Koran Sulindo – Semangat Politik Etis yang mengusung ‘kemajuan menuju modernitas’ tak semata-mata merangsang kebangkitan bumiputra di Hindia Belanda.
Semangat serupa juga dirasakan orang-orang Arab dan Tionghoa.
Pada tahun 1900, orang-orang Tionghoa berpendidikan Barat di Batavia membentuk Tiong Hoa Hwe Koan atau THHK yang membangun sekolah-sekolah bergaya Barat. Hanya butuh beberapa tahun saja, sekolah-sekolah THHK segera beroperasi hampir di seluruh India.
Sementara saran, bantuan dan perlindungan negeri induk terus diusahakan, Dinasti Ching yang berkuasa di Cina melihat kesempatan orang Tionghoa di Hindia meraih kemakmuran segera memberikan tanggapan positif.
Sejak tahun 1906 tercatat beberapa kali pejabat tinggi dari Dinasti Ching secara rutin berkunjung ke Hindia. Atas saran mereka, orang-orang Tionghoa mendirikan Siang-hwee atau kamar dagang di pusat-pusat perdagangan dengan pegawai yang diberi pangkat oleh Dinasti Ching.
Untuk mengumpulkan dana mendukung penyelenggaraan sekolah-sekolah, THHK mengenakan pajak pada transaksi bisnis tertentu seperti pelayaran dagang Tionghoa dan penjualan tembakau serta kapas.
Ketika pada tahun 1907 dan 1909, dua kapal pereng Cina berlabuh di beberapa pelabuhan Hindia, mereka disambut hangat oleh orang-orang Tionghoa di Hindia yang memperlihatkan solidaritas mereka.
Dalam Riwayat Semarang, Liem Thian Joe menggambarkan suasana ketika orang Tionghoa Semarang menunggu kedatangan kedua kapal perang itu sebagai berikut.
“Beberapa hari sebelum kedatangan kedua kapal penjelajah itu, kabarnya telah menyebar ke seluruh Jawa Tengah, dan ketika saatnya tiba, sejumlah besar orang Tionghoa merasa perlu datang ke Semarang dari berbagai tempat untuk melihat kapal-kapal perang itu. Saat itu hampir semua orang Tionghoa merasa bangga.”
Buku Overseas Chinese Nationalisme menulis dua kapal perang Cina itu adalah simbol konkret dari kekuatan Cina dan untuk itu banyak dari orang Tionghoa yang merasa perlu melihatnya dan meresakan kebanggaan.
Sementara kekuatan orang-orang Tionghoa mulai dirasakan Hindia Belanda, pemerintah kolonial mulai melonggarakan pembatasan-pembatasan yang sebelumnya dikenakan termasuk mengizinkan pendirian Hollandesche Chineesche Scholen (HCS) pada tahun 1907.
Sistem pas jalan bagi orang Tionghoa yang semula berlaku sekali jalan dilonggarkan tahun 1904 menjadi selama setahun termasuk ada tahun 1910 ketika hak menggunakan jalan-jalan raya utama diberikan tanpa izin.
Menjelang akhir dekade pertama abad ke-20, orang-orang Tionghoa bukan hanya mereka yang bergerak di bidang pertanian, tetapi semua orang Tionghoa memperoleh kebebasan untuk menjalankan kegiatan dagang.
Sementara mereka mulai mencari tempat untuk menanam uangnya pada perkebunan tebu dan industri lokal seperti rokok kretek dan batik, mereka juga merambah toko-toko kecil serta perdagangan lainnya.
Namun dengan mereka yang menanam uangnya dalam bidang-bidang ini bukan hanya peranakan Tionghoa yang ‘Njawani’ saja, tetapi termasuk para singkek dari Kanton dan Hakka yang lebih kasar tingkah lakunya di mata orang Jawa.
Selain itu, seiring dengan berkembangnya sekolah-sekolah THHK, kaum revolusioner Tionghoa pendukung Sun Yat Sen juga datang ke Hindia menjadi guru di sekolah-sekolah THHK. Sejak 1909, mereka mendirikan Soe Prabowo Sia yang berupa perkumpulan membaca bagi orang Tionghoa.
Dengan gejolak nasionalisme Tiongkok dan meletusnya revolusi Oktober 1911 yang meruntuhkan Dinasti Ching dan menggantinya dengan republik, orang Tionghoa di Hindia melihatnya sebagai kebangkitan negara Cina yang kuat dan modern.
Sementara desas-desus mulai beredar, orang-orang Tionghoa di mulai berani mengatakan kepada bumiputra bahwa republik baru akan mengusir Belanda dan orang Tionghoa bakal menjadi penguasa dan tuan bagi mereka.
Kelakuan Tionghoa terhadap orang-orang bumiputra menjadi sangat sombong dan menuntut kaum bumiputra menyebut mereka dengan panggilan ‘toean’ sekaligus memberi hormat, sama seperti yang dilakukan bumiputra terhadap priyayi dan orang Belanda.
Di Surabaya, pada Perayaan Tahun Baru Cina, Februari 1912, polisi Belanda melarang pengibaran bendera Cina yang segera mengakibatkan kerusuhan. Sebagai protes terhadap tindakan kerasa polisi, seluruh komunitas Tionghoa di Surabaya menutup toko mereka selama beberapa hari.
Kesulitan yang ditimbulkan oleh patsh’s (pemogokan pasar) ini tentu saja dirasakan oleh bumiputra yang tak bisa memperoleh beras. Sejumlah mereka yang dongkol menyerang toko-toko Tionghoa sekaligus memukuli pemiliknya. Insiden serupa dalam skala yang lebih kecil terjadi di beberapa tempat.
Di Surabaya, Bangil dan Cirebon permusuhan antara orang Tionghoa di satu pihak dan bumiputra serta Arab di pihak lain menyulut kerusuhan.
Di Solo, persaingan antara Tionghoa sangat dirasakan oleh saudagar batik bumiputra karena bahan-bahan batik diimpor oleh firma-firma Eropa dari luar negeri yang dibawa oleh pedagang-pedagang Tionghoa dan Arab.
Saat Budi Utomo mengusulkan pembentukan koperasi bumiputra untuk menggalang persatuan melawan pedagang Tionghoa, segera saja saudagar-saudagar batik di Solo memutuskan bergabung.
Termasuk di antara mereka yang bergabung adalah Haji Samanhudi dari Lawean dan Haji Bakri dari Kauman. Tak hanya bergabung, mereka bahkan membawa sejumlah teman, saudara dan pengikut. Sontak, keanggotaan organisasi itu langsung membengkak menjadi lebih dari 800 orang.
Khawatir dengan saingan mereka, orang-orang Tionghoa segera menawari Samanhudi untuk mau bergabung sekaligus meduduki jabatan komisari di perkumpulan ‘tolong-menolong’ mereka Kong Sing. Tawaran itu diterima Samanhudi.
Secara formal Kong Sing adalah perkumpulan tolong menolong untuk pemakaman, tapi sesungguhnya kelompok ini merupakan sisa jaringan opium yang pernah sangat kuat di Jawa. Organisasi ini dibangun berdasarkan model serikat rahasia Cina.
Ide tolong-menolong dalam kelompok ini tidak terbatas pada pemakaman atau pesta namun juga mencakup perdagangan, pembalasan dendam hingga perkelahian jalanan.
Segera setelah Samanhudi bergabung di Kong Sing, keanggotaan Jawa di kelompok itu segera membengkak, dua kali lipat dibanding jumlah anggota Tionghoa.
Namun, meski kalah jumlah anggota-anggota Tionghoa tetap memegang kekuasaan di Kong Sing sementara ketika berita revolusi Tiongkok mencapai Hindia orang-orang Tionghoa mulai bersikap arogan dan memberlakukan Kong Sing ‘Jawa’ secara tak patut.
Samanhudi yang marah diam-diam memerintahkan beberapa temannya untuk membentuk organisasi serupa yang bertujuan untuk saling melindungi dan membantu ketika pecah perkelahian jalanan. Samanhudi memberi nama kelompok ini sebagai Rekso Rumekso.
Selain dibangun untuk menghadapi kelompok Tionghoa, Rekso Rumekso juga dibuat untuk melawan para kecu yang membuat wilayah Lawean tidak aman, khususnya karena pencurian kain batik yang dijemur di halaman.
Merasa yakin kelompoknya bakal berhasil, Samanhudi akhirnya memutuskan keluar dari Kong Sing dengan alasan pindah ke Surabaya. Sekembalinya dari Surabaya, ia segera menjadi ketua Rekso Rumekso dan seketika itu juga langsung pecah perkelahian jalanan antara anggota Jawa di Rekso Rumekso melawan anggota Kong Sing.
Permusuhan yang makin sengit dengan Kong Sing bagaimanapun terus memicu perkelahian kecil di jalanan pada bulan-bulan terakhir 1911 hingga awal 1912.
Serangkaian perkelahian jalanan itulah yang mengundang penyelidikan polisi atas status Rekso Rumekso. Tanpa status hukum yang jelas, perkumpulan apapun bisa dibubarkan setiap saat atas perintah residen.
Penyelidikan itulah yang mengubah Rekso Rumekso yang semula merupakan kelompok ronda sederhana menjadi Sarekat Islam, organisasi paling berpengaruh di era pergerakan.
Dengan kepemimpinan yang terdiri dari para pedagang batik pegawai rendahan dari Kasunanan, soal status hukum ini ternyata sangat memusingkan Rekso Rumekso. Atas dasar inilah, Djojomargoso, seorang pegawai kepatihan dan orang dekat Samanhudi meminta bantuan kepada Martodharsono yang pernah menjabat sebagai redaktur Medan Prijaji.
Martodharsono ini secara pribadi kenal dengan Tirtoadhisoerjo dan mengetahui aktivitasnya saat membentuk Sarekat Dagang Islamijah atau SDI.
Saat polisi bertanya status hukum Rekso Rumekso, Martodharsono berkelit dengan menyebut bahwa organisasi itu adalah cabang SDI Bogor. Ketika polisi memerintahkan Rekso Rumekso menyerahkan anggaran dasarnya, Martodharsono segera menghubungi Tirtoadhisoerjo untuk meminta bantuan.
Tirtoadhisoerjo datang ke Surakarta akhir Januari 1912 untuk menyusun anggaran dasar dan menyerahkannya kepada kepala onderafdeling Lawean sekaligus mengumumkan pembentukan cabang SDI Bogor di Surakarta atau Sarekat Islam (SI) melalui surat kabarnya.
Meski berganti nama, bentuk organisasi tetap utuh mengacu pada Rekso Rumekso sebagai perkumpulan ronda.
Semula anggota-anggota SI hanya berasal dari Lawean saja namun belakangan, keanggotaannya meluas hingga keluar Lawean hingga dari para anggota itu ditunjuk sebagai wargo pangarso atau ketua kelompok di setiap kampung.
Mereka inilah yang bertanggung jawab untuk mengawasi semua tindakan anggota dan bertindak sebagai penghubung dengan hoofbestuur.
Selain wargo pangarso pengurus juga menunjuk warga rumekso atau ‘penjaga’ yang memiliki tuga menjaga keamanan sekaligsu menjadi pelopor jika pecah perkelahian. Kedua elemen ini –wargo pangarso dan wargo rumekso- membentuk inti SI. Untuk bergabung menjadi anggota SI, anggota baru mesti membayar ongkos masuk sebesar 30 sen dan dibebaskan dari sumbangan bulanan atau tahunan. Pada saat SI membutuhan uang, barulah sumbangan dikumpulkan.
Setiap anggota baru, diinisiasi dengan sumpah setia kepada SI dan pera pemimpinnya sekaligus dikenalkan pada tanda-tanda rahasia agar bisa mengetahui ‘saudara’ mereka. Karena sebagian besar anggota SI buta huruf, tanda-tanda itu umumnya berupa simbol.
Secarik kain hitam yang diletakkan di pohon atau bangunan menandakan seorang telah dirampok dan membutuhkan bantuan. Atas perintah wargo pangarso, para anggota segera mengumpulkan keterangan atau kadang langsung menangkap si pencuri dan menyerahkannya kepada polisi. Sedangkan tanda secarik kertas kuning berarti seseorang berada dalam kesulitan, kertas merah menjadi tanda dua anggota sedang bertengkar dan butuh penengah, sedangkan kertas coklat menandakan seseorang mesti diboikot.
Jika melihat tanda-tanda itu, seorang anggota harus segera menemui wargo pangarso untuk mendapat keterangan lebih lanjut. Tanda-tanda juga bisa berarti pengumuman rapat yang harus dihadiri anggota.
Tak hanya mengadopsi kegiatan-kegiatan ronda yang, Tirtoadhisoerjo dan Marthodarsono juga memperkenalkan bentuk baru gerakan yakni boikot. Gerakan ini menjadi balasan setimpal kepada para pedagang Tionghoa yang bersekongkol menekan harga kain batik yang mereka beli dari Lawean.
Dipimpin oleh Martodharsono, pedagang batik di pribumi melakukan boikot atas firma Soe Dhian Ho. Umumnya, boikot diajukan kepada para pedagang Tionghoa yang bertingkah sombong dan berperilaku tidak jujur seperti pemilik rumah gadai sengaja memberi uang palsu atau bertingkah kasar pada pelanggannya.
SI adalah organisasi pertama yang melancarkan boikot dengan metode kekerasan.
Seiring dengan makin kerapnya boikot, jumlah perkelahinan jalanan segera meningkat. Tak hanya perkelahian kecil-kecilan, pada suatu kesempatan perkelahian bahkan melibatkan puluhan tentara dari Legiun Mangkunegaran yang mendobrak Kota Gede dan memukuli orang-orang Tionghoa.
Pemuda-pemuda pribumi segera bergabung di bawah kelompok Soetarsa Moelya dan rutin berkelahi dengan anak-anak Tionghoa. Ketika keadaaan makin genting, para pemimpin SI bahkan harus membentuk ronda khusus di wilayah-wilayah yang berdekatan dengan pemukiman Tionghoa agar tak pecah keributan yang lebih besar.
Dalam semua kegiatan ini Martodharsono memegang peranan penting. Selain bertindak berpengalaman sebagai jurnalis dan bertindak sebagai wakil SI di depan polisi, ia adalah seorang guru yang berpengaruh yang mengajarkan ilmu kebal kepada anggota-anggota SI.
Memiliki ratusan murid, Martodharsono secara pribadi juga memiliki hubungan dengan dunia hitam di Surakarta sekaligus para pangeran di Kasunanan dan Mangkunegaran.[TGU]