Ilustrasi/ist

Koran Sulindo – Rapat di subkomisi yang merumuskan deklarasi hubungan Islam dan Pancasila itu hanya berlangsung selama satu dua rokokan. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebelumnya menunjuk 5 orang kiai sebagai anggota salah satu subkomisi dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) pada 1984 di Situbondo, Jawa Timur tersebut. Mereka adalah KH Ahmad Mustofa Bisri dari Rembang, Dr KH Hasan dari Medan, KH Zahrowi, KH Mukafi Makki, dan dr Muhammad dari Surabaya.

Cucu Hadltrassyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari itu membuka rapat dengan bertanya satu persatu kepada para anggotan tentang hubungan Islam dan Pancasila. Masing-masing kiai menyampaikan pandangannya terhadap sila-sila dalam dasar negara itu disertai sejumlah argumen keagamaan.

Gus Dur menyimak penuh perhatian.

Pada dasarnya Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, justru sebaliknya sejalan dengan nilai-nilai Islam. “Pancasila itu Islami.” Kesimpulan para kiai.

“Bagaimana jika ini saja yang nanti kita sampaikan, kita deklarasikan di hadapan sidang pleno Muktamar?” tanya Gus Dur.

Para kiai sepakat bulat. Rapat ditutup.

“Saat itu Gus Dur tersenyum manis. Ya manis sekali,” kata Mustofa Bisri, seperti dikutip Buku tulisan KH Husein Muhammad, “Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus” (Noura Books, 2015).
“Gus Dur hebat sekali. Rapat untuk sesuatu yang mendasar dan pondasi bagi penataan relasi kehidupan berbangsa dan bernegara hanya diputuskan dalam waktu 10 menit! Sementara komisi yang lain rapat sampai berjam-jam bahkan hingga subuh untuk memutuskan pembahasan sesuai bidangnya masing-masing.”

Perhelatan Muktamar di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo itu, akhirnya memilih Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU.

Muktamar itu juga penanda organisasi Islam terbesat di tanah air itu kembali ke Khittah NU 1926. NU menegaskan diri sebagai jami’yyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan) sesuai amanat pendirian organisasi pada 1926, bukan lagi organisasi politik praktis. Dalam rumusan itu, ditegaskan bahwa Jam`iyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun. Sementara dalam paham keagamaan, NU menegaskan sebagai penganut Ahlussunnah Waljama`ah dengan mendasarkan pahamnya pada sumber Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Dalam menafsirkan sumber-sumber itu, NU menganut pendekatan madzhab dengan mengikuti madzhab Ahlussunnah Waljamaah atau Aswaja yang masih bertahan sampai saat ini.

Belum 5 tahun sebelumnya Gus Dur kembali ke tanah air dan merangkak dari bawah membangun organisasi ulama yang berumur lebih tua dari Indonesia itu. Sejak itu Gus Dur mencoba membawa politik NU secara organisasi adalah politik kebangsaan, politik keumatan, politik kerakyatan, bukan politik praktis yang berorientasi kekuasaan semata dengan menghalalkan semua cara.

Praktik politik seperti itulah yang digagas KH MA Sahal Mahfudh sebagai siyasah ‘aliyah samiyah (politik tingkat tinggi), bukan politik tingkat rendah (siyasah safilah).

Jebakan Politik Tingkat Rendah
Daya tarik NU sebagai ormas terbesar keagamaan besar karena ada massa berjumlah besar di sana. Jumlah pengikutnya mencapai puluhan juta orang dan secara kultural membawahi institusi pesantren yang jumlahnya mendekati angka 15.000 buah tersebar di seluruh Nusantara.

Didirikan di Surabaya pada 31 Januari 1926, NU digagas mempersatukan solidaritas ulama tradisional dan para pengikut mereka yang berfaham salah satu dari empat mazhab Fikih Islam Sunni terutama Mazhab Syafi’i. Basis sosial NU dahulu dan kini terutama masih berada di pesantren.

Pada awal sejarahnya, keberadaan organisasi NU berorientasi pada upaya melestarikan dan membentengi tradisi dan paham keagamaan Aswaja yang sudah menjadi corak Islam Indonesia. Dalam konteks ini, NU tidak saja berhadapan dengan gerakan kelompok Islam modernis, tetapi juga terlibat aktif dalam gerakan perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda demi mempertahankan keberadaan “Islam Indonesia”.

Kondisi itu selalu menggoda NU terlibat dalam politik.

Menjelang dan pasca kemerdekaan, NU bergabung ke partai Masyumi, kemudian menjadi partai politik tersendiri sejak 1952, dan mengikuti pemilu 1955. Dalam pemilu tersebut NU meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. No urut 4 secara nasional.

Pada masa pemerintahan Soekarno, NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor. Selanjutnya NU bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 5 Januari 1973 atas desakan penguasa orde baru untuk mengikuti pemilu 1977.

Namun tampaknya NU memang ditakdirkan tidak berjodoh dalam urusan politik. Semenjak memenangkan perolehan suara 4 besar dalam pemilu 1955 dan 3 besar dalam pemilu 1971, fase berikutnya nasib jelek selalu menaungi NU dalam perhelatan politik.

Romantisme politik bergaung kembali setelah reformasi 1998. Lewat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) NU sukses mengusung Gus Dur sebagai Presiden. Setelah Gus Dur terpental dari tampuk kepemimpinan negara, PKB terjebak dalam pertikaian internal yang tak kunjung reda. Hingga kini.

“Sungguh menjadi ironis jika di era di mana NU sudah menyatakan independen sebagai konsekuensi kembali ke khittah 1926, namun di dalam kenyataannya masih bermain mata dengan parpol atau elit parpol,” tulis Prof. Dr. Nur Syam, M.Si, dalam Relasi NU dan Politik.

Ketika NU masuk dalam dunia politik, seperti logika terbalik, justru hampir seluruh akses NU dalam pengembangan masyarakat menjadi bermasalah. Banyak lembaga pendidikan NU terbengkalai. Juga institusi ekonomi atau kesehatan.

Greg Fealy, dalam tulisan di situs NewMandala edisi 11 Juli 2018, “Nahdlatul Ulama dan the politics trap”, mengatakan ada gejala kini terjadi PKB-isasi NU.

Akademisi dari Australian National University (ANU) itu melihat Presiden Joko Widodo cenderung merapat ke NU, terutama sejak mobilisasi Islamis besar-besaran melawan sekutu politiknya dulu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), gubernur Jakarta saat itu, pada 2016-2017.

“Jokowi tekun memberdayakan NU. Ia kini kerap menghadiri acara-acara NU dan menunjukkan rasa hormat kepada para kiai senior. Ia juga memberikan akses istimewa ke istana bagi para pemimpin senior NU,” tulis Fealy.

Selain itu, Jokowi memastikan adanya tambahan aliran sumber daya negara ke NU sebagai bagian dari usahanya untuk mengunci dukungan dari organisasi ini. Setelah kekalahan Ahok, Jokowi mengunjungi PBNU sembari mencari tahu mengapa NU tidak begitu suportif terhadap Ahok, terutama mengingat jumlah nahdliyyin di kabinet. Ketua PBNU Kiai Said Aqil Siroj dan anggota PBNU lainnya blak-blakan mengatakan kepada Presiden bahwa meski ada anggota-anggota NU di kabinet, NU sendiri hanya menerima sedikit manfaat langsung dari pemerintahan Jokowi dan banyak program sosial ekonomi organisasi ini menderita kekurangan dana.

Jokowi segera memerintahkan para menterinya untuk bekerja dengan NU dalam merancang program-program kredibel yang dapat mencerminkan bentuk dukungan pemerintah. Dia juga mendorong NU untuk menerima tanah negara sebagai bagian dari program redistribusi tanah serta akses ke skema kredit mikro yang dijalankan melalui pesantren, yang dikenal sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS).

“Dalam perannya tersendiri, NU telah secara langsung melayani kepentingan politik Jokowi.”

Di garis bawah segala dinamika politik ini adalah makin kuatnya pertautan politik pengurus PKB kini dengan NU. Sangat mungkin NU akan kembali ke fase ketika secara politik menjadi lebih aktif. Dan seperti biasa lembaga pendidikan, kesehatan, dan perekonomian NU akan kembali terbengkalai. Seperti biasanya ketika kaum sarungan itu mulai berpolitik. [Didit Sidarta]