Pilkada DKI: Isu SARA Semarak, Isu Sosial Ekonomi Minim

ILustrasi

Koran Sulindo – Pelaksanaan Pilkada serentak 2017 yang baru berlangsung dan masih akan terjadi putaran kedua jelas merupakan arena pertarungan elit politik partai yang memiliki modal dari sisi ekonomi, politik dan kekuasaan. Namun, di arena itu juga muncul broker politik atau politikus swasta – yang juga bisa dikatakan geng-geng politik – yang berperan pula untuk mempengaruhi pemilih.

Geng-geng politik yang berada di luar partai inilah lantas mengangkat isu agama dan disebarkan lewat jejaring media sosial. Mereka membangun isu-isu agar muncul rasa kebencian pada agama dan etnis tertentu. Bahkan muncul pula lontaran isu soal kebangkitan komunis (PKI).

Hal ini mengemuka dalam Diskusi Refleksi Pilkada Serentak 2017 yang diadakan oleh Pusat Studi Perdamian dan Keamanan (PSKP) UGM, Selasa (21/2). Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut adalah peneliti PSKP UGM Dr. Zuly Qodir dan Direktur Pusat Kajian Asia, Flinders University Dr. Priyambudi Sulistiyanto.

“Ada labeling dan diskriminasi pada kelompok tertentu. Bahkan berusaha membangun kembali ingatan sosial masyarakat lewat isu komunisme,” kata Zuly.

Isu SARA yang dimainkan para kelompok politik swasta tersebut ternyata tidak begitu berpengaruh pada pemilih. Namun hal itu tetap sangat disayangkan, karena bukan tak mungkin isu ini akan menjadi semakin massif, meluas dan menjadi bola liar, dan pada akhirnya mampu memecah belah masyarakat dan menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Untuk itu pihak berwajib perlu segera menangani isu SARA agar tak menjadi bola liar.

“Kami berharap masyarakat tidak terpengaruh dengan isu SARA yang dimainkan para elit politik dan kelompok politik swasta dalam pelaksanaan pilkada selanjutnya,” tegas Zuly.

Secara terpisah, dosen Komunikasi Fisipol UGM, Kuskridho Ambardi, M.A.,Ph.D. dalam diskusi bulanan di Pusat Studi Kebijakan dan kependudukan (PSKK) UGM, juga mengakui bila dalam Pilkada itu  agama, suku, daerah, dan migrasi merupakan faktor demografi yang turut mempengaruhi pemilih. Hanya saja, kampanye berbasis agama dan suku tidak dapat meningkatkan perolehan suara secara signifikan.

“Kampanye berbasis agama dan suku memang bisa menaikkan dukungan, tetapi tidak bisa mendongkrak perolehan suara hingga 50 persen. Cara ini saya prediksikan hanya dapat meningkatkan suara maksimal 10 persen,” kata Dodi – panggilan akrab Kuskrido Ambardi.

Bila melihat kampanye Pilkada DKI Jakarta, menurut Dodi, agama dan suku menjadi isu yang banyak dan sering digunakan tiga pasangan calon gubernur dalam kampanye pilkada DKI. Sebaliknya sosial ekonomi menjadi isu yang jarang digunakan dalam kampanye.

“Tidak ada yang mengusung isu ini. Padahal kelompok buruh di Jakarta jumlahnya sangat besar. Kandidat jarang yang bicara politik kelas dan berusaha mengajak kelas buruh untuk mendukung mereka,” tuturnya. [YUK]