Ramai-Ramai Menolak Beras Impor

Beras impor dari Vietnam tahun 2015.

Koran Sulindo – Kementerian Perdagangan akan mengimpor 500 ribu ton beras dari Thailand dan Vietnam pada akhir Januari 2018 ini. “Saya tidak mau mengambil risiko kekurangan pasokan. Saya mengimpor beras khusus,” tutur Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dalam konferensi pers di Auditorium Kementerian Perdagangan, Kamis lalu (11/1).

Namun, program kementerian tersebut banyak ditentang berbagai pihak, termasuk dari petani dan pemerintah daerah. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten, misalnya, telah menyatakan menolak masuknya beras impor karena para petani di sana sekarang ini sedang melakukan panen padi. “Perkiraan produksi Januari hingga Maret 2018 sebesar 512.388 ton beras, melebihi kebutuhan konsumsi penduduk Banten selama Januari-Maret sebesar 324.000 ton beras,” ungkap Kepala Dinas Pertanian Provinsi Banten Agus M. Tauchid di Serang, Jumat (12/1), seperti dikutip Antara.

Jadi, ada kelebihan produksi sebesar 188.388 ton beras pada perkiraan musim panen Januari-Maret 2018. Tambahan pula, stok beras di Bulog Banten ada 6.295 ton atau cukup untuk ketahanan stok selama 2 ½ bulan ke depan. “Jadi sebenarnya impor beras tidak diperlukan dan kita harus menyelamatkan gabah hasil panen petani,” tutur Agus.

Begitu juga di Sulawesi Selatan. Divisi Regional (Kadivre) Badan Urusan Logistik ( Bulog) Sulawesi Selatan (Sulsel) menolak beras impor. Kepala Divre Bulog Sulsel Dindin Syamsuddin mengatakan, stok beras di Sulsel mencapai 82.000 ton, yang mampu memenuhi kebutuhan hingga 20 bulan ke depan. Bahkan, lanjuta, Sulsel siap menyuplai beras ke Aceh sampai Papua. “Stok beras di Sulsel aman hingga 20 bulan ke depan. Kami sudah suplai ke provinsi lain di Indonesia. Besok kami kirimkan lagi beras ke Aceh dengan harga di bawah harga eceran tertinggi,” tutur Dindin saat melepas mobil truk pengangkut beras untuk operasi pasar di gudang Bulog Panaikang, Jumat.

Saat ini, ungkap Dindin lagi, harga eceran tertinggi atau HET beras sebesar Rp 9.450 per kilogram. Namun, Bulog Sulsel menjual dengan harga Rp 9.000 pe rkilogram untuk menormalkan harga beras premium di pasaran. “Sudah harga murah, kualitas beras Sulsel jauh lebih bagus daripada beras impor. Beras Sulsel itu bijinya utuh dan putih. Kualitas beras Sulsel disukai banyak orang,” kata Dindin.

Pihak DPRD Jawa Timur pun telah menyatakan penolakannya atas masuknya beras impor ke Indonesia. Karena, stok beras di sana sangat berlebihan sehingga tak membutuhkan beras impor. “Jawa Timur ini gudangnya beras. Kok saya dengar pemerintah akan impor beras 500 ribu ton yang akan didistribusikan ke beberapa daerah di Indonesia. Khawatirnya akan masuk ke Jawa Timur. Kami meminta Pemerintah Provinsi Jawa Timur segera menyurati pemerintah pusat untuk menolak beras impor tersebut,” tutur anggota Komisi B DPRD Jawa Timur Mohammad Alimin, Jumat.

Penolakan juga datang dari Serikat Tani Nasional (STN). Menurut Ketua Umum STN Ahmad Rifai, langkah yang diambil Menteri Enggar tidak wajar. Sebab, pada Februari 2018 mendatang akan masuk masa panen raya. “Ini tidak wajar. Akhir bulan ini dan bulan depan adalah masa-masa puncak panen raya padi di hampir seluruh daerah,” tutur Rifai dalam keterangan tertulis, Jumat.

Kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah sekarang, lanjutnya, akan merugikan petani. “Impor beras itu akan menekan harga gabah petani. Sebentar lagi masa panen, petani yang rugi,” katanya. Keputusan Menteri Perdagangan Enggartiasto untuk mengimpor beras, kata Rifai lagi, tidak berdasar dan tidak sesuai dengan kondisi obyektif di lapangan.

Ia menuding tidak ada koordinasi yang baik antarlembaga/kementerian yang menangani persoalan pangan. “Antarlembaga negara tidak ada koordinasi dengan baik tentang data-data ketersediaan beras, Mentan, Mendag, dan Bulog,” ujarnya. Ia pun mencurigai ada indikasi permainan kartel pangan yang sengaja mencari untung dengan memainkan harga beras di pasaran.

Dalam pandangannya, ihwal harga beras yang tinggi merupakan dampak dari liberalisasi pangan yang diterapkan pemerintah. Harga pangan seharusnya dikendalikan negara, dalam hal ini pemerintah. “Ini konsekuensi liberalisasi pangan yang dilakukan pemerintah hari ini. Harga pangan diserahkan kepada mekanisme pasar. Seharusnya, pemerintah yang mengendalikan harga beras. Tata niaga pangan harus diserahkan kepada Bulog,” tutur Rifai. [RAF]