Lebih lanjut Arif menjelaskan, kalau 2014, hasil pileg lebih dulu keluar, sudah keliatan hasilnya dikoversi menjadi sekian kursi parlemen, dikonversi lagi menjadi kursi kabinet. “Kalau yang ini nanti, parpol tak bisa menekan presiden sejak awal. Karena, hasil 2019 belum tahu. Jadi, presiden bisa bilang, ‘Kamu tak bisa dikte saya berapa kursi kabinet.’ Artinya, sejak awal, transaksional itu sudah diputus,” kata Arif.
Parpol-parpol, lanjutnya, memang tak bisa bertransaksi dengan calon yang diusung dengan sikap pemerintah dan PDI Perjuangan itu. Maka secara otomatis parpol dan capres akan didorong ke sebuah titik temu baru. “Titik temu itu adalah kesamaan visi dan idoelogi, bukan transaksi jabatan di kabinet,” ujarnya.
Jika presidential threshold 0%, kata Arif lagi, bagi-bagi kursi itu sulit dihindari. “Kalau nol persen, transaksi akan berulang-ulang. Karena, semua parpol bisa mencalonkan. Kalau seorang capres merasa tak dapat dukungan yang mayoritas, dia akan cari dukungan mayoritas itu, dia akan beli dukungan.Begitu menang, dia akan jual-beli lagi supaya dapat dukungan di parlemen. Inilah masalahnya,” ungkap Arif. Dengan presidential threshold tidak 0%, tambahnya, PDI Perjuangan berusaha memastikan setiap capres-cawapres sejak awal mendapat dukungan permanen dan kuat dalam pilpres.
Apakah syarat presidential threshold itu inkonsttitusional? “Kalau disebut bahwa hak warga negara tak boleh dibatasi untuk maju sebagai capres, itu tak sepenuhnya benar. Harus dipahami, Pasal 28 ayat J UUD 1945 mengamanatkan, kebebasan itu perlu diatur, termasuk kebebasan politik. Jadi, bukan bebas sebebas-bebasnya, melainkan kebebasan yang diatur undang-undang. Kalau tidak diatur, tujuan bikin pemerintahan kuat dan efektif tak akan tercapai,” kata Arif. Jadi, lanjutnya, PDI Perjuangan yakin seyakin-yakinnya itu tak melanggar UUD 1945. “Belajar dulu original intent konstitusi. Spirit konstiusi kita kan sebenarnya hindarkan diri dari liberalisme dan komunisme. Ada kebebasan, tapi teratur.”
Dengan bengitu, Arif menjelaskan lagi, PDI Perjuangan juga menolak bila parpol baru boleh mengusung capres-cawapres di Pemilu 2019. Apalagi, parpol baru itu belum teruji mampu bertarung di pemilu legislatif. “Sangat aneh bila mereka sudah langsung boleh mengusung capres-cawapres. Jadi, sikap soal presidential threshold ini juga demi menghadapi parpol medioker, yang hanya dibentuk untuk tunggangan politik. Hal demikian tak sehat bagi demokrasi kita,” katanya. [PUR]