Majalah Djawa Baroe Edisi Ke-18 (Wikipedia)

Sejarah selalu meninggalkan jejak yang tak terhapuskan, termasuk pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Dalam periode penuh gejolak itu, media menjadi alat yang sangat penting, baik sebagai sarana komunikasi maupun propaganda. Salah satu media yang muncul dan mencuri perhatian adalah majalah Djawa Baroe. Bukan sekadar bacaan ringan, majalah ini hadir membawa misi besar: mengubah pandangan masyarakat Indonesia terhadap Jepang dan menciptakan kesan bahwa kedatangan Jepang adalah awal dari era baru.

Namun, bagaimana sebuah majalah mampu memengaruhi pandangan masyarakat? Apa saja langkah-langkah yang dilakukan Jepang untuk menjadikan Djawa Baroe sebagai alat propaganda yang efektif? Artikel berikut akan membahas bagaimana Djawa Baroe tidak hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga bagian dari strategi politik pendudukan Jepang yang membekas hingga kini.

Pada masa pendudukan Jepang, sebuah majalah yang penuh dengan propaganda dan informasi tentang kekuatan Jepang di Indonesia muncul dengan nama Djawa Baroe. Majalah ini pertama kali terbit pada 1 Januari 1943 di Batavia, yang pada waktu itu sedang mengalami transformasi besar.

Seiring dengan upaya Jepang untuk membangun citra positif di Indonesia, pemerintah pendudukan memutuskan untuk mengubah nama Batavia menjadi Djakarta pada 10 Desember 1943, dengan alasan nama Batavia, atau “Betawi,” mengingatkan pada riwayat penindasan yang dilakukan oleh Belanda sejak masa Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen. Perubahan nama ini merupakan bagian dari upaya Jepang untuk menggantikan pengaruh Belanda dengan dominasi mereka.

Djawa Baroe sendiri, yang diterbitkan oleh Djawa Shinbun Sha dan bekerja sama dengan harian Asia Raja, mencerminkan usaha Jepang untuk memperkenalkan diri sebagai penjajah yang membawa kemajuan dan pembebasan bagi rakyat Indonesia. Majalah ini, yang dicetak menggunakan kertas luks, awalnya diterbitkan dengan ukuran 22 cm x 29 cm, dan berharga 0,15 gulden. Harga tersebut kemudian naik menjadi 0,20 gulden, seiring dengan penambahan jumlah halaman dari 30 menjadi 35 halaman, serta kualitas isi yang semakin meningkat.

Sasaran pembaca Djawa Baroe tidak hanya terbatas pada masyarakat Indonesia, tetapi juga mencakup masyarakat Jepang yang berada di Indonesia pada masa itu. Hal ini dapat dilihat dari adanya aksara Jepang (Katakana) di setiap halaman majalah tersebut, yang kemungkinan besar merupakan terjemahan atau ringkasan dari teks bahasa Indonesia yang dimuat di bagian atas.

Majalah ini sempat mengalami pergantian pimpinan, mulai dari H. Nomoera yang pertama kali memimpin, lalu digantikan oleh S. Higashiguchi, meskipun nama anggota dewan redaksi tidak pernah dicantumkan secara jelas. Bahkan, majalah ini tidak pernah memuat daftar isi pada setiap terbitannya.

Sejak awal terbit, Djawa Baroe sudah menunjukkan dirinya sebagai alat propaganda yang jelas, dengan tujuan utama untuk meyakinkan rakyat Indonesia bahwa kedatangan Jepang ke Indonesia adalah untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda, serta untuk membangun kemakmuran bersama di wilayah Asia.

Dalam pengantar majalah Djawa Baroe edisi pertama, yang berjudul Tjita-Tjita Djawa Baroe, ditegaskan bahwa majalah ini berfungsi sebagai perantara yang baik antara bangsa Indonesia dan Jepang (Nippon), serta sebagai alat untuk membangkitkan persaudaraan antara kedua bangsa tersebut dalam rangka mencapai kemenangan dalam Perang Pasifik.

Melalui isi majalah yang didominasi oleh berita-berita tentang kehebatan tentara Jepang di medan Perang Pasifik, propaganda Jepang semakin terlihat. Berita yang disajikan lebih banyak berupa gambar daripada teks, dan gambar-gambar tersebut sering kali dilengkapi dengan keterangan singkat yang menggambarkan keberhasilan Jepang dalam menenggelamkan kapal-kapal musuh atau menembak jatuh pesawat-pesawat tempur. Selain itu, Djawa Baroe juga memuat gambar-gambar yang menggambarkan keadaan kehidupan masyarakat Indonesia di seluruh pelosok Jawa.

Majalah ini juga memuat tulisan-tulisan tentang tokoh-tokoh pergerakan Indonesia, seperti Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, K.M. Mas Mansjur, dan Ki Hadjar Dewantara. Beberapa tulisan tersebut berisi ajakan untuk membantu Jepang dalam memenangi Perang Pasifik dan menciptakan kemakmuran bersama di Asia.

Selain artikel-artikel yang berisi propaganda politik, Djawa Baroe juga memuat karya sastra, seperti cerita bersambung, cerpen, puisi, dongeng, esai, dan skenario film. Beberapa karya sastra yang dimuat di majalah ini antara lain adalah Setinggi-tinggi Terbang Bangau karya Andjar Asmara, Radio Masjarakat karya Rosihan Anwar, dan Ranamanggala karya Darmawidjaja. Puisi-puisi seperti Ingat-ingat karya St. P. Boestami dan Zaman Baroe karya Usmar Isma’il juga dipublikasikan dalam majalah ini.

Salah satu program penting yang diluncurkan oleh Djawa Baroe adalah Sayembara Mengarang Cerpen yang bertujuan untuk memperkaya kesusasteraan dan kesenian Indonesia pada masa perang. Peserta diminta untuk menulis cerpen yang terdiri dari empat jilid, dan pemenang sayembara tersebut menerima hadiah uang.

Cerpen yang menang, seperti Tangan Mentjentjang Bahu Memikul karya Muhammad Dimyati dan Dibawah Bayangan Jembatan karya Hadisiswojo, menjadi bagian dari pengaruh besar yang dimiliki majalah ini terhadap dunia sastra Indonesia pada masa itu.

Namun, di balik usaha-usaha tersebut, Djawa Baroe tetap merupakan alat propaganda yang berfungsi untuk memperkuat posisi Jepang di Indonesia. Setiap aspek dari majalah ini, mulai dari isi hingga bentuk, dirancang untuk mendukung agenda politik Jepang dan menanamkan ideologi mereka kepada masyarakat Indonesia.

Bahkan, majalah ini menjadi bagian penting dalam upaya Jepang untuk membentuk citra positif di mata rakyat Indonesia, menjanjikan kebebasan dan kemakmuran, meskipun kenyataannya adalah bentuk penjajahan yang penuh penderitaan bagi rakyat Indonesia.

Djawa Baroe berhenti terbit pada 1 Agustus 1945, beberapa saat sebelum Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Pasifik. Meskipun sudah berakhir, jejak majalah ini tetap tercatat dalam sejarah sebagai bagian dari upaya Jepang dalam memanfaatkan media untuk propaganda dan manipulasi opini publik di Indonesia.

Kini, Djawa Baroe tercatat di Perpustakaan Nasional Jakarta dengan nomor katalog B:-2997, tetapi data majalah tidak tersimpan. Perpustakaan Dokumentasi H.B. Jassin Jakarta mengoleksi Djawa Baroe tahun 1943—1945. [UN]

Sumber: Ensiklopedia Sastra Indonesia – Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia