Sekalipun tidak selalu efektif, media massa sebetulnya garda terdepan dan yang paling ampuh menanamkan nilai nasionalisme dan nilai-nilai kultural. Pada era 1950-an, misalnya, media massa di negeri kita gencar melawan arus budaya asing dan menanamkan rasa cinta Tanah Air.
Media massa pada era itu bahkan ikut mendorong kalangan remaja untuk mengungkapkan ekspresinya tentang tanah airnya. Memang, karena sifatnya sebagai media massa umum, ada kompromi-kompromi yang dilakukan dengan pasar, agar laku dijual.
Lihat dan lihatlah/Tentu Engkau Ketjewa/Karena Tjita2mu belum terlaksana/Korupsi telah meradjalela di kalangan atasan/Kursi kedudukan djadi rebutan/Dan rakjat tetap melarat/Keamanan dan kemakmuran beluk djuga tertjipta
Puisi di atas diciptakan oleh seorang pelajar SMP 3 Bandung bernama F. Ahir di rubrik “Kuntum Mekar” harian Pikiran Rakjat, 14 November 1951. Ahir mengungkapkan kekecewaannya atas kondisi di Tanah Air. Perjuangan kemerdekaan yang dilakukan oleh para pahlawan dengan menyabung nyawa, menurut dia lewat puisinya itu, ternyata ketika merdeka malah diselewengkan sejumlah elite dan dijadikan obyek perebutan kekuasaan.
Seorang anak muda lainnya bernama Djuh, yang tinggal di Gang Bongkaran Bandung, menulis sebuah puisi di rubrik “Kuntum Mekar” edisi 2 Mei 1951, berjudul “Irian”. Kalimatnya sederhana, namun mengena: Irian djadi bajangan/Rakjat berkenang-kenangan/Ichlas djadi perdjoangan/Asal untuk kemenangan/Negara kedaulatan.
Pada masa itu, Irian Barat masih belum masuk ke wilayah Republik Indonesia. Isu Irian Barat adalah salah satu isu politik yang paling memperkuat solidaritas ke-Indonesiaan.
Ada juga remaja yang menulis lelucon yang bernas. Misalnya lelucon antara ayah dan anak yang ditulis Fadjar Melati, pelajar SMA III Bandung dan dimuat di “Kuntum Melati” Pikiran Rakjat edisi 25 April 1951. Ceritanya seorang ayah menegur anaknya yang suka bertengkar dengan temannya karena hal yang kecil dan hal itu bisa terbawa ketika dewasa. Si Anak kemudian menanyakan alasannya sang ayah marah.
Ayah:Sebabnja ialah rasa persatuan dan persaudaraan nistjaja akan renggang dan terputus.
Anak: Tetapi…, mengapa Ajah jang telah djauh lebih besar dari saja masih suka bertengkar dengan ibu tiap2 achir bulan?
Lelucon itu terasa basi pada masa sekarang, tetapi masa itu terbilang cukup kritis. Sekarang pun kita bisa mengambil amanat yang baik dari lelucon tersebut: orang tua kalau ingin nenanamkan nilai-nilai harus dengan contoh, bukan hanya dengan perkataan.
Rubrik “Kuntum Mekar” menjadikan koran Pikiran Rakjat pada masa itu bisa dilihat sebagai media yang menyadari bahwa anak-anak dan remaja juga membutuhkan bacaan yang mendidik.
Fadjar Melati juga menulis sebuah cerita pendek (cerpen) berjudul “Suasana Peladjar di SMA XYZ”, dimuat pada tanggal yang sama dengan lelucon di atas. Cerpen itu bercerita tentang dua pelajar yang bersahabat, sekalipun punya sikap yang berlainan. Pelajar pertama bernama Hidajat, karakternya pendiam, rajin belajar, dan menganggap pelajaran Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan adalah hal yang penting.
Sahabatnya, Amat, punya karakter yang berlainan dengan Hidajat. Amat dikenal sebagai anak nakal dan tidak menyukai pelajaran-pelajaran yang disukai Hidajat itu karena cara belajarnya harus dihafal. Tapi, dia suka Bahasa Inggris, karena cara gurunya mengajar cocok bagi dia. Untuk pelajaran Bahasa Inggris, Amat selalu mendapatkan nilai 8. Amat juga diceritakan suka menonton film di Bioskop Majestic dan penggemar aktris Doris Day.
Fadjar hanya menggambarkan dua perbedaan itu dan tidak menghakimi tokoh Amat. Dia menggambarkan dua tipe remaja pada masa itu, yang satu diwakili Hidajat lebih menyukai budaya bangsanya, sementara Amat mewakili remaja yang hanyut dalam budaya asing.Majalah Garuda di Dada Remaja
TIDAK banyak ditemukan media dengan segmen pasar kalangan muda yang mengompromoikan idealisme dan pasar. Di antara yang saya temukan adalah Majalah Mingguan Garuda, terbitan Pustaka Garuda, beralamat di Jalan Gunung Sahari III/1 Jakarta, yang terbit pada pertengahan 1950-an.
Konsep majalah ini tampaknya berupa majalah hiburan, tetapi dengan konten situasi ekonomi dan politik pada masa itu. Penyajian isunya tergolong cukup berat, antara lain menyangkut topik ideologi. Mungkin saja pada masa itu bisa dicerna kaum muda terpelajar.
Ada artikel di majalah Garuda edisi 12 Oktober 1952 berjudul “Musik Dansa”, yang menginformasikan derasnya penjualan piringan hitam dari Barat untuk musik dansa, seperti dari Stan Kenton, Elenn Miller, dan Benny Goodman. Kekuatan musik Barat menawarkan lagu gembira, yang menjadi kekurangan lagu Indonesia masa itu.
Lagu Indonesia dinilai masih sentimenta alias mendayu-dayul. Sekalipun ada yang memikat seperti Nick Mamahit dan Irama Quarzet—yang antara lain membawakan lagu “Kopral Jono”, “Lenggang Jakarta”, dan “Impian Semalam”—musik dan cara pembawaannya mirip seperti musik dan penyanyi Barat.
Media massa yang bernapas nasionalisme harus berpacu melawan publikasi gencar dari dunia hiburan, terutama dari gedung bioskop yang sekaligus menawarkan pelat-pelat untuk gramofon, yang bukan saja berisi musik untuk dansa, tetapi juga jenis mudik hot swing dan samba. Mereka tidak pernah menawarkan pelat nyanyian dari penyanyi Indonesia, Sam Saimun misalnya, yang sangat populer pada masa itu.
Pada awal 1950-an, dansa masih merupakan hal yang kontroversial. Dalam tulisan itu disinggung bagaimana mencari pengganti musik dansa. Namun baru pada akhir 1950-an, pemerintah menawarkan tari “Serampang Dua Belas”. Bahkan, untuk memopulerkan program ini diadakan berbagai lomba. Hanya saja, dansa tetap populer di kalangan kaum muda. Yang sempat menggeser popularitasnya justru rock n’roll dan tari hulahop yang lebih agresif.
Selain mengulas masalah kebudayaan pop, majalah Garuda juga menyinggung situasi sosial politik. Misalnya ada berita tentang ribuan orang berdemonstrasi di tanah partikelir Pamanukan dan barisan sakit hati di Kebayoran (Garuda edisi 3, 17 Januari 1954). Sampul depan majalah ini umumnya berupa kartun, menyadur dari kartun karya Walt Disney secara fisik, tapi kontennya disesuaikan dengan kondisi Indonesia.
Pada edisi 14 tertanggal 11 April 1954 dimuat perbincangan dua ekor burung yang disadur dari karya Walt Disney pada tahun 1952. Judulnya “Komunisme atau Kapitalisme”, yang menyentil situasi masa itu ketika negara berkembang berada di antara hegomoni Blok Barat dan Blok Timur.Berikut petikannya.
Djalak mengatakan: Bagaimana tjuatja hari ini, Bung?
Djelek menjawab: Ada angin dari kanan, dan ada dari kiri.
Lalu Djalak bertanya lagi, “Mana jang baik?”
Djelek menjawab: Dua-duanja bikin kembung perut.
Pada halaman 3 ada rubrik berjudul “Dari Hati ke Hati”, dengan artikel berjudul “Bom Atom”. Bentuknya berupa surat dari Kamanita kepada Effendi.
Dalam surat itu, Kamanita menyebut, kapitalisme hendak menghancurkan komunisme sampai ke akar-akarnya. Komunisme dianggap pengacau dunia, padahal komunisme lahir karena ulah kapitalisme sendiri, yang memiliki watak serakah.
Di sisi lain, Karmanita mengungkapkan, komunisme bertindak seolah-olah menolong si miskin. Tapi, ketika sudah mencapai kekuasaan melalui revolusi, rakyat tidak lagi bicara apa-apa, karena segala hal ditentukan dari atas.
Namun, yang dikhawatirkan Karmanita bukan saja soal Perang Dingin masa itu. Karena, kedua belah pihak punya senjata pamungkas berupa bom atom. Karmanita mendukung upaya Nehru dari India di Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyerukan perlunya larangan pemakaian senjata atom.
Rubrik lain yang menggambarkan kehidupan remaja ada, yaitu “Kebebasan Bergaul” (halaman 14). Dalam rubrik ini ada artikel yang menyajikan ihwal hubungan kasih di antara dua anak SMA lain sekolah, bernama Jono dan Sri. Keduanya kerap menonton film bersama.
Orang tua Sri mulai khawatir karena nilai pelajaran Sri menurun. Waktu belajarnya tersita oleh kegiatannya bersama Jono. Akhirnya, hubungan mereka tetap bisa berjalan, tetapi belajar tetap jalan terus.
Hal yang menarik di sini sudah ada istilah remaja dan anak SMA berpacaran. Namun, pada masa itu, pergaulan masih dalam norma-norma Timur. Media massa tidak menganjurkan hubungan yang sangat bebas.
Gambaran itu mirip dengan film Tiga Dara (1956) karya Usmar Ismail: hubungan antara pemuda dan pemudi hanya sebatas bertandang ke rumah perempuan. Mengajak menonton film waktu itu bagi warga Jakarta, menonton di bioskop Metropole, sudah merupakan aktivitas bergengsi. Begitu juga bermain ke pantai pada akhir pekan.
Ada rubrik yang diberi nama “Ilmu Djiwa”. Artikelnya antara lain berjudul ”Terhadap Jg Tua dan Muda”. Isinya soal kaum muda pada masa itu yang mengenyam pendidikan yang lebih baik, sementara kaum tua masih banyak yang buta huruf. Meskipun demikian, kebodohan orang tua tidak boleh dijadikan alasan oleh anak muda untuk tidak menghormati mereka (halaman 11).
Rubrik “Film” di majalah ini juga ada, yang berisi resensi. Di Garuda edisi 14 dimuat resensi film The Blue Gardenia. Kebetulan, pada saat bersamaan ada lagu yang sedang populer berjudul sama, dinyanyikan Nat King Cole. Kisahnya sendiri tentang seorang gadis yang tersangkut pembunuhan seorang pelukis, dengan cara bertutur penuh humor. Resensi ini, entah kebetulan atau tidak, bersebelahan dengan rubrik “Sejarah Nasional”, yang memuat artikel tentang perkelahian di Kali Progo pada masa perlawanan Pangeran Diponegoro.Penjajahan Budaya
Edisi 15 yang terbit pada 18 April 1954 bersampul depan dengan gambar kartun yang disadur dari kartun Walt Disney juga. Gambarnya dua ekor burung yang sama, namun yang satu di atas ranting pohon, yang satu sedang terbang. Cover line-nya: “Tjari Bantuan”.Ada percakapannya pula.
Djalak: Kemana Lu lari-lari, Lik?
Djalik: Mau Tjari bantuan, rumahku…
Djalak: Tjari bantuan, Ko Djauh2, sama tetangga sendiri dong! Emangnja malu ama kelakukan sendiri?
Pada rubrik “Dari Hati ke Hati” halaman 3 juga berkisah surat dari Karmanita tentang Efendi. Judulnya “Rp. 300. 000. 000”.
Karmanita mengungkapkan, pemerintah kekurangan uang. Akibatnya, pemerintah sulit menjalankan kewajibannya, seperti melakukan pembangunan, mengamankan daerah yang mengalami kekacauan, memakmurkan suatu daerah.
Pemerintah kemudian menerbitkan obligasi (meminjam kepada rakyatnya sendiri), dengan total Rp 300.000.000. Bagi Karmanita, kebijakan itu harus didukung. Daripada meminjam dari luar negeri lebih baik mengandalkan kekuatan sendiri.
Rubrik “Putri Remadja” juga menjadikan Jono dan Sri sebagai pengkisah. Kali ini digambarkan Jono kuliah di Fakultas Teknik Bandung dan Sri kuliah di fakultas ekonomi di Makassar mengikuti orang tuanya. Perpisahan ini berat bagi Jono dan terbawa mimpi.
Tulisan berjudul “Mimpi” itu menyinggung ketertinggalan banyak daerah dari segi sumber daya manusia. Di sela waktu kuliahnya, Sri mengajar di sekolah yang didirikan kaum perempuan Kota Makassar.
Sementara itu, pada rubrik “Film”, Garuda memuat artikel “Film dan pengaruhnya”. Dalam artikel itu, penulis menceritakan tentang animo anak muda terhadap film-film yang dibintangi oleh Marlyn Monroe, seperti Niagara, Intermezzo, dan Gentlemen Prefer Blondes. Penulis artikel mengakui publikasi akan Marlyn Monroe memikat remaja untuk datang ke bioskop (halaman 18-19).
Para anak sekolah dengan bundelan buku masuk lebih girang dibanding ruang kelasnya. Padahal film-film itu dinilai menawarkan sex appeal, yang keterlaluan bagi orang Timur, khususnya Indonesia.
Majalah Garuda memberikan gambaran kehidupan remaja yang—nyaris sebangun dengan “Kuntum Melati”—mencari jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Mereka tidak lagi menghadapi penjajahan secara politik dan ekonomi, tetapi secara budaya. [Irvan Sjafari]