Raden Mas Sewaka: Gubernur Jawa Barat Masa Kritis

Raden Mas Sewaka (berdiri, berkopiah) dalam acara serah terima Negara Pasundan kepada dirinya selaku Gubernur Jawa Barat, Maret 1950

Sudah Saatnya Sejarah Nasional Indonesia lebih mengungkap kiprah tokoh-tokoh lokal, antara lain para pejabat gubernur pada periode awal republik ini berdiri. Di antara yang sangat jarang dibicarakan adalah Raden Mas Sewaka, Gubernur Jawa barat periode 1947-1948 dan 1950-1951, dua masa krisis yang menguji keteguhan sebagai seorang pemimpin dan rasa kecintaan terhadap Republik Indonesia.

Raden Mas Sewaka

Ada dua tulisan yang cukup memberikan informasi  awal tentang riwayat Raden Mas Sewaka. Yang pertama ditulis Dr. A. Sobana Hardjasaputra dan dimuat dalam Pikiran Rakyat edisi 20 Agustus 2006, “Sang Gubernur Geriliya”. Yang kedua berupa buku yang diterbitkan Pemerintah Kotamadya Bandung bekerja sama dengan Tim Sejarawan Universitas Padjajaran, Bandung, pada tahun 1981. Judulnya Sejarah Kota Bandung1945-1950. Juga ada beberapa sumber primer yang merekam aktivitas Sewaka.

Riwayat pendidikan pria kelahiran Cirebon pada tahun 1895 ini berlangsung mulus. Raden Mas Sewaka menamatkan pendidikan di Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) atau sekolah pendidikan untuk bumiputera pada tahun 1915.  Dia kemudian melanjutkan pendidikan di Besturschool (sekolah pemerintahan) dan selesai pada tahun 1927.

Sewaka mengawali karirnya di birokrasi sebagai pegawai magang juru tulis wedana di Losari, dilanjutkan menjabat Manteri Polisi Weru dan camat di Jatiwangi. Karirnya terus menanjak dengan ditunjuknya dia sebagai  patih di Bogor dan di Indramayu (1938-1941).

Pada zaman penjajahan Jepang, Sewaka menjadi Syico (Wali Kota) Cirebon (1942-1943), kemudian menjadi Kenco (Bupati) Cirebon (1943-1945). Selanjutnya, Sewaka ditarik ke Jakarta untuk menjadi neysebuco (kepala bagian umum) di kantor residen. Ada dua alasan dari mutasi itu, Pemerintahan Fasis Jepang mengagumi kecakapan Sewaka, tetapi juga mewaspadai dirinya.

Pada masa Revolusi Kemerdekaan, Sewaka memihak Republik. Sebagai Residen Jakarta, ia  tidak hanya menjalankan pemerintahan, tetapi juga turut mengatur perjuangan melawan tentara Sekutu dan Nederlands Indies Civil Administration (NICA). Selaku residen, Sewaka berupaya mengatasi gejolak yang terjadi di wilayah kekuasaannya, antara lain gejolak di Tangerang dan Bekasi.

Robert Cribb dalam bukunya bertajuk Gangsters and Revolutionaires: The Jakarta Power Militia and The Indonesian Revolution 1945-1949 mengungkapkan, Sewaka selama menjadi residen berperan mengatasi stabilitas di kawasan  Subang, Karawang, dan Bekasi ketika pemerintahan Sjahrir berupaya membuktikkan Republik  merupakan pemerintahan yang bertanggung jawab. Masalahnya: ada banyak laskar rakyat di sekitar Karawang, yang menggunakan revolusi sebagai dalih untuk melakukan perampokan dan pembunuhan.

Residen Sewaka kemudian mengangkat pemimpin laskar-laskar itu sebagai pejabat, sehingga punya tanggung jawab. Bantir dari Bekasi diangkat menjadi manteri polisi, Nata menjadi camat, Bubar sebagai Bupati Karawang,  Macem dari Cibarusa diangkat menjadi kepala polisi setempat.

Ketika  itu, konflik dengan tentara Sekutu membuat Jakarta tidak kondusif. Maka, Pusat Pemerintahan Keresidenan Jakarta dipindahkan ke Purwakarta.

Namun, kemudian, Sewaka memilih berkedudukan di Subang untuk memudahkan dia berhubungan dengan Tentara Republik Indonesia dan Pemuda Pejuang. Sewaka juga membantu penyaluran beras dari Subang ke Jakarta.

Sewaka menjadi residen hingga Mei 1946. Dia kemudian membantu Gubernur Jawa Barat Dr. Murjani di Tasikmalaya, yang menjadi pusat Pemerintahan Jawa Barat setelah pecah Peristiwa Bandung Lautan Api pada Maret 1946.

Dia memimpin urusan administrasi kantor pusat provinsi di pengungsian, serta melakukan konsolidasi pemerintahan, dan menyusun teritorial daerah pertahanan bersama TRI. Pada 1 April 1947, Sewaka diangkat menjadi Gubernur Jawa Barat oleh Presiden Soekarno untuk melaksanakan pemerintahan darurat  di daerah pengungsian Priangan Timur. Pada masa itu, ibu kota Indonesia berkedudukan di Yogyakarta.

Memerintah dengan Ambulans Kantor

Baru beberapa bulan menetap di Tasikmalaya, Belanda melancarkan Agresi I pada 21 Juli 1947. Tasikmalaya pada 11 Agustus 1947 dalam keadaan genting. Tentara Belanda dengan perlengkapan militer yang lebih canggih tidak akan lama lagi memasuki kota itu dari arah Ciamis.

Gubernur Jawa Barat diminta menyingkir ke Yogyakarta. Untuk keperluan itu, sebuah kereta api khusus disediakan untuk Sewaka. “Saya tidak mungkin meninggalkan rakyat Jawa barat dalam keadaan sesulit ini,” katanya.

Sewaka tetap memerintah di Jawa Barat. Ia ingin bersama rakyatnya. Sejarah mencatat, Gubernur Sewaka bersama stafnya hijrah ke Sukaraja, suatu kampung di sebelah selatan Tasikmalaya. Ketika Sukaraja dihujani bom oleh tentara Belanda, Gubernur Sewaka tak mau pergi. Ia tak gentar.

Kolonel Hidayat, Wakil Panglima Siliwangi, kemudian membujuk Sewaka agar menyingkir ke Karangnunggal. Luluh hati Sewaka. Ia bersama stafnya akhirnya berkenan mengikuti saran Kolonel Hidayat.

Tapi, tentara Belanda terus mengejar. Sewaka dan stafnya pun kemudian bergerilya dan pindah ke Lebaksiuh, suatu desa di tengah hutan, kira-kira 70 kilometer sebelah selatan Tasikmalaya. Di desa di tengah hutan inilah Sewaka mendirikan kantor gubernur darurat.

Hubungan antara gubernur dengan pamongpraja dilakukan dengan cara seperti masa Hindu Buddha, yaitu dengan kurir. Sementara itu, hubungan dengan pemerintah pusat di Yogyakarta terputus untuk sementara.

Berkat bantuan teknisi dibuatlah radio darurat yang membuat hubungan dengan pemerintah pusat  dan juga bisa  mendapatkan informasi dari Kantor Berita Antara.

Karena Belanda terus mengejar, Sewaka dan stafnya kemudian berpindah-pindah, antara lain ke Culamega, Cisurupan, Cikuya, dan  Tawangbanteng. Gubernur Sewaka mengubah taktik, dengan membentuk ”ambulans kantor”. Strategi ini menempatkan tiga orang stafnya selalu bergerak mengikuti gubernur.

Berkat kerja sama dengan TNI dan warga masyarakat,pada waktu-waktu tertentu di Lebaksiuh, Gubernur Sewaka dapat  berunding dengan para residen, bupati, dan wakil-wakil badan perjuangan. Selain itu, Sewaka sering mengadakan peninjauan ke beberapa daerah untuk mengetahui situasi dari dekat dan memotivasi para pegawai serta rakyat agar tetap setia kepada Indonesia.

Keteguhan Sewaka dalam perjuangan pernah diuji ketika Belanda membentuk Negara Pasundan. Melihat begitu besar pengaruh Sewaka, Belanda menawarkan Sewaka jabatan wali negara. Namun, Sewaka menolak. Dia lebih memilih ditangkap tentara Belanda pada Maret 1948 di Tawangbanteng.

Beberapa bulan setelah ditangkap Belanda dan di penjara di  Tangerang pada 1948, Gubernur Sewaka diserahkan  kepada Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta, dengan peringatan: Sewaka tidak boleh masuk Jawa Barat. Peringatan itu berasal dari Regering Commissaris Bestuurs Aangelegenheden (Recomba), pemerintahan sipil pendudukan  Belanda. Sewaka dinilai sebagai  staatsgevaarlijk  (berbahaya bagi negara/Recomba). Di Yogyakarta, Sewaka diperbantukan pada Kementerian Dalam Negeri.

Ketika Belanda menyerbu Yogyakarta pada 19 Desember 1948, yang dikenal sebagai Agresi Militer Kedua,  Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta ditangkap dan dibuang ke Bangka. Belanda juga menangkap  Gubernur Sewaka, yang kemudian ditahan di Penjara Wiragunan, Yogyakarta bersama Dokter Setiabudi. Setelah itu, Sewaka dipindahkan ke Gedung Istana, tinggal bersama keluarga presiden dan wakil presiden, tapi statusnya masih sebagai tahanan.

Karena ada kekosongan, Menteri Dalam  Negeri membuat kebijaksanaan mengangkat Ir. Ukar Bratakusumah menjadi Gubernur Jawa Barat (akhir Desember  1948). Hampir dalam waktu yang bersamaan, Panglima Teritorium Jawa Kolonel A.H. Nasution mengangkat Ukar menjadi Komisaris Republik Indonesia di Jawa Barat. Itu berarti Ukar merupakan gubernur sementara. Kedudukan Sewaka sebagai Gubernur Jawa Barat tidak dicabut.

Pada Mei 1949, Sewaka dibebaskan. Ia mendapat kehormatan menjadi penasihat delegasi RI dalam Konferensi Meja Bundar. Setelah tinggal dua bulan  di negeri Belanda, Sewaka kembali ke Yogyakarta sebagai kurir dari delegasi RI yang masih berada di  Belanda

Ia menjalankan tugas kembali sebagai gubernur pada Maret 1950, ketika Negara Pasundan menyatakan diri bergabung dengan Republik Indonesia. Jabatannya sebagai gubernur pada Juli 1951, karena ia diangkat menjadi Menteri Pertahanan pada Kabinet Sukiman (27 April 1951-3 April 1952). Kedudukannya sebagai gubernur diganti oleh Sanusi Hardjadinata. [Irvan Sjafari, Sejarawan]

Tulisan ini pernah dimuat pada 5 Juni 2018