Dalam permusyawaratan Tuan-tuan, saya minta, janganlah kiranya Tuan-tuan terpengaruh oleh ketakutan itu, sebab ketakutan adalah zat asam yang mencapkan perbuatan manusia menjadi pola yang aneh-aneh. Berpedomanlah pada harapan dan pada ketetapan hati, berpedomanlah pada cita-cita, dan ya, berpedomanlah pada impian dan angan-angan!
Kita berkebangsaan lain-lain sekali. Latar belakang sosial kita sangat berlainan demikianlah pola kebudayaan kita. Jalan hidup kita berlainan Tabiat nasional kita, warna atau corak kita — sebutlah itu dengan nama sekehendak Tuan-tuan — adalah berbeda. Asal mula kebangsaan kita berlainan, bahwa warna kulit kita pun berlainan. Tapi itu kan tidak menjadi apa? Umat manusia bersatu atau terbagi-bagi oleh pertimbangan lain daripada itu. Perselisiban timbul bukan karena perbedaan kulit, pun bukan karena macam-macam ragam agama, tetapi karena perbedaan kehendak.
Kita semuanya, saya yakin, adalah dipersatukan oleh hal-hal yang lebih penting daripada yang tampaknya memisahkan kita. Kita bersatu, misalnya oleh sikap yang sama dalam membenci kolonialisme dalam bentuk apa saja ia muncul. Kita bersatu oleb sikap yang sama dalam hal membenci rasialisme. Dan kita bersatu karena ketetapan hati yang sama dalam usaha mempertahankan dan memperkokoh perdamaian dunia. Bukanlah tujuan-tujuan itu termaktub dalam surat undangan. yang telah Tuan-tuan penuhi?
Saya mengakui dengan terus terang — dalam tujuan-tujuan itu saya bukan tak berkepentingan atau hanya terdorong oleh alasan-alasan perseorangan saja.
Bagaimana mungkin untuk tinggal adem tentang kolonialisme? Bagi kita kolonialisme bukan suatu hal yang jauh letaknya. Kita mengenalnya dalam segala kekejammmya. Kita telah melihat betapa ia menyebabkan kerusakan yang hebat pada kemanusiaan, betapa ia ditinggalkannya, kalau pada akhirnya ia dengan cara segan-segan keluar atau didepak keluar, oleh perjalanan sejarah yang tak tertahan-tahan itu. Rakyat saya, dan rakyat-rakyat berbagai negeri Asia dan Afrika tahu akan hal ini, karena kita mengalaminya sendiri.
Memang kita belum dapat mengatakan bahwa semua bagian dari negeri-negeri kita telah merdeka. Beberapa bagian masih bekerja dengan ancaman cambuk. Dan sementara bagian Asia dan Afrika, yang tak diwakili di sini, masih meringkuk di bawah penderitaan yang serupa itu.
Ya, sebagian dari bangsa-bangsa kita belumlah bebas. Itulah sebabnya, maka kita semua belum dapat mcngatakan, bahwa tujuan pcrjalanan kita telah tercapai. Tidak ada rakyat yang merasa dirinya merdeka slama masih ada bagian daripada tanah airnya yang belum bebas. Seperti perdamaian, kemerdekaan pun tidak dapat dibagi-bagi. Tidaklah ada hal yang dapat dinamakan setengah merdeka, seperti juga tidak ada hal yang dapat disebut setengah hidup.
Orang sering mengatakan kepada kita, bahwa “kolonialisme sudah mati”. Janganlah kita mau tertipu atau terninabobokan olehnya! Saya berkata kepada Tuan-tuan, kolonialisme belumlah mati. Bagaimana kita dapat mengatakan ia telah mati selama daerah-daerah yang luas di Asia dan Afrika belum lagi merdeka!
Dan, saya minta kepada Tuan-tuan, janganlah hendaknya melihat kolonialisme dalam bentuk klasiknya saja, seperti yang kita di Indonesia dan saudara-saudara kita berbagai-bagai wilayah Asia dan Afrika, mengenalnya. Kolonialisme mempunyai juga baju modern, dalam bentuk penguasaan ekonomi, penguasaan intelektuil, penguasaan materiil yang nyata, dilakukan oleh sekumpulan kecil orang-orang asing yang tinggal di tengah-tengah rakyat. Ia merupakan musuh yang licin dan tabah, dan menyaru dengan berbagai cara. Tidak gampang ia mau melepaskan mangsanya. Di mana, biamana dan bagaimana pun ia muncul kolonialisme adalah hal yang jahat yang harus dilenyapkan dari muka bumi.
Perjuangan melawan kolonialisme berlangsung sudah sangat lama, dan tahukah Tuan-tuan, bahwa hari ini adalah hari ulang tahun yang masyhur dalam perjuangan itu? Pada tanggal delapanbelas April tahun seribu tujuhratus tujuhpuluh lima, kini tepat seratus delapanbelas tahun yang lalu, Paul Revere pada tengah malam mengendarai kuda melalui distrik New England, meumberitahukan tentang kedatangan pasukan-pasukan lnggris dan tentang permulaan Perang Kemerdekaan Amerika, perang antikolonial yang untuk pertama kali dalam sejarah mencpai kemenangan. Mengenai perjalanan berkuda di tengah malam ini penyair Longfellow menulis:
A cry of defiance and not of fear,
A voice in the darkness, a knock at the door,
And a word that shall echo for evermore…
(Teriakan menantang, bukan karena takut,
Suara di malam gelap, ketukan pintu,
dan sepatah kata yang akan berkumandang sepanjang masa…)
Ya, ia akan berkumandang sepanjang masa, …tepat seperti kata-kata antikolonial yang lain, yang memberikan kepada kita penglipur dan ketetapan hati di hari-hari yang tergelap dalam perjuangan kita, akan berkumandang sepanjang masa. Tetapi ingatlah, bahwa perjuangan yang dimulai 180 tahun yang lalu itu belumlah mendapat kemenangan yang sempurna, dan ia tak akan mencapai kemenangannya yang sempurna, sebelum kita dapat mengawasi dunia kita sendiri ini, dan dapat mengatakan bahwa kolonialisme sudah mati.
Jadi, saya bukannya tak berkepentingan kalau saya bicara tentang perjuangan melawan kolonialisme.
Demikian pun saya bukannya tak berkepentingan pula, jika saya bicara tentang perjuangan untuk perdamaian. Bagaimana siapa pun di antara kita ini dapat tidak berkepentingan tentang perdamaian?
Belum selang berapa lama, kita menyatakan bahwa perdamaian perlu untuk kita, karena pecahnya pertempuran di bagian dunia yang kita tempati ini akan membahayakan kemerdekaan kita yang tak ternilai harganya dan yang kita peroleh dengan biaya yang sangat besar itu.
Sekarang, gambaran keadaan lebih hitam. Peperangan bukan hanya akan berarti ancaman terhadap kemerdekaan kita, melainkan dapat berarti berakhirnya peradaban, bahkan berakhirnya kehidupan ummat manusia. Ada tenaga yang ter1epas di dunia ini, yang kekuatannya untuk menimbulkan kejahatan tidak diketahui dengan sebenarnya oleh siapa pun juga. Bahkan di dalam latihan dan dalam percobaan peperangan, hasilnya dapat dipastikan berupa sesuatu yang sangat mengerikan.
Tidak lama sebelum ini, kita dapat menenangkan hati kita sedikit dengan gambaran, bahwa, kalau terjadi pertempuran, mungkin ia dapat diselesaikan dengan apa yang disebut “senjata-senjata konvensionil” — bom, tank, meriam dan manusia. Kini, sekelumit harapan itu tak ada lagi pada kita, karena sekarang telah jelas bagi kita, bahwa senjata-senjata yang sangat mengerikan itu pasti akan dipergunakan, dan rencana-rencana pertahanan berbagai-bagai negara memang disusun dengan dasar itu. Yang tidak konvensionil telah menjadi konvensionil, dan siapa tahu, hasil lain dari kepandaian ilmiah yang tersesat dan jahanam apa lagi yang telah ditemukan sebagai alat-siksa bagi umat manusia.
Dan jangan dikira bahwa samudra-samudra dan lautan-lautan akan melindungi kita. Makanan yang kita makan, air yang kita minum, ya, malah hawa yang kita hirup, dapat mengandung racun, yang tempat asalnya beribu-ribu mil jauh dari kita. Dan mungkin pula, kalau kita sendiri toh nyaris bebas dari bahaya, bahwa angkaan anak-anak kita yang belum lahir akan berbadan cacat, tanda daripada kegagalan kita mengasai kekuatan-kekuatan, yang telah dilepaskan orang secara liar di dunia ini.
Tidak ada tugas yang lebih urgent daripada memelihara perdamaian. Tanpa perdamaian kemerdekaan kita tak banvak faedahnya. Pemulihan dan pembangunan negeri kita akan sedikit sekali artinya. Revolusi-revolusi kita akan tak mendapat kesempatan melanjutkan perjalanannya.
Apa yang dapat kita perbuat? Bangsa-bangsa Asia dan Afrika hanya mempunyai kekuasaan materiil yang kecil belaka. Bahkan kekuatan perekonomiannya sangat rapuh dan lemah. Kita tak dapat berkecimpung dalam politik adu tenaga. Diplomasi bagi kita bukan diplomasi yang memegang pentung yang besar. Para diplomat kita rata-rata semuanya tidak dapat sokongan dari deretan pembom jet yang kompak.
Apa yang dapat kita perbuat? Kita dapat berbuat banyak! Kita dapat menyuntikkan suara budi kita ke dalam urusan-urusan duniawi. Kita dapat memobilisir semua kekuatan spirituil, moril dan politis dari Asia dan Afrika untuk kepentingan perdamaian. Ya, kita! Kita bangsa-bangsa Asia dan Afrika, berkekuatan 1400.000.000 jiwa, jauh melebihi setengahnya jumlah penduduk dunia. Kita dapat menggerakkan apa yang saya namakan Paksaan Moril Bangsa-bangsa untuk kepentingan perdamiaian. Kita dapat menunjukkan kepada minoritas di dunia, yang hidup di ketiga benua lainnya itu, bahwa kita golongan mayoritas, adalah properdamaian, bukannya pro perang, dan bahwa kekuatan apa saja yang ada pada kita akan selalu kita pertaruhkan di pihak perdamaian.
Dalam perjoangan ini telah kita capai suatu hasil. Saya kira bahwa pada umumnya orang mengakui bahwa kegiatan para Perdana Menteri dari Negeri-negeri yang bertanggung jawab, yang telah mengundang Tuan-tuan kemari ini, bukan tak penting peranan yang telah dimainkannya dalam penghentian pertempuran di lndo-Cina.
Lihat, bangsa-bangsa Asia mengeluarkan suaranya, dan dunia mendengarkannya. Itu bukanlah kemenangan yang kecil dan bukanlah kejadian yang dapat diabaikan bagitu saja! Lima Perdana Menteri itu tidak menggunakan ancaman-ancaman. Mereka tidak mengeluarkan ultimatum, tidak menggerakkan pasukan-pasukan. Yang mereka lakukan ialah saling memberikan pertimbangan, memperbincangkan persoalan-persoalan, mengumpulkan ide-ide, menggabungkan kecakapan politiknya, dan tampil ke muka dengan saran-saran yang sehat dan beralasan, yang merupakan dasar bagi penyelesaian pertempuran yang telah berjalan lama di lndo-Cina.
Semenjak itu saya sering bertanya kepada diri sendiri, mengapa kelima tokoh itu dapat mencapai hasil baik, sedangkan orang-orang lain yang mempunyai daftar riwayat diplomasi yang panjang tidak berhasil, dan pada hakekatnya, telah membiarlkan situasi yang buruk menjadi lebih buruk, sehingga ada bahaya bahwa pertikaian itu akan meluas. Apakah itu disebabkan karena mereka orang-orang Asia? Mungkin itu merupakan sebagian daripada jawaban atas pertanyaan tadi, sebab kebakaran-besar itu terjadi di ambang pintu mereka, dan setiap perluasan kebakaran itu akan merupakan ancaman langsung terhadap rumah mereka sendiri. Tapi saya kira jawaban sebenarnya terletak pada kenyataan bahwa kelima Perdana Menteri itu telah membawa cara penyelesaian yang baru dan segar untuk dicobakan pada masalah yang bersangkutan. Mereka tidak mencari keuntungan bagi negeri-negeri mereka sendiri. Mereka tidak menggunakan politik adu tenaga untuk mendapat keuntungan, bagi diri sendiri. Mereka hanya mempunyai satu kepentingan — bagaimana dapatnya mengakhiri pertempuran, sedemikian hingga kemungkinan untuk melanjutkan perdamaian dan kestabilan bertambah besar.