Politik Indonesia Setelah Pilkada Jakarta

Ilustrasi

Koran Sulindo – Basuki Tjahaya Purnama-Djarot Syaiful Hadi (Ahok-Djarot) resmi kalah dalam Pilkada DKI Jakarta. Pengumuman Komisi Pemilihan Umum, akhir pekan lalu menempatkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno menang telak dengan 57 persen suara.

Satu hal yang menyolok dalam kegaduhan Pilkada itu, yang hari-hari ini masih berdengung-dengung di media sosial, adalah baru kali inilah calon yang didukung Front Pembela Islam (FPI) memenangkan pertarungan. Dalam Pemilihan Presiden 2004, 2009, 2014, dan Pilkada DKI 2012, Pemilu 2014, bahkan Pilkada DKI 2017 putaran pertama lalu, semua calon yang didukung FPI tak pernah menang.

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bahkan sampai menyampaikan ucapan terimakasih khusus kepada Imam Besar FPI Rizieq Syihab dalam upacara syukuran kemenangan pada 19 April malam, di Masjid Istiqlal Jakarta.

Siapakah sebenarnya yang menang dalam Pilkada paling brutal dalam sejarah di Indonesia itu?

Dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM, Zainal Abidin Bagir, dalam “Islam dan Demokrasi Indonesia Setelah Pilkada DKI”, menulis, bagi FPI, Hizbut Tahrir Indonesia, dan sejenisnya, kemenangan Anies-Sandi telah menaikkan posisi tawar mereka dan meningkatkan kepercayaan diri yang luar biasa.

Pilkada DKI itu menjadi upaya membesarkan diri kelompok-kelompok seperti FPI, FUI, HTI dan GNPF-MUI yang berhasil. Yaitu upaya untuk menjadikan agenda-agenda mereka diterima lebih banyak Muslim hingga, harapannya, bisa diinstitusionalisasikan.

“Caranya adalah dengan melipatgandakan dosis argumen dan sentimen agama selama masa kampanye, jauh melampaui pilkada-pilkada lain, hingga ke tingkat yang belum pernah kita lihat. Merekalah yang mengkampanyekan untuk memilih gubernur Muslim sejak setahun silam, mengorganisasi rangkaian demonstrasi yang fenomenal untuk menjaga kemurnian Islam dari “penistaan” Ahok, memimpin gerakan doa dan salat berjamaah bertema anti-Ahok sebagai “pemimpin kafir”, lalu memasuki masjid-masjid di banyak wilayah Jakarta hingga, puncaknya, sempat muncul gerakan untuk tidak mensalatkan pendukung Ahok,” tulis Zainal.

Dan itulah yang kemduian terjadi dalam dosis yang terkadang membikin perut mual. Isu agama menjadi sentral dan meminggirkan hal-hal lebih penting soal program, misalnya.

Isu agama itu juga yang dilahap rakyat muslim miskin kota, terutama mereka yang digusur dalam masa pemerintahan Ahok. Ian Wilson (Pengalihan Isu Ketimpangan & Kemiskinan di Pilgub Jakarta, seperti dikutip tirto.id), mengatakan agama sekadar menjadi ungkapan dari kekecewaan lebih nyata atas kebijakan-kebijakan Ahok.

Menurut Wilson, kedua pasangan calon itu sebenarnya mempunyai kesamaan: Mereka sama-sama mendiamkan ketimpangan ekonomi yang semakin parah.

Badan Pusat Statistik mencatat peningkatan kesenjangan ekonomi yang ajek di Jakarta, sejalan dengan tren nasional dalam satu dekade terakhir. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang digembar-gemborkan sebenarnya ditandai meningginya pemusatan kekayaan pada segelintir orang,  dan kemunduran standar hidup sebagian besar rakyat Indonesia.  Yang menanggung akibat terbesar ketimpangan ekonomi tersebut ialah golongan miskin dan lemah di Ibukota ini.

“Bagi kelas menengah-bawah, yang agaknya golongan sosio-ekonomi mayoritas di Jakarta, peningkatan ketimpangan dan kesenjangan sosial membangkitkan pelbagai kecemasan dan tegangan yang saling bertentangan. Di mana pun di seluruh dunia, rasa takut kehilangan pekerjaan yang diiringi peningkatan biaya hidup dapat berubah menjadi penerimaan terhadap populisme dan kecintaan kepada konspirasi,” tulis Wilson.

Pada mulanya keberatan-keberatan terhadap Ahok selaku gubernur non-muslim cuma gerakan remeh yang dipimpin oleh FPI, dalam unjuk rasa sedikit massa pada Oktober 2016. Tetapi gerakan itu terus membengkak, terima kasih pada Buni Yani melalui status di akun Facebook-nya, setelah Ahok dituduh menistakan Islam.

Lawan-lawan Ahok tidak menyia-nyiakan kesempatan. Mereka mengerahkan sumber daya politik dan finansial secara serius dan besar-besaran, untuk menjeratnya dengan persoalan identitas. Dan kegaduhan dimulai.

Kampanye Anies Baswedan dan Sandi Uno meraup sebanyak-banyaknya keuntungan politis dari pergolakan politik identitas itu, sekalipun sikap resmi mereka ialah pura-pura tidak tahu atau menekankan hal itu bukan soal besar. Jaringan pendukungnya tidak segan-segan mengeksploitasi kecemasan dan penderitaan kaum papa dengan ceramah-ceramah yang mencampuradukan kritik terhadap neoliberalisme dan demokrasi dengan kebencian terhadap “asing” dan “aseng”.

Dalam kasus dugaan penodaan agama yang dituduhkan pada Ahok, dan terjelma melalui sidang peradilan yang komikal, dan menjadi titik sentral dinamika Pilkada DKI 2017, tuntutan penegakan hukum dilakukan dengan mobilisasi ratusan ribu peserta (ada yang bilang 7 juta orang).

Setiap langkah penghujatan itu selalu diwarnai beragam bentuk intimidasi. Sama seperti aksi penolakan Ahmadiyah atau Syiah, yang dilakukan juga dengan pengusiran paksa ribuan orang.

Di media sosial, dunia sudah berubah menjadi perang terbuka yang menjijikan. Ungkapan kebencian pada etnis Tionghoa dilakukan tanpa kendali, diwarnai ancaman “halal darahnya”; juga kecaman “kafir” atau “munafik”.

Ini bukanlah persoalan teologis, tapi politisasi agama secara oportunistik dan brutal.

Sebagian dampak Pilkada DKI tak berhenti setelah pilkada usai. Pilkada itu bukan sekadar mencerminkan aspirasi masyarakat, tap melalui proses politisasi agama, mobilisasi, dan “pelintiran kebencian” (hate-spin), telah mengubah keberagamaan masyarakat.

Keberhasilan politisasi agama secara masif bisa dibayangkan akan memotivasi pengulangannya di pilkada-pilkada dan pilpres berikutnya,. Penggunaan wacana “penodaan agama”, yang didasarkan pada UU yang sudah terbukti problematis dan menimbulkan banyak korban, mungkin akan lebih marak juga, karena ia makin terbukti efektif.

Dengan semua dampak ini, meskipun Pilkada berjalan sukses tanpa gugatan kecurangan, dan hasilnya diterima semua pihak, sulit merayakan keberhasilan itu dengan suka cita. Ini memang demokrasi, tapi dengan kualitas rendah. Seperti pukat harimau, politisasi agama tak hanya menangkap ikan-ikan besar tapi juga bayi-bayinya. Politik Indonesia takkan sama lagi setelah ini. [DAS]