Koran Sulindo – Paro abad ke-19 empat kerajaan Jawa yang meski mandul secara politik dan militer terus saja berebut klaim sebagai pewaris budaya Jawa sekaligus kejayaan Mataram di masa silam.
Keempat kerajaan itu, dua di Surakarta yakni kasunanan dan mangkunegaran sementara kasultanan dan pakualaman berada di Yogyakarta.
Pada saat yang sama sejalan dengan ide Johannes Van den Bosch yang memperkenalkan tanam paksa, modal dengan gencar mengalir ke pedesaan-pedesaan Jawa. Dengan komoditas perkebunan laku keras di pasar Eropa, agar keuntungan maksimal tentu saja produksi harus digenjot.
Ide van den Bosch itu bagaimanapun mengubah wajah Jawa menjadi berbeda dalam arti yang sebenar-benarnya.
Tanam paksa dengan segala konsekuensinya mengharuskan pegawai Belanda bekerja lebih dekat dengan para pegawai bumiputera. Ini membutuhkan banyak ahli tentang Jawa berbangsa Belanda yang bisa berbicara Bahasa Jawa sekaligus memahami berbagai hal tentang Jawa.
Latar belakang inilah yang mengilhami dibentuknya Instituut voor het Javansche Taal di Surakarta. Belakangan lembaga inilah merupakan tempat dimana ahli-ahli Jawa kebangsaan Belanda mempelajari bahasa Jawa sekaligus melakukan kunjungan-kunjungan ke Dieng, Borobudur dan Prambanan untuk mengetahui tradisi Jawa kuno.
Tahun 1840 lembaga ini berganti rupa menjadi Royal Academy yang didirikan di Deft dan selanjutnya pindah ke Leiden dan langsung berhubungan dengan Universitas Leiden.
Orang yang paling berjasa untuk ini adalah Taco Rooda sang pendiri Javanolog Belanda di Universitas Leiden. Bisa dibilang, demi kepentingan kolonial budaya Jawa takluk oleh para javanolog-javanolog yang memiliki dua keunggulan utama. Metode dan modal.
Dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa 1912–1926, Takashi Siraishi menyebut minat besar javanologi Belanda terhadap bahasa Jawa kuno dan didukung dana, metode dan lembaga yang kuat pada akhirnya mengungkap dangkalnya pemahaman orang Jawa terpelajar tentang tradisi kuno mereka sendiri.
Javanolog-javanolog itu berhasil menemukan, mengembalikan serta kemudian ‘membentuk’ sekaligus memberikan makna terhadap masa lalu Jawa.
Di sini menurut Takashi letak menariknya peran R Ng Ranggawarsita, sang pujangga istana Kasunanan Surakarta. Terjepit dan dimusuhi rajanya yang menjadi abdi Kompeni, Ranggawarsita dianggap lebihmemilih tenggelam dalam karya-karyanya.
Wajar kemudian bila syair Ranggawarsita bernada getir dan marah yang disimpannya diam-diam. Kemarahan itu mendapat tempat ketika Jawa mengalami kekacau-balauan sehingga karyanya seolah menjadi masterpiece dari sastra Jawa.
Kedudukan Ranggawarsita sebagai pujangga istana menjadi sedemikian rupa, dunia syairnya diliputi kebisuan dan kengerian, di mana keraton, naskah, masa lalu dan zaman dilukiskan begitu lengang dan kosong bagai naskah-naskah yang tidak bernyawa dan monument masa lalu yang abadi namun terbuang.
Ramalan? Tentu bukan, Ranggawarsita semata-mata hanya memotret zaman. Jawa di mana ia dianggapnya secara teritori dan budaya takluk setakluk-takluknya pada modal. Meski pada masa awal javanolog bekerja, pemahamannya Ranggawarsita memberikan andil sekaligus menempatkan dirinya menjadi rujukan javanolog. Namun benarkah Ranggawarsita memang mempunyai kemampuan mendalami kejawaan?
Mengutip dari sebuah wawancara dengan Tim Behrend, seorang ahli tentang Jawa yang meraih gelar master di University of Winconsin AS dengan tesis, “Kraton and Cosmos in Traditional Java.”
Penyebutan Ranggawarsita sebagai pujangga Jawa terakhir sangat menarik. Katanya, ketika orang Jawa membicarakan Ranggawarsita , mereka melukiskannya bagaikan tokoh dunia impian yang bebas cacat.
Menurut Tim ini absurd mengingat, sampai saat ini belum pernah ada wacana kritis terhadap kesusasteraan Jawa abad XVII sampai XIX. Menurut Tim, kalau karya-karya Ranggawarsita dinyatakan mencapai posisi terbesar atau terindah lalu apa ukurannya?
“Masyarakat Jawa memang suka berandai-andai. Satrio piningit, zaman edan, pujangga penutup, dan ini-itu ramalan serta perhitungan macam-macam, tak semuanya punya dasar ilmiah,” kata Tim Behrend. “Siapa memastikan karyanya lebih bagus dari karya Yosodipuro I, Sindusatro, atau Paku Buwono IV, pujangga yang juga datang dari Kraton Surakarta?”
“Ranggawarsita seolah dijadikan lambang puncak keluhuran ala Jawa, tanpa pernah ada upaya untuk mengembangkan pengkajian kritik ilmiah terhadap isi, narasi, bahasa, berikut semua aspek lain dari karya tulisnya.”
Menurut Tim, Pujian kepada Ranggawarsita lebih banyak datang dari masyarakat awam. Yakni, mereka yang belum pernah membaca karya asli Ranggawarsita atau belum sempat membandingkannya dengan puisi Jawa lainnya. Baik yang sezaman dengan Ranggawarsita maupun satu atau dua abad sebelumnya.
Ranggawarsita bagaimanapun melegitimasi kekuasaannya melalui kemampuan bahasa karena jabatannya sebagai pujangga istana. Namun ia tak terpakai lagi karena urusan legitimasi budaya Jawa sudah diserahkan kepada Belanda.
Dengan demikian patronnya bukan lagi istana melainkan para javanolog Belanda dan komunitas Indo-Jawa-Tionghoa yang mengembangkan sastra Jawa modern. Meski bekerja sebagai informan bagi javanolog Belanda namun belakangan kemampuannya makin diragukan.
Menurut Takashi, pada tahun1860, Cohen Stuart mencemooh ketidaktahuan Ranggawarsita tentang bahasa Jawa Kuno. Pada akhir abad XIX pengakuannya sebagai orang yang berwenang terhadap tradisi Jawa kuno dianggap tidak lagi benar oleh para javanolog.
Keraguan terhadap Ranggawarsita bukan hanya diungkapkan Cohen. Hal ironis justru terjadi ketika C. J. van der Vlis melakukan banyak kesalahan menafsirkan prasasti di Candi Sukuh. Ini terjadi karena dia terlalu percaya pada terjemahan versi Ranggawarsita .
Dari arsip-arsip Hindia diketahui pada saat ditemukan oleh Residen Surakarta tahun 1815, kondisi candi Sukuh sangat menyedihkan. Bangunannya nyaris runtuh dan memerlukan restorasi total. Belakangan tafsir Ranggawarsita atas prasasti-prasasti di Candi Sukuh yang diberikan kepada Van der Vlis menuai gugatan ilmiah. [TGU]