Koran Sulindo – “Banyak yang cinta damai, tapi perang makin ramai….” Demikian petikan lagu “Perdamaian” yang pernah dipopulerkan kelompok kasidah modern Nasida Ria dan 22 tahun kemudian dibawakan lagi oleh kelompok musik Gigi.
Lagu tersebut pertama kali populer pada awal tahun 1980-an. Artinya, sudah lebih dari 30 tahun. Namun, isi liriknya ternyata masih aktual sampai hari ini. Karena, perang masih saja ramai saja di berbagai belahan dunia.
Pada 13 April 2017 lalu, misalnya, militer Amerika Serikat menjatuhkan bom non-nuklir terkuatnya ke Afganistan. Katanya, targetnya adalah markas kelompok Negara Islam Irak-Suriah (ISIS). Menurut pejabat Amerika Serikat, seperti dikutip banyak media, jenis senjata itu baru pertama kalinya digunakan dalam pertempuran negara. Bom itu sendiri dijuluki sebagai mother of all bombs, yang memiliki panjang hampir 10 meter dan berat hampir 10 ton, dengan mesiu yang dipandu teknologi the global positioning system. Dan, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan, peluncuran bom GBU-43/B Massive Ordnance Air Blast Bomb itu dengan menggunakan pesawat tempur MC-130 sukses.
Pada hari itu juga, koalisi yang dipimpin Amerika Serikat menyerang gudang yang mereka katakan milik ISIS di Deir ez-Zor, Suriah, yang menurut mereka berisi senjata kimia. “Jet koalisi yang dipimpin Amerika Serikat melancarkan serangan pada pukul 17.30 terhadap gudang Daesh yang terdapat banyak militan asing di sana. Pertama, awan putih dan kemudian kuning muncul di lokasi serangan, yang menunjukan kehadiran sejumlah besar zat beracun. Api berkobar hingga pukul 22.30,” kata pihak Kementerian Pertahanan Suriah. Serangan tersebut, lanjutnya, turut menewaskan ratusan orang, termasuk warga sipil, yang terpapar racun yang keluar dari gudang yang dibom tersebut.
Sebelumnya, pada 10 April 2017, media-media Barat menuding Jenderal Mohammed Hasouri, pilot pesawat jet tempur Suriah, sebagai sosok yang menjatuhkan bom kimia di Khan Sheikhoun, Idlib. Tudingan itu berdasarkan foto Hasouri yang sedang menerima ucapan selamat dari para pejabat rezim Suriah yang diunggah ke Twitter.
Perang juga masih berkecamuk di bagian Timur Tengah lain, seperti di Palestina dan Yaman. Sementara itu, di Asia Timur, Korea Utara sedang bersiap-siapberperang dengan Amerika Serikat. Pihak Jepang kemudian mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mendukung sekutunya, Amerika Serikat.
Di Laut Cina Selatan, ketegangan antara Tiongkok dan beberapa negara juga belum mereda. Bahkan, hubungan Tiongkok dan Filipina yang sempat membaik kembali menegang belakangan ini.
Sulit untuk disangkal, perang yang sedang terjadi dan akan terjadi lebih banyak didorong oleh motif ekonomi, ghanimah. Itu juga sebenarnya motif penjajahan gaya lama, selain untuk merasa digdaya dan menyebarkan agama.
Bung Karno sendiri sudah sejak lama mewanti-wanti masalah tersebut. Pledoinya yang dibacakan di hadapan pengadilan kolonial Belanda di Bandung pada tahun 1930, yang sangat terkenal itu, “Indonesia Menggugat”, pada hakikatnya bukanlah pembelaan pribadi Bung Karno agar tak dipenjara. Pleidoi itu lebih berisi gugatan atas praktik kolonialisme dan imperialisme yang engah berlangsung dan akan terus berlangsung.
Setelah usai Perang Dunia II dan Indonesia merdeka, Bung Karno juga menyerukan rakyat Indonesia agar tetap waspada terhadap kolonialisme dan imperialisme gaya baru (neo kolonialisme dan imperialisme, nekolim). Bahkan, menjelang akhir kekuasaannya, 27 Oktober 1965, Bung Karno kembali menyerukan bahaya nekolim.
“Menteri-menteri, dan kepada semua Panca Tunggal, saya ulangi padamu: Pemimpin-pemimpin partai, verlies je kop niet, verlies je kluts niet, tetaplah jaga keselamatan negara dan keselamatan revolusi! Segala usaha daripada nekolim dan CIA harus kita awasi, Saudara-Saudara, sebab nekolim dan CIA is daarom nekolim en CIA. Artinya, kalau mereka tidak berusaha untuk menghancurkan kita, merugikan kita, memecahkan kita, bukan nekolim, bukan CIA. Awas, Saudara-Saudara, awas, jangan kitapun ditunggangi oleh nekolim atau CIA ini,” demikian antara lain diucapkan Bung Karno di hadapan wakil-wakil partai politik di Istana, Jakarta, ketika itu.[]