Di perairan Laut Pedalaman Seto, Jepang, tersembunyi sebuah pulau kecil yang menjadi magnet bagi para pencinta hewan, terutama pecinta kucing dari seluruh dunia. Namanya Pulau Aoshima.
Berbeda dari gambaran umum tentang sebuah pulau yang dihuni manusia dalam jumlah besar, Aoshima justru dikenal karena keunikannya, populasi kucing yang jauh melampaui jumlah penduduk manusia. Rasio antara kucing dan manusia di pulau ini bahkan pernah mencapai angka mencengangkan, yakni 36:1.
Asal Usul Populasi Kucing Aoshima
Pulau Aoshima, yang terletak di Prefektur Ehime, dulunya adalah desa nelayan yang cukup ramai, terutama pada era 1940-an, dengan jumlah penduduk mencapai sekitar 900 orang. Kucing awalnya dibawa ke pulau ini bukan sebagai peliharaan, melainkan sebagai solusi alami untuk mengatasi hama tikus yang merusak kapal penangkap ikan. Ketika populasi tikus berhasil dikendalikan, kucing-kucing yang tersisa dibiarkan hidup bebas dan perlahan-lahan berkembang biak tanpa kendali.
Namun, seiring waktu, industri perikanan yang menjadi tumpuan hidup masyarakat mulai menurun, terutama pasca kemunduran sektor perikanan sarden. Penduduk pun mulai hijrah ke kota-kota besar, meninggalkan pulau ini dalam keadaan sepi. Kini, hanya segelintir penduduk—kebanyakan lansia—yang masih bertahan di Pulau Aoshima, dan kucing-kucing lah yang mengambil alih kehidupan sehari-hari di sana.
Berbeda dengan pulau wisata pada umumnya, Aoshima nyaris tidak memiliki fasilitas umum. Tidak ada toko, kafe, apalagi restoran. Yang ada hanyalah rumah-rumah tua, jalanan sempit, dan tentu saja kucing-kucing liar yang berkeliaran dengan bebas. Meski begitu, justru itulah daya tarik Aoshima. Kehidupan di pulau ini berjalan dalam harmoni antara manusia dan hewan, tanpa sentuhan gemerlap wisata modern.
Untuk menjaga keseimbangan populasi, organisasi seperti Aoshima Cat Protection Society dan Dobutsu Kikin turun tangan melakukan berbagai upaya kesejahteraan hewan. Salah satu langkah utama yang dilakukan adalah program sterilisasi massal, yang telah menjangkau ratusan ekor kucing, guna mencegah ledakan populasi dan menjaga kesehatan komunitas kucing di pulau ini.
Aoshima kini menjadi destinasi impian bagi para wisatawan pecinta kucing. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia hanya untuk melihat, berinteraksi, dan memberi makan kucing-kucing liar di lingkungan alami mereka. Namun, demi menjaga ketenangan hidup penduduk lokal dan menghindari tekanan terhadap ekosistem pulau, jumlah pengunjung dibatasi maksimal 34 orang per hari.
Meski tidak ada fasilitas seperti cat café yang menjamur di kota-kota besar Jepang, suasana Aoshima menawarkan pengalaman yang jauh lebih otentik. Di sini, kucing-kucing hidup bebas, liar, dan menjadi bagian dari lanskap budaya pulau. Bahkan, setiap tahun, Aoshima menyelenggarakan sebuah festival khusus bernama “Neko-Matsuri” atau Festival Kucing, sebagai bentuk penghormatan terhadap makhluk berbulu yang telah menjadi ikon pulau ini.
Bukan Satu-Satunya “Pulau Kucing” di Jepang
Menariknya, Aoshima bukan satu-satunya pulau di Jepang yang dikenal karena populasi kucingnya. Negara Matahari Terbit ini juga memiliki pulau-pulau lain seperti Okishima, Enoshima, Manabeshima, Iwaishima, Aijima, dan Aishima yang juga dihuni banyak kucing. Namun, Aoshima tetap menjadi yang paling terkenal di antara semuanya, mungkin karena perbandingan ekstrem antara jumlah kucing dan manusia, serta nuansa tenang yang membalut seluruh pulaunya.
Di tengah pesatnya urbanisasi dan modernisasi yang melanda Jepang, Pulau Aoshima hadir sebagai pengecualian. Pulau kecil yang terletak di Prefektur Ehime ini justru menjadi pengingat bahwa relasi antara manusia, alam, dan hewan bisa berjalan secara berdampingan tanpa harus saling mendominasi.
Kehadiran kucing-kucing liar yang jumlahnya jauh melebihi populasi manusia menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan di pulau tersebut. Mereka bukan lagi sekadar hewan peliharaan, melainkan telah menjadi bagian dari identitas dan keseharian warga yang tersisa—kebanyakan merupakan lansia.
Fenomena Pulau Aoshima menunjukkan bagaimana sejarah, kebutuhan praktis, serta kepedulian terhadap makhluk hidup dapat membentuk sebuah ekosistem sosial yang unik. Dari yang awalnya ditugaskan untuk mengusir tikus, kucing-kucing di pulau ini kini tumbuh bersama warga, menciptakan suasana khas yang tak bisa ditemukan di tempat lain.
Aoshima menjadi contoh kecil bagaimana kehidupan bisa tetap berjalan dalam kesederhanaan, di tengah dunia yang terus bergerak cepat. Sebuah tempat yang mungkin terlupakan dari peta modern, namun justru menjadi rumah yang hangat—bukan hanya bagi manusia, tetapi juga bagi puluhan kucing yang menetap di sana. [UN]