Koran Sulindo – Dalam pidato sambutannya pada acara “Pengukuhan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Hanura” di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Rabu (22/2), Presiden Joko Widodo mengatakan, demokrasi Indonesia sudah terlalu bebas dan keblabasan. “ Demokrasi kita ini sudah terlalu kebablasan,” ujarnya.

Praktik demokrasi politik yang dilaksanakan Indonesia, lanjutnya, membuka peluang terjadinya artikulasi politik yang ekstrem, seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, dan terorisme. Juga ajaran yang lain yang bertentangan dengan Pancasila. “Penyimpangan praktik demokrasi itu mengambil bentuk nyata, ya, seperti yang kita lihat akhir-akhir ini, politisasi SARA,” tuturnya.

Menurut dia, kunci untuk mengatasi demokrasi yang kebablasan ini adalah penegakan hukum. “Aparat hukum harus tegas, tidak usah ragu-ragu. Jangan sampai kita lupa, terus-menerus berurusan dengan hal-hal dalam, seperti dalam empat-lima bulan ini, yang kita hadapi, sehingga energi kita habis dan lupa pada persoalan masalah ekonomi kita,” katanya.

Namun, menurut Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, penulis pidato Presiden Joko Widodo tidak memahami makna dari demokrasi. “Ada kekeliruan dari yang menulis pidato Pak Jokowi, terminologi demokrasi kebablasan itu tidak dikenal. Itu yang disebut dengan contradiction interminate. Jadi, dua kata itu tidak bisa disandingkan,” ujarnya di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (23/2). Sebelumnya, Fahri juga sudah mengutaran pandangan senada lewat akun Twitter-nya.

Yang seharusnya disebut kebablasan, lanjut Fahri, bukan demokrasi, tapi kebebasan, yang merupakan salah satu dari dua sisi mata uang demokrasi. Sisi lainnya adalah regulasi. “Nah, yang bisa kebablasan itu adalah kebebasan. Jadi, muncul istilah ‘ini kebebasan sudah kebablasan’, itu boleh,” kata Fahri.

Berdasarkan pandangan seperti itu, Fahri menilai diksi dalam pidato yang disampaikan presiden keliru. Menurut dia, pembuat pidato Jokowi perlu memahami konsep-konsep dasar dari demokrasi.  “Demokrasi itu jangan disalahkan. Demokrasi itu kita dapat berdarah-darah ini, terus bilang demokrasi kebablasan, salah itu. Yang disalahkan itu hukum dan yang menyebabkan hukum itu salah itu, ya, pemerintah,” ujarnya.

Ketua DPR Setya Novanto tak sependapat dengan Fahri. Menurut dia, Presiden Joko Widodo tentu tidak asal bicara soal demokrasi sekarang ini, yang sudah kebablasan dan menyebabkan artikulasi politik dan berpotensi bertentangan dengan Pancasila. “Situasi saat ini memang, tentu presiden mengetahui betul,” kata Setya Novanto, juga di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis ini.

Dijelaskan Setya Novanto, apa yang disampaikan presiden dalam berbicara pastinya memiliki dasar, termasuk masukan dari pihak-pihak yang memiliki unsur intelijen. “Masukan-masukan dari semua unsur baik BIN, Kapolri, TNI Apa yang dirasakan presiden tentu ada dasarnya,” kata Ketua Umum Partai Golkar itu. [RAF]