RAMALAN Jayabaya ini dikenal khususnya di kalangan masyarakat Jawa dan dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga.
Ramalan Jayabaya atau sering disebut Jangka Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang salah satunya dipercaya ditulis oleh Jayabaya, yaitu raja Kediri tahun 1135-1159.
Ramalan yang disampaikan Raja Kediri, Prabu Jayabaya, itu berbentuk tembang atau kakawin dalam bahasa Jawa Kuno. Setiap kata yang digunakan mengandung makna yang mendalam.
Berbagai literatur menyebutkan Prabu Jayabaya memiliki kesaktian dalam meramalkan masa depan. Itulah sebabnya ramalannya yang mengupas nasib Pulau Jawa hingga tahun 2100 dipercaya sebagai mitos oleh masyarakat.
Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Jayabaya, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Prapen (Sunan Giri ke-3) di Giri Kedaton yang kumpulkannya pada tahun 1540 Saka = 1028 Hijriyah = 1618 Masehi.
Kitab Asrar itu memuat ikhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu gambaran gilir bergantinya negara sejak zaman purbakala hingga jatuhnya Majapahit lalu diganti dengan Ratu Hakikat adalah sebuah kerajaan Islam pertama di Jawa yang disebut sebagai ”Giri Kedaton”.
Sekalipun banyak keraguan atas keasliannya, tapi sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yang menuliskan bahwa Jayabaya yang membuat ramalan-ramalan tersebut. Namun dua pujangga yang hidup sezaman dengan Prabu Jayabaya, yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, dalam kitab-kitab mereka yang berjudul Kakawin Bharatayuddha, Kakawin Hariwangsa, dan Kakawin Gatotkacasraya, sama sekali tidak pernah menyebut bahwa Prabu Jayabaya memiliki karya tulis.
Jika dibandingkan dengan ramalan lain, Jangka Jayabaya tampak melengkapi ramalan Ronggowarsito dalam Serat Kalatidha (1862) yang berisi tentang prediksi zaman edan. Sejumlah peneliti menganggap akurasi Ramalan Jayabaya disebabkan sifatnya yang luwes dengan kondisi zaman.
Ramalan Jayabaya bukan hanya dipercaya masyarakat tradisional, tetapi juga modern. Dalam perspektif lain, ramalan ini diterima sebagai petunjuk kehidupan. Masyarakat Jawa umumnya menganggap ramalan ini sebagai warisan nenek moyang yang berisi petunjuk bagi kehidupan. Itulah sebabnya mereka menyebut ramalan ini sebagai Jangka Jayabaya, yang bermakna ramalan akan menjadi kenyataan jika di-jangkah atau dilaksanakan.
D. Soesetro dan Zeinal Arif dalam buku berjudul Membuka Tabir Ramalan Jayabaya di Era Reformasi menjelaskan, makna ramalan ini bukan hanya terletak pada nubuat atau prediksinya, melainkan nilai kesusasteraan yang tinggi. Walaupun banyak ahli yang ragu dengan keaslian ramalan tersebut.
Dr Soekanto Kartoatmodjo, ahli tafsir tulisan kuno UGM Jogja juga meragukan keaslian ramalan itu karena tidak menemukan bukti ilmiah yang menunjukkan karya asli Ramalan Jayabaya.
Apapun yang dikatakan banyak orang, baik yang pro maupun yang kontra, kenyataannya sampai saat ini ramalan itu tetap hidup di dalam kultur masyarakat Jawa. [S21]