Sampul Muka Koran Suluh Indonesia edisi 4 Volume 2, 20 Februari-5 Maret 29017

Koran Sulindo – Ada angin segar yang berembus setelah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2017. Dari 101 daerah yang mengadakan pesta demokrasi tersebut, hampir 60% wilayah dimenangkan oleh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, partai nasionalis yang embrionya bersambung pada Partai Nasional Indonesia, yang didirikan Bung Karno dan kawan-kawan. Kemenangan PDI Perjuangan menyebar dari Aceh di ujung barat Indonesia sampai Papua di ujung timur.

Hasil yang diperoleh PDI Perjuangan itu bahkan lebih bagus dari hasil yang diperoleh pada Pilkada Serentak 2015 lalu. Pada tahun 2015, PDI Perjuangan meraup kemenangan di 52% wilayah. “Kami telah melampaui target yang dicanangkan DPP PDI Perjuangan,” kata Ketua Fraksi PDI Perjuangan di MPR yang juga Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Ahmad Basarah.

Seperti diungkapkan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, kemenangan calon kepala daerah yang diusung dan didukung PDI Perjuangan di sejumlah wilayah memperlihatkan semakin meluasnya basis dukungan masyarakat kepada partai itu. Padahal, kata Hasto lagi, modal PDI Perjuangan pada 2017 tidak jauh lebih bagus daripada Pilkada Serentak 2015 lalu. Pada Pilkada Serentak 2017 ini, PDI Perjuangan hanya bisa mengusung calon sendiri sebanyak 28%, namun hasil yang diraih ternyata lebih besar dari sebelumnya.

Selain memperlihatkan meluasnya basis dukungan, kemenangan PDI Perjuangan tersebut juga bisa dikatakan sebagai kemenangan kaum nasionalis. Apalagi, beberapa partai lain yang berhaluan nasionalis juga mendapat kemenangan di berbagai wilayah. Kaum nasionalis jelaslah telah bangkit dari tidurnya.

Kita berharap bangkitnya kaum nasionalis di negeri ini bisa mencegah “agresivitas” gerakan ultra-nasionalisme yang sedang bergentayangan di berbagai belahan dunia. Karena, gerakan ultra-nasionalisme cenderung digunakan pihak-pihak yang mendambakan berdirinya negara fasis. Dan, kita tahu, negara fasis mendasarkan prinsip kepemimpinannya dengan otoritas absolut, yang memaksakan warga negara patuh tanpa syarat kepada penguasa dan tidak boleh nyeleneh untuk menjadi “berbeda”.

Negara fasis juga selalu bersikap curiga, bahkan kepada warganya sendiri. Pemerintahnya akan selalu membayangkan adanya musuh yang senantiasa mengancam.

Fasisme juga menolak intelektualitas dan tak dapat menerima kehadiran apa yang mereka anggap lemah. Sejarah mencatat, Jerman yang fasis di bawah Hitler membunuh  jutaan orang dari ras non-Arya, termasuk Yahudi, serta mengirim orang cacat, orang gila, dan kaum homoseksual ke ruang kematian. Tujuannya: memurnikan ras Arya, yang mereka anggap sebagai ras unggul.

Ketakutan terhadap masuknya gerakan ultranasionalisme dan juga fasisme ke negeri ini bukan tanpa landasan. Sejarah merekam bagaimana di negeri ini pada masa kolonial Belanda pernah berdiri Partai Fasis Indonesia.

Deklarasi partai ini dilakukan di di Bandung pada Juli 1933. Pendirinya adalah Notonindito. Ia mendirikan partai itu karena terinspirasi kemenangan Partai Nazi Hitler pada Juni 1933 di Jerman.

Bahkan, Mohamad Hatta telah memperingatkan bahaya fasisme. Menuurut Hatta dalam artikelnya yang dimuat di koran Daulat Ra’jat, 30 Januari 1933, fasisme hadir terutama di negeri yang sedang kacau dan hebat persaingan politiknya. Juga di negeri yang kaum borjuisnya memandang beban demokrasi terlalu berat. Jadi, fasisme dimulai dari kebencian terhadap demokrasi. Hatta juga menilai kediktatoran fasis sebenarnya adalah irasional dan hanya berdasar atas semboyan dan demagogi di tengah keterpurukan rakyat.

Bung Karno berpendapat senada. Dalam artikelnya yang berjudul “Indonesia versus Fasisme” dan dimuat di koran Panji Islam tahun 1940, Bung Karno menulis pertentangan antara jiwa Indonesia dan jiwa fasisme. Menurut Bung Karno, jiwa Indonesia adalah jiwa demokrasi, kerakyatan, sedangkan jiwa fasisme adalah anti-demokrasi dan anti-kerakyatan.Dalam kesempatan yang lain, Bung Karno dengan tegas mengatakan dirinya adalah orang yang anti-fasisme. [PUR]