembahasan UU Kejaksaan dan UU Pelindungan Data Pribadi juga dilakukan di hotel-hotel mewah —seolah-olah ini prestasi yang patut dicatat dalam sejarah parlemen Indonesia.
Sekretaris Jenderal DPR RI, Indra Iskandar, memberikan justifikasi tambahan: rapat ini bersifat maraton dan memerlukan tempat istirahat yang memadai. Bayangkan betapa lelahnya para wakil rakyat itu harus duduk berjam-jam, berpikir keras, menyusun pasal-pasal yang akan menentukan masa depan bangsa.
Dalam logika Sekjen, jelas mereka memerlukan tempat yang nyaman —tempat di mana mereka bisa bersandar di sofa empuk, menikmati hidangan berkualitas, dan mungkin merenungi nasib rakyat dari ketinggian lantai atas hotel. Ataukah ini bentuk sogokan tak langsung terhadap mereka?
Bagi rakyat, alasan Sekjen tadi tentu sulit diterima. Sejumlah aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan pun nekat merangsek masuk ke ruang rapat, mempertanyakan alasan pertemuan ini dilakukan secara tertutup di hotel mewah.
Sayangnya, intervensi mereka hanya berlangsung sekejap sebelum petugas keamanan dengan cekatan menarik mereka keluar. Bahkan ada yang terjatuh dalam prosesnya. Rupanya, efisiensi juga diterapkan dalam cara mengusir mereka yang dianggap mengganggu jalannya demokrasi versi elite.
Yang lebih menarik adalah konteks ekonomi di balik semua ini. Presiden Prabowo Subianto, dalam semangat hematnya, tengah gencar menerapkan kebijakan efisiensi anggaran. Pemotongan dana bahkan menyentuh sektor-sektor vital seperti pendidikan dan kesehatan.
Namun entah mengapa, ketika DPR memutuskan untuk menggelar rapat di hotel bintang lima, semangat efisiensi itu mendadak menguap seperti embun pagi di atas bubur ayam pinggir jalan. Seolah-olah itu adalah pengeluaran yang sah-sah saja —bahkan direstui oleh pemimpin kita yang, kita tahu, adalah pihak yang mengusulkan atau menyetujui perubahan RUU TNI tersebut.
Mari kita bermain angka sebentar. Dengan asumsi 18 anggota Komisi I DPR dan 16 anggota Panja pemerintah masing-masing menginap di kamar seharga Rp 2,6 juta per malam, maka dalam dua malam saja sudah menghabiskan sekitar Rp 176 juta.
Dan itu baru biaya kamar! Belum termasuk biaya konsumsi, sewa ruang rapat, serta berbagai biaya lain yang tentu tidak murah. Semua itu untuk membahas sebuah revisi undang-undang yang dipertanyakan banyak pihak.
Tentu, ada yang berusaha membenarkan keputusan ini dengan dalih aturan Tatib DPR Pasal 254, yang memungkinkan rapat dilakukan di luar gedung parlemen dengan izin pimpinan DPR. Tapi jika aturan itu malah membuka celah pemborosan di tengah kebijakan penghematan, bukankah itu sama saja seperti seseorang yang mengaku sedang diet ketat tetapi tetap menyantap nasi dengan gulai otak?
Pada akhirnya, masyarakat hanya bisa menyaksikan ini dengan perasaan campur aduk antara marah, kecewa, dan lelah. Mereka yang berdemo ke hotel bukan sekadar kelompok aktivis iseng yang butuh tontonan. Mereka mewakili keresahan rakyat yang bosan melihat uang pajak mereka —yang dipungut dengan berbagai dalih— dipakai untuk sesuatu yang sulit dicerna logikanya.
DPR mungkin lupa bahwa di luar hotel-hotel mewah itu, masih banyak rakyat yang harus berjuang mati-matian demi sesuap nasi. Tapi siapa tahu? Mungkin dalam revisi UU TNI ini akan ada pasal baru yang mengatur bahwa rakyat pun wajib belajar menerima kenyataan: bahwa demokrasi ternyata bisa berlangsung lebih nyaman jika didiskusikan di hotel berbintang lima.
Rapat tertutup, anggaran besar, lokasi mewah, dan dugaan kemunduran demokrasi. Ini bukan sekadar berita —inilah cerminan kondisi politik Indonesia hari ini. Tapi satu hal yang mungkin luput dari perhitungan para elite: rakyat semakin paham, semakin cerdas, dan semakin sulit dibungkam.
Demokrasi bukan sekadar soal bilik suara lima tahun sekali, melainkan hak untuk tahu, berpendapat, dan mengawasi mereka yang diberi mandat.
Jika para wakil rakyat terus merapatkan barisan di hotel-hotel mewah dan menjauh dari suara rakyat, jangan salahkan jika suatu hari rakyat berhenti percaya —bukan hanya pada mereka, tapi juga pada sistem yang mereka wakili. Dan saat itu terjadi, tak ada hotel bintang lima yang cukup mewah untuk menyelamatkan demokrasi yang telah kehilangan kepercayaan rakyatnya.
Cak AT – Ahmadie Thaha | Kolumnis