Kongres Pertama PNI, Mei 1928.

Koran Sulindo – Regentsweg 8, Bandung, 4 Juli 1927, malam. Jalan tersebut kini bernama Jalan Dewi Sartika. Di malam itu, tujuh orang anak muda yang belum lagi berusia 30 tahun dan satu orang yang lebih tua dari mereka, berusia 41 tahun, berkumpul. Tujuh orang anak muda itu adalah Soekarno, Iskaq Tjokroadisurjo, Soedjadi, Soenario, Sartono, Samsi Sastrowidagdo, dan Boediardjo Martoatmojo.

Pendiri dan Pemimpin Umum Koran Suluh Indonesia, Emir Moeis.
Pendiri dan Pemimpin Umum Koran Suluh Indonesia, Emir Moeis.

Yang paling tua adalah Tjipto Mangoenkoesoemo. Ia ketika itu berstatus sebagai “orang buangan”, dilarang oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk berpolitik praktis karena dituduh membantu Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan pada tahun 1926.

Ketujuh pemuda itu ingin mendirikan partai politik, mengingat tak ada partai politik lain yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia setelah PKI dilarang. Namun, Tjipto tak setuju.

Tujuh pemuda pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI).
Tujuh pemuda pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI).

Alasannya: partai politik itu nanti akan dinilai oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai pengganti PKI, yang baru saja memberontak di Jakarta, Menes (Banten), dan Ciamis (Jawa Barat). Dengan begitu pasti akan ada reaksi keras dari Gubernur Jenderal Hindia, yang ketika itu dipegang Dirk Fock dan kemudian digantikan A.C.D. de Graeff. Kenyataannya memang, selama masa A.C.D. de Graeff berkuasa, seperti ditulis dalam buku Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda, 4.500 orang kaum nasionalis Indonesia dipenjara, kurang-lebih 1.300 dibuang ke Digul, dan 4 orang dihukum mati.

Toh, ketujuh pemuda itu tetap berkukuh. Maka, berdirilah Partai Nasional Indonesia (PNI), dengan sebelumnya bernama Perserikatan Nasional Indonesia. Ketuanya adalah Soekarno, dengan sekretarisnya adalah Iskaq Tjokroadisurjo.

Selain memperjuangkan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, berjuang di lapangan politik, PNI juga terjun ke tengah masyarakat, untuk memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat. PNI mendasarkan tujuannya itu pada sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.

Sosio-nasionalisme merupakan sintesa dari nasionalisme dan internasionalisme. Jadi, sosio-nasionalisme bukanlah paham kebangsaan yang sempit, yang bermuara kepada sikap chauvinistis. Dalam Pidato 1 Juni 1945, yang dikenal sebagai Hari Lahir Pancasila, Bung Karno menjelaskan hubungan dialektik antara nasionalisme Indonesia dan internasionalisme: internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam bumi nasionalisme; sementara nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam tamansarinya internasionalisme.

Lalu, pada tahun 1964, Bung Karno dalam pidatonya juga mengatakan, “Nasionalis yang bukan chauvinis, tidak boleh tidak, haruslah menolak segala paham pengecualian yang sempit budi itu. Nasionalis yang sejati yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copy atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, nasionalis yang menerima rasa nasionalismenya itu sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti. Baginya, maka rasa cinta bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.”

Sementara itu, sosio-demokrasi adalah sintesa dari sosialisme dan demokrasi, yang sebenarnya dua hal yang bertentangan. Karena, demokrasi bisa dikatakan lahir dari kapitalisme. Dan, sosialisme menentang kapitalisme.

“Dan sosio-demokrasi adalah demokrasi-masyarakat yang timbul karena sosio-nasionalisme. Demokrasi yang berdiri dengan kedua kakinya di dalam masyarakat. Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan gundukan kecil saja, tetapi kepentingan masyarakat. Sosio-demokrasi bukanlah demokrasi ala Prancis, bukan demokrasi ala Amerika, ala Inggris, ala Nederland, ala Jerman, dan lain-lain—tetapi ia adalah demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki. Sosio-demokrasi adalah demokrasi-politik dan demokrasi-ekonomi,” demikian dijelaskan Bung Karno dalam buku Dibawah Bendera Revolusi.

Ini ide jenius dan cemerlang, yang mestinya diwujudkan oleh bangsa kita sendiri. Ini sebenarnya adalah dasar-dasar dalam kehidupan bernegara dan berdemokrasi.

***

Perjalanan PNI banyak diisi fase tragis, hidup, mati, hidup, dan kemudian dipaksakan dan diintimidasi agar berfusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di bawah rezim Soeharto.

Sebagai pribadi, saya mengalami masa-masa suram PNI. Sebagai anak muda, saya kerap membantu ayah saya yang Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PNI, sehingga saya juga kemudian menjadi  anggota muda PNI saat itu.

Menjadi sangat langka sekarang bahwa saya bertemu dan berkenalan dengan para tokoh pendiri PNI. Misalnya dengan Bung Karno, yang bertemu secara kebetulan ketika saya diundang dalam acara ulang tahun putrinya, Sukmawati Soekarnoputri, yang merupakan teman sekolah saya waktu sekolah dasar.

Tatkala kecil, saya kerap diajak datang berlebaran oleh ayah saya, yang saat itu anggota parlemen, ke rumah Mr. Sartono. Kalau tak salah, Mr. Sartono ketika itu ketua parlemen.

Saya juga kenal cukup baik dengan Profesor Soenario. Karena, saya kerap menyopiri jika beliau bersama ayah saya pergi untuk menghadiri acara partai.

Dan, yang paling dekat dengan saya adalah Mr. Iskaq Tjokroadisurjo. Beliau sahabat ayah saya.

Sewaktu ayah saya meninggal, sayalah yang menjadi sahabat dekat beliau. Apalagi, beliau dikaruniai usia panjang. Banyak urusan politik yang kami lakukan berdua.

Saya sering mengantarkan para ketua Dewan Pimpinan Pusat PNI untuk rapat di tempat-tempat tertentu secara senyap, agar tidak diketahui tentara yang saat itu sangat represif terhadap PNI. Mobil pun harus diparkir di tempat yang tidak kelihatan.

Sungguh tragis. Padahal, PNI lebih dulu ada daripada TNI. Dan, PNI lebih dulu berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, sejak tahun 1927.

Ketika akhirnya PNI berfusi ke dalam PDI, saya kehilangan semangat dalam berpolitik. Setelah lulus kuliah, saya berkiprah sebagai profesional karena tak ada lagi PNI.

Menjelang runtuhnya rezim Soeharto, soekarnoisme dan marhaenisme mulai muncul kembali ke permukaan. Semangat saya untuk berkiprah di dunia politik pun menyala kembali.

Ketika Megawati Soekarnoputri mengibarkan bendera perlawanan terhadap Presiden Soeharto dan membentuk PDI Perjuangan, saya ikut bergabung di dalamnya. Apalagi, di sana juga ada Aberson Marle Sihaloho dan Abdul Madjid, kolega ayah saya sebagai Ketua DPP PNI periode terakhir.

PNI, quo vadis? Wallahualam bisawab. [Emir Moeis]