Sulindomedia – Pelaksana Tugas Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi dihadirkan menjadi saksi dalam sidang lanjutan dengan terdakwa mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan istrinya Evy Susanti di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Rabu (3/2/2016).
Gatot dan Evy didakwa menyuap hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memengaruhi putusan terkait pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara serta menyuap Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Patrice Rio Capella sebesar Rp 200 juta.
Menurut jaksa, suap tersebut terkait dengan adanya permohonan pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara atas penyelidikan tentang dugaan terjadinya tindak pidana korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), serta tunggakan Dana Bagi Hasil (DBH) dan Penyertaan Modal pada sejumlah BUMD di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Dalam persidangan itu, Erry ditanya soal pembicaraan islah tanggal 19 Mei 2015 di Kantor DPP Partai NasDem. Ia mengakui adanya pertemuan dirinya dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan Gatot Pujo Nugroho. Menurut Tengku Erry Nuradi, pertemuan tersebut merupakan pertemuan islah karena Gatot saat itu mengadukan dirinya ke Surya Paloh. Posisi Surya Paloh saat itu sebagai fasilitator mediasi.
Diungkapkan Ery, pada Maret 2015, dirinya menghadap Surya Paloh untuk persiapan pemilihan kepala daerah. “Lalu beliau menyampaikan, ‘You itu punya gubernur mau ketemu saya’,” kata Tengku Erry.
Mendegar kabar dari Surya Paloh bahwa Gatot ingin bertemu Surya, Erry pun kaget. “Saya mohon izin ke Ketua, kalau Pak Gubernur [Gatot] diundang, saya juga harus diundang agar informasinya seimbang, jangan hanya dengar dari Pak Gubernur yang bisa saja menjelek-jelekkan saya,” kata Erry.
Lebih dari sebulan kemudian, Erry ditelepon Martin Manurung sebagai Korwil Partai Nasdem untuk datang ke Jakarta. Erry dipanggil Surya Paloh. “Katanya ada agenda Pak Ketua bertemu Pak Gubernur dan saya datang. Akhirnya ketemu dengan Pak Gubernur di ruang Pak Ketua, di kantor NasDem,” tutur Erry dalam sidangitu.
Dalam kesempatan tersebut, penasihat hukum Gatot, Dwi Surya Hadibudi, membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Erry di hadapan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Pak Ketua [Surya Paloh] kalau Pak Gubernur memberikan 5 SKPD [Satuan Kerja Perangkat Daerah] Pemprov Sumut, yang menjadi tupoksi saya, itu kan masih wajar dari 50 SKPD yang ada. Lalu dijawab oleh Pak SP, ‘Jangankan 5, 10 pun wajar. Dibagilah yang bagus. Bagaimana kalian mengaturnya, termasuk tugas-tugas yang diberikan pada wagub. Saya tidak mau dengar lagi kalian ribut-ribut karena Sumut itu daerah saya. Saya lahir di sana. Kita bangunlah daerah itu’,” kata. Hadibudi dalam persidangan.
Erry pun membenarkan apa yuang dibacakan Hadibudi tersebut.
Lalu, jaksa juga menanyakan kepada Erry, apakah dirinya mengenal anggota DPRD Sumatera Utara bernama Evi Diana.
“Ya kenal,” kata Erry.
“Apa itu istri Anda?” tanya jaksa.
“Ya,” jawab Erry.
Sebelumnya diberitakan, Erry membenarkan istrinya itu menerima suap terkait pengadaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sumatera Utara 2014. Namun, Erry mengyatakan, istrinya telah mengembalikan uang tersebut kepada KPK. “Sudah mengembalikan, tapi saya tidak pada kapasitas menjawab pada angka,” ujar Erry di Gedung KPK, Jakarta, 12 Oktober 2015.
Erry mengatakan, sebagian anggota DPRD yang menerima uang suap terkait pembahasan APBD tersebut sudah mengembalikan uangnya. Meski terus didesak, Erry enggan menyebut nominal uang yang dikembalikan Evi.
“Saya tidak tahu,” katanya.
Erry enggan berandai-andai jika istrinya bisa ditersangkakan karena sempat menerima suap tersebut. Jika hal tersebut terjadi, ia mengaku akan kooperatif. “Tidak ada masalah, semua kami serahkan kepada penyidik. Tapi, kita jangan berandai-andai dan menduga-duga,” tuturnya.
Mulanya, KPK melakukan penyelidikan dugaan korupsi dalam proses hak interpelasi di DPRD Sumatera Utara. Setelah melakukan pemeriksaan saksi dari anggota DPRD aktif Sumatera Utara dan mantan anggota DPRD Sumatera Utara terungkap, dugaan korupsi tak hanya terjadi pada proses interpelasi.
KPK menemukan adanya dugaan korupsi dalam pengadaan APBD Sumatera Utara Tahun 2014. Dalam penyelidikan ini, KPK juga meminta keterangan Gatot Pujo Nugroho. Diduga, Gatot menyuap anggota DPRD Sumatera Utara untuk membatalkan hak interpelasi terhadap dirinya selaku gubernur. Dugaan itu menguat setelah penyidik KPK menggeledah Kantor DPRD Sumatera Utara dan menyita dokumen terkait hak interpelasi DPRD, salah satunya menyangkut kasus yang menjerat Gatot di KPK.
Selain dokumentasi interpelasi, KPK juga dikabarkan membawa data yang berisi presensi dan risalah persidangan yang dilaksanakan DPRD Sumatera Utara. Hak Interpelasi tersebut diajukan menyangkut empat hal, yaitu pengelolaan keuangan daerah, penerbitan Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penjabaran APBD 2015, kebijakan pembangunan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, dan etika Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho sebagai kepala daerah. Namun, DPRD Sumatera Utara kemudian tidak menggunakan hak interpelasi tersebut. Dalam rapat paripurna DPRD Sumatera Utara, dari 88 anggota DPRD yang hadir, 52 orang menolak penggunaan hak tersebut, sisanya 35 orang menyatakan setuju dan satu orang abstain. [CHA/PUR]