Ilustrasi/setkab.go.id

Koran Sulindo –Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan sampai saat ini terdapat total sekitar Rp250 miliar dikembalikan, dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-E).

“Dari jumlah itu ada 14 orang yang kooperatif dengan mengembalikan uang sejumlah total Rp30 miliar,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Jumat (10/2).

KPK mengatakan mengantongi bukti kuat adanya aliran dana hasil korupsi proyek pengadaan e-KTP kepada sejumlah anggota DPR periode 2009-2014. KPK berjanji data-data mengenai aliran dana ini akan dibeberkan di persidangan.

Sebagian dari yang sudah mengembalikan uang itu adalah anggota DPR yang menjabat pada saat pengadaan proyek itu pada 2011-2012. Sedangkan sisa terbesar dari pengembalian korporasi.

“Ada juga pengembalian uang dari 5 korporasi dan 1 konsorsium senilai Rp220 miliar,” katanya.

Menurut Febri, penyerahan uang tersebut dilakukan setelah beberapa saksi diperiksa melalui rekening KPK yang dikhususkan untuk penyidikan.

Beberapa yang telah dipanggil KPK misalnya Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo. Perusahaan tersebut menjadi salah satu perusahaan dalam konsorsium pelaksana proyek KTP elektronik yang nilainya mencapai Rp 6,7 triliun itu.

Himbauan KPK

Sebelumnya Ketua KPK Agus Rahardjo menghimbau anggota DPR yang menerima aliran dana pengadaan e-KTP) segera menyerahkannya kepada KPK.

“Memang kami imbau, bahkan di dalam pemeriksaan juga kita tanya apa bersedia jadi justice collaborator supaya masalah lebih terang benderang,” kata Agus, Kamis (9/2).

Meski tidak menghapus tindak pidana, penyerahan uang dalam setiap proses hukum akan menjadi pertimbangan yang meringankan.

Selama mengusut kasus ini sejak 2014, KPK telah memeriksa sekitar 280 saksi yang berasal dari unsur DPR, Kementerian Dalam Negeri, swasta, dan unsur lainnya. Dari unsur DPR, KPK telah memanggil sekitar 23 anggota DPR periode 2009-2014 yang terdiri dari anggota dan pimpinan Komisi II, anggota dan pimpinan Badan Anggaran (Banggar), hingga para Ketua Fraksi di DPR.

Namun, dari jumlah tersebut, terdapat delapan anggota DPR yang tak memenuhi panggilan penyidik dengan atau tanpa alasan. Salah satunya Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly yang dua kali tak memenuhi panggilan untuk diperiksa pada Jumat (3/2) dan Rabu (8/2). Saat proyek e-KTP bergulir, Yasonna merupakan anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP.

Latar Belakang

Perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian negara akibat kasus korupsi KTP-E itu adalah Rp2,3 triliun dari total nilai anggaran sebesar Rp5,9 triliun.

Pemenang pengadaan E-KTP adalah konsorsium Percetakan Negara RI (PNRI) yang terdiri atas Perum PNRI, PT Sucofindo (Persero), PT LEN Industri (Persero), PT Quadra Solution dan PT Sandipala Arthaput yang mengelola dana APBN senilai Rp6 triliun tahun anggaran 2011 dan 2012.

Pembagian tugasnya adalah PT PNRI mencetak blangko E-KTP dan personalisasi, PT Sucofindo (persero) melaksanakan tugas dan bimbingan teknis dan pendampingan teknis, PT LEN Industri mengadakan perangkan keras AFIS, PT Quadra Solution bertugas mengadakan perangkat keras dan lunak serta PT Sandipala Arthaputra (SAP) mencetak blanko E-KTP dan personalisasi dari PNRI.

Dalam perkara ini KPK sudah menetapkan 2 tersangka yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen Sugiharto.

Irman dan Sugiharto dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP.

Berkas 2 tersangka itu telah dilimpahkan penyidik ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) atau memasuki tahap I. Dengan demikian, persidangan bakal digelar paling lama dalam 1 bulan mendatang. [Antara/KPK.go.id/DAS]